Share

Bab 2

Author: Fuko
Hansen juga menatapku dengan tajam, nada bicaranya terdengar sangat kecewa.

"Revina, aku benar-benar nggak menyangka ternyata sifatmu begini. Pendonor ginjal itu aku yang temukan, jadi kamu nggak berhak memutuskan!"

Ini benar-benar konyol.

Perkataan itu keluar dari tunanganku yang telah bersamaku selama delapan tahun dan mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku.

Ekspresiku pun menjadi dingin. Aku berkata kepada Hansen dengan nada dingin yang belum pernah kugunakan.

"Kamu pikir aku yang salah setiap kali dia menangis? Kamu itu tunangannya atau tunanganku?"

"Hansen, kamu harus paham sesuatu. Dia itu meminta dua ginjal! Siapa yang sebenarnya memaksa siapa untuk mati, hah!"

...

Sebersit cahaya pun berkilat dalam pandangan Hansen. Dia memperhalus nada bicaranya dan memperlembut suaranya.

"Revina, berikan saja kedua ginjal donor itu ke Lidya. Aku akan mencari pendonor lain buatmu secepatnya."

Aku sontak menatap Hansen dengan tidak percaya.

Ternyata dia tahu bahwa Lidya menginginkan dua ginjal!

Aku menatap ibuku lagi yang ekspresinya terlihat sangat serius seolah-olah kedua ginjal itu memang seharusnya menjadi milik Lydia seutuhnya.

Benar-benar konyol.

Aku refleks tertawa terbahak-bahak.

"Hansen, kita sudah bersama selama delapan tahun dan kupikir aku sangat mengenalmu. Ternyata aku nggak sadar kalau kamu entah sejak kapan kamu punya hubungan dengan Lidya."

"Kalau aku bilang menurut dokter kondisiku memburuk dan aku akan mati apabila nggak menjalani transplantasi kali ini, apa kamu masih akan bersikeras memintaku menyerahkan ginjal donorku pada Lydia?"

Hansen buru-buru menarikku untuk bicara, tetapi Lydia menyelanya dengan menangis.

"Kak, kamu salah paham sama aku dan Kak Hansen. Sekalipun kamu nggak mau aku menjalani transplantasi, kamu juga nggak seharusnya pakai alasan seperti itu untuk membuat Kak Hansen khawatir."

Ibuku ikut menimpali.

"Aku sudah tanya ke dokter kemarin. Dokter bilang kondisimu stabil dan kamu dapat menunggu sepuluh tahun lagi untuk pendonor baru."

Sorot tatapan Hansen langsung berubah.

"Revina, kamu benar-benar berubah. Ke mana perginya sosokmu yang dulu baik dan polos itu?"

"Atau seperti kata Bibi, kamu sejak kecil memang sosok kakak yang suka menipu, berbohong dan menindas?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Hansen. Aku mendorongnya menjauh dan bersiap untuk pergi menemui dokter.

"Aku bisa hidup dengan baik walau hanya memiliki satu ginjal. Kalaupun aku nggak mau ginjal donor itu, dokter juga nggak akan memberikan keduanya buat Lidya. Lupakan saja ide ini!"

Ekspresi ibuku langsung berubah. Dia menghentikanku pergi.

Saat aku meronta, Hansen diam-diam mendekatiku. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan, yang jelas pandanganku menggelap dan aku pingsan.

...

Saat tersadar, aku berada di sebuah vila di pinggiran kota.

Hansen sedang berdiri di depan sebuah jendela bergaya barat dan berujar dengan lembut di telepon.

"Tenanglah dan siap-siap saja untuk operasi. Aku akan menyuruh orang untuk mengurusnya."

"Lidya, kamu ditindas oleh kakakmu karena kamu terlalu baik. Kalau waktu itu kamu nggak menyeret tubuhmu yang sakit untuk menyelamatkanku, aku pasti sudah mati."

"Aku …."

Belum sempat Hansen selesai bicara, dia mendengarku bangun di belakangnya. Dia pun menoleh menatapku, lalu berkata lagi di telepon.

"Aku masih ada urusan lain, jadi kututup dulu teleponnya."

Aku baru tersadar sedang menangis saat air mata yang dingin mengalir di pipiku dan masuk ke mulutku.

Hansen yang dulu selalu merasa iba setiap melihatku menangis kini menatapku dengan dingin dan sedikit tidak sabar.

