"Apa ceritaku memang tidak menarik? Atau karena orang yang bercerita bukan Kak Emma? Jadi pasti terdengar memuakkan, ya, bagi Kak Elvan," batin Nayla, sekali lagi melirik Elvan, tapi tetap saja lelaki itu tak menghiraukannya.Nayla merasa kecewa saat ia mencoba bercerita kepada Elvan, namun Elvan tampak cuek. Ia tidak bisa menahan perbandingan dengan saat Elvan bersama Emma, di mana Elvan selalu antusias mendengarkan ceritanya dan membuatnya merasa nyaman.Sementara itu, Aurora yang berdiri di kejauhan, tersenyum sinis melihat betapa menyedihkannya Nayla dalam momen ini. Gadis itu merasa senang melihat Nayla terluka dan diabaikan oleh Elvan yang notabenenya sang tunangan sendiri."Sudah aku bilang jangan berlagak, tahu rasa sendiri, kan," gumam Aurora sambil bersedekap dada. Nayla yang tahu Aurora mengawasinya hanya menggeram di dalam hati. Mengalihkan pandangan agar tidak bersitatap dengannya. Walau terluka oleh respons dingin Elvan, Nayla berusaha untuk tetap tenang dan mencoba men
"Aku pikir rasa pusingku bisa hilang dengan sendirinya," batin Nayla saat menyentuh kepala, rasanya masih seperti ditusuk-tusuk.Jam pulang pun tiba, Nayla dan Clara berjalan bersama di koridor. Nayla menahan pening sambil mendengarkan Clara yang mengoceh sejak keluar kelas. Tapi gadis itu tidak menyadari gelagat Nayla yang kesakitan karena Nayla masih meresponnya dengan tawa kecil dan wajah ceria.Sampai akhirnya tiba-tiba Nayla pingsan dan jatuh di lantai. Clara yang terkejut langsung membelalakkan mata. Rasa cemas dan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa menjadi satu saking paniknya."N–nayla! Hei-hei, bangun!" teriak Clara yang seketika terduduk di samping Nayla. Beberapa mahasiswa di sana seketika tersentak dan reflek ikut mendekat.Sebelumnya gadis itu hendak meminta tolong, untungnya Alex—sahabat Elvan yang kebetulan berjalan tidak jauh di belakang mereka dengan sigap berlari saat melihat kejadian tersebut."Kak Alex!" panggil Clara. "Tolongin Nayla!"Dengan ekspresi khawat
"Akhirnya aku bisa segera tidur."Tiba di rumah, Nayla masuk dengan langkah lemas. Kehadirannya yang lemah tak terlihat oleh papa, mama tiri, dan kakak tirinya yang sedang asyik bercanda di ruang TV. Mereka sepertinya tidak memedulikan kepulangan Nayla. Melihat itu Nayla tersenyum tipis. "Meski di dalam rumah pun, aku tidak merasakan kehangatan."Ketika Nayla mencoba menyapa mereka, tidak ada yang menjawab. Hanya Aurora yang melemparkan lirikan sinis ke arahnya. Ia tampak menikmati kemalangannya yang tidak dipedulikan oleh papa dan mama."Aku ingin mengumpatinya," batin Nayla dengan rahang mengeras. Nayla merasa terluka dan terbuang. Tapi tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia segera naik ke kamarnya. Di dalam sana Nayla merasa sesak dan terkekeh kecut. Ia mencoba menahan emosinya dan tersenyum dengan pahit."Apa, sih, yang aku harapkan dari keluarga palsu ini? Kasih sayang?" Nayla terkikik geli. "Mustahil aku dapatkan di rumah ini."Nayla kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tid
"Pasti susu ini dibuat oleh asisten rumah tangga. Mama mana mau repot-repot membuatnya untukku." Nayla terkekeh geli.Ia lalu mencoba segelas susu hangat yang dibawakan mama tirinya tadi. Ketika selesai meneguk, dalam keheningan kamarnya, pintu tiba-tiba dibuka lagi dari luar. Nayla reflek menoleh, mama tirinya masuk dengan langkah anggun, wajahnya terlihat dingin dan tajam. "Hei, Nayla. Jangan senang dan berpikir bahwa apa yang baru saja aku lakukan tadi karena sayang padamu. Kamu hanya alat untuk memperbaiki posisi keluarga kita dan tugasmu menjaga penampilan di depan calon keluarga mertua. Aku berharap kamu tidak akan memalukan keluarga ini dengan sikapmu yang tidak patut di depan mereka." Suaranya penuh sindiran. Sarah bersedekap dada di depan Nayla. Nayla merasa hatinya teriris oleh kata-kata mama tirinya. Ia merasa seperti sebuah objek yang hanya digunakan untuk kepentingan finansial. Namun, Nayla menahan diri agar tidak menunjukkan kelemahannya di