"Kamu sebaiknya tinggal di vila untuk sementara waktu. Kamu baru boleh ke rumah sakit setelah operasi Lydia selesai."

Aku menyeka air mataku dan bertanya.

"Kamu mencintainya? Kamu bahkan nggak peduli kalau aku sampai mati?"

Hansen mengernyit dan menjawab dengan nada datar.

"Revina, jangan menggunakan kedok cinta untuk mengancamku dengan kematian."

"Kamu tahu aku benci diancam."

Hansen pun membungkuk, satu tangannya menopang di atas tempat tidur dan satu tangannya lagi memegang daguku. Dia berujar memperingatkanku.

"Sakitmu nggak selama adikmu. Dia hanya ingin hidup seperti orang normal. Kenapa kamu begitu egois? Apa kamu nggak bisa menunggu ginjal berikutnya?"
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tunanganku Mendonor Ginjalku   Bab 11

    Orang-orang di Myano Utara mengirimkan video penyiksaan ibuku kepada Hansen dan meminta imbalan uang.Dalam video itu, ibuku dipukuli sampai berlumuran darah. Dia terus mengutuk Lydia agar mati dengan mengenaskan sekaligus mengutarakan kerinduannya padaku.Hansen mengembuskan asap rokoknya dengan santai dan berujar."Cabut kedua ginjalnya, baru aku akan memberimu uang."Aku menatap sorot tatapan Hansen yang sarat akan hasrat membunuh dan sontak bergidik.Lalu, aku pun tersenyum dengan lega.Hansen belum tahu, tetapi adikku sudah menyiapkan sebuah kejutan besar untuknya.…Selama beberapa waktu belakangan ini, Hansen tidak pernah datang bekerja. Dia sibuk mabuk-mabukan setiap hari sambil memegang guci abuku dan memanggil namaku. Aku jadi merasa jengah.Aku berputar-putar mengelilingi Hansen selama beberapa saat, lalu Pak Erik mengangkat Hansen agar bangkit berdiri dari lantai dan berkata dengan cemas."Sesuatu terjadi, Pak Hansen. Dokumen rahasia perusahaan bocor, jadi proyek kita diblo

  • Tunanganku Mendonor Ginjalku   Bab 10

    [Hal yang paling kusesali dalam hidup ini adalah jatuh cinta padamu. Kalau ada kehidupan kedua, kuharap kita nggak akan pernah bertemu lagi ….]Air mata Hansen pun terjatuh dan membasahi surat itu.Aku menonton dengan agak senang hingga Hansen tiba-tiba bergegas keluar kamar, lalu mengambil kunci mobil dari pintu masuk dan melaju menuju rumah sakit.…Lidya sangat gembira melihat Hansen. Dia bahkan menyapa sambil tersenyum, "Kak Hansen."Hansen segera menghampiri tempat tidur Lidya dengan ekspresi yang mengerikan, lalu mencengkeram leher Lidya dengan kencang.Tentu saja Lidya sangat terkejut dengan sikap Hansen.Wajahnya memerah dan dia mengayunkan tangannya dengan lemah untuk mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Hansen."Lidya! Pak Hansen, apa-apaan ini! Lepaskan!"Ibuku bergegas mendekat dan memukuli Hansen, bahkan mencakar dan menggigit pria itu dengan kencang. Akhirnya, Hansen melepaskan Lydia.Ibuku memeluk Lidya yang terbatuk-batuk dan menegur Hansen sambil menangis."Pak Han

  • Tunanganku Mendonor Ginjalku   Bab 9

    Aku sebenarnya sudah berulang kali mengingatkan diriku agar jangan merasa sedih atau kesal.Namun, entah kenapa air mataku tetap mengalir.Sekarang, aku baru sadar bahwa arwah juga bisa menangis.Ibuku terus mengoceh, dia tidak menyadari sorot tatapan Hansen yang berubah menjadi makin tajam dan sarat akan hasrat membunuh.Setelah ibuku bilang membuang abuku, tangan Hansen yang besar langsung mencengkeram tulang bahu ibuku dengan begitu kuat hingga nyaris meremukkannya.Pak Erik berusaha sekuat tenaga untuk menarik Hansen menjauh, lalu mencondongkan tubuhnya ke telinga Hansen dan menasihati dengan serius."Pak Hansen, kalau nggak segera ke sana, abu Nona Revina akan hilang."Lidya tidak mengacuhkan tubuhnya yang baru saja menjalani operasi. Dia bergegas keluar dari kamar rawat dan berseru dengan lantang."Kak Hansen, apa kamu sudah nggak menginginkan aku lagi?""Kakakku sudah tiada, tapi apa kamu juga mau aku menyusul?"Hansen berhenti melangkah, tetapi tidak menoleh."Sudah kubilang, y