"Nay, makanlah dengan lahap, ya. Aku khawatir kamu tidak makan dengan cukup."Nayla menerima makanan dari Clara dengan senyum manis. Mereka duduk di meja kantin yang nyaman. "Terima kasih, Clara. Aku benar-benar beruntung memiliki sahabat seperti kamu yang peduli dengan kesehatanku.""Tentu saja, Nay. Kamu tahu, kan, aku selalu ingin yang terbaik untukmu? Kesehatan itu penting, jadi jangan ragu untuk makan yang banyak."Nayla terharu diberikan makan siang oleh Clara berupa nasi box lengkap dengan segelas minuman. Clara dengan perhatian mengatakan bahwa ia harus makan sampai kenyang agar tidak pingsan seperti kemarin.Ia juga menambahkan bahwa tidak apa-apa jika Nayla menjadi gemuk asal tetap sehat. Mendengar kata-kata tersebut, Nayla jadi teringat akan ucapan papanya bahwa ia harus menjaga berat badannya agar tetap ideal. Perasaan miris melintas di dalam hati Nayla. Ia merasa sedih karena sahabatnya yang tidak ada hubungan darah denganny
"Elvan!" panggil Emma melambaikan tangannya pada Elvan.Lelaki berahang tegas itu tersenyum tipis, lalu menghampiri Emma di parkiran untuk pulang bersama. Alex dan Zaki yang di sana menatap dengan pandangan mencurigakan, akhir-akhir ini mereka jarang menghabiskan waktu bertiga karena Elvan sering berdua dengan Emma. "Eh, El. Sepertinya kamu sering banget sama Emma, ya? Kalian benar-benar cocok jadi sepasang kekasih," celetuk Alex mendengkus kecil. Ia mulai mengeluarkan motornya. "Iya, tuh. Kenapa tidak sekalian pacaran saja? Semua di kampus ini sudah tahu kedekatan kalian berdua itu seperti apa," sahut Zaki. Headset bluetooth di telinganya selalu setia. Elvan pun hanya melengos dan pergi tanpa mengatakan apa-apa. Emma merasa sedikit canggung dengan komentar mereka, tetapi ia tetap berusaha menjaga suasana agar tidak terlalu tegang. Emma terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak Alex dan Zaki bergantian. "Ah, kalian lebih baik diam saja, y
"Tahu begini aku tidak pulang ke rumah," gumam Elvan seraya menuruni anak tangga.Elvan sungguh merasa malas ketika ia disuruh makan malam bersama orang tuanya. Ia tahu ada sesuatu yang ingin mereka bicarakan, karena biasanya mereka jarang sekali makan malam bersama di rumah. Suasana makan malam terasa hening. Elvan duduk di meja makan, wajahnya terlihat lesu dan tidak bersemangat. Laras duduk di sebelahnya dengan wajah tenang, sementara David duduk di seberang meja dengan ekspresi serius. Tak lama Laras menatap Elvan. "Ada yang ingin kami bicarakan denganmu hari ini, Elvan." Elvan dengan ekspresi malas pun menyahut, "Ada apa?" David meletakkan garpunya. "Kami ingin membicarakan tentang Nayla. Bagaimana pendapatmu tentang dia? Apa kamu sudah mulai menyukainya?" Elvan berdecak pelan, sudah ia tebak arah pembicaraan mereka. "Belum. Entah aku bisa menyukainya atau tidak." Laras mengernyitkan kening. "Bagaimana dengan
Emma tiba-tiba berkata, "Oh iya, kalau suatu saat aku tidak ada dan pergi jauh, tolong jangan menangis, ya, El. Soalnya kamu jadi terlihat jelek kalau menangis." Elvan reflek terkejut mendengar perkataan tersebut dan merasa bingung dengan perubahan sikap Emma hari ini. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi padanya."Apa maksudmu, Emma?" Namun, beberapa saat kemudian, Emma tertawa dengan renyah. "Hahaha, itu hanya candaan, Elvan! Kamu tahu, kan, aku suka bercanda! Wajahmu tadi benar-benar lucu tahu!" Elvan spontan kesal dengan candaan tersebut. Ia langsung merapatkan tangannya dan mulai menggelitiki Emma sebagai balasannya. "Oh, jadi seperti itu rupanya? Hem, baiklah. Kalau begitu, siap-siap kena balasannya!" Merasa sangat geli, Emma langsung tertawa-tawa dan menggeliat sambil memohon-mohon pada Elvan untuk berhenti. Emma terus meminta maaf dengan terputus-putus dan sambil tertawa keras. "Rasakan ini, Emma!" "El