  • Tunanganku Mendonor Ginjalku   Bab 8

    Hansen juga balas tersenyum."Lydia, kamu baik-baik saja. Istirahatlah yang cukup. Aku pergi dulu."Lydia buru-buru meraih tangan Hansen dengan wajah yang pucat dan air mata yang mengalir turun."Kak Hansen, sebelum aku masuk ke ruang operasi, kamu bilang akan berjanji satu hal padaku. Apa itu masih berlaku?"Hansen mengangguk dan berujar dengan tegas."Tentu saja, itu berlaku sampai kapan pun."Lidya pun berujar dengan suara pelan."Kak Hansen, aku menyukaimu dan ingin bersamamu."Pengakuan mendadak ini membuat Hansen sedikit kehilangan kata-kata.Dia terdiam beberapa saat, lalu berkata perlahan."Lydia, aku sudah berjanji pada kakakmu untuk menikahinya. Aku nggak bisa mengecewakannya."Lidya menyahut dengan tercekat."Kamu nggak bisa mengecewakannya, tapi bisa mengecewakanku? Kamu sudah lupa perbuatanmu padaku malam itu?"Rasanya seperti ada seutas tali dalam hatikku yang langsung putus.Aku sontak merasa mual dan muntah-muntah.Ternyata arwah masih memiliki emosi dan perasaan. Sudah

  • Tunanganku Mendonor Ginjalku   Bab 7

    "Kamu fokus saja dengan operasimu, biarkan dia di vila itu untuk merefleksikan diri. Nggak usah memikirkan soal itu."...Malam itu, Hansen tidak pulang karena Lidya memohon agar dia tetap tinggal.Hansen pun bersandar di jendela tangga darurat sambil merokok. Dia mengeluarkan ponselnya dan berulang kali menghubungi telepon rumah vila itu.Telepon Hansen tidak tersambung karena telepon rumah sedang sibuk, jadi dia akhirnya menelepon Pak Erik dengan frustasi."Kamu yakin telepon di vila hanya bisa menerima panggilan masuk dan nggak bisa melakukan panggilan keluar?""Iya, yakin, Pak Hansen," jawab Pak Erik dengan tegas di ujung telepon sana.Hansen mengisap rokoknya dalam-dalam dan berkata dengan dingin."Besok pergilah ke sana. Cari tahu mengapa telepon vila selalu sibuk dan nggak bisa dihubungi."Entah apa yang sedang dirasakan Hansen saat ini. Yang jelas, dia sama sekali tidak bisa tidur dan sesekali mencoba menelepon ke telepon rumah vila.Pagi-pagi sekali, dokter datang untuk memban

  • Tunanganku Mendonor Ginjalku   Bab 6

    Ayahku diam-diam mengajakku makan restoran cepat saji karena Lydia sendiri sedang sakit dan tidak bisa makan. Ayahku tidak ingin aku kehilangan kegembiraan masa kecilku.Orang tua kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memperlakukan Lidya secara adil, tetapi ternyata itu justru menumbuhkan bibit kebencian dalam hati Lidya.Lidya menatapku dengan ekspresi arogan."Sebenarnya, aku sudah lama tahu soal perselingkuhan Ayah. Akulah yang menutupinya.""Bibi itu sangat baik, dia lebih cantik dan lembut daripada Ibu. Yang terpenting, dia kaya dan selalu membelikanku apa yang kuinginkan.""Siapa sangka pas pertama kali Ayah mengajakmu berselingkuh, Ayah malah ketahuan. Sayang sekali. Kamu benar-benar malapetaka ...."Aku refleks menengadah dan memelototi Lidya, rasanya ingin sekali aku mencabiknya.Waktu ikut ayahku berselingkuh di rumah bibi itu, aku langsung tertidur setelah meminum air yang diberikan bibi itu.Aku sudah menanggung cap jelek ini selama bertahun-tahun. Ibu dan para kerab

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status