Tapi, bisa apa aku? Rasa bersalah jauh lebih besar daripada rasa bahagiaku, maafkan aku yang telah menyia-nyiakan kalian. Sungguh ingin rasanya aku menebus semua perlakuanku dulu pada kalian, aku terlalu banyak menyakiti kalian dan malah lebih mempercayai ucapan ibuku yang berniat memisahkan kita sekalipun sudah memiliki cucu darimu, wanita yang dianggapnya tak pantas dan tak memenuhi kriterianya meskipun beliau tahu aku sangat mencintaimu.
Sebelum sampai di hadapan mereka kutarik dalam-dalam nafasku untuk sedikit mengurangi gemuruh di dadaku dan mencegah tangisku pecah karna terharu bisa menemukan orang terkasih yang selama ini selalu kurindukan dan kucari keberadaannya.
"Diego ... kamu di sini? Papa nyari kamu kemana-mana, Nak!" Aku langsung memeluk dan menggendong Diego merasa lega telah menemukannya.
Kulirik Ria tengah memandangku kaget mungkin dia syock melihatku berdiri di hadapannya di kota ini, sedang Dhea dia terdiam kaget juga sepertinya, tapi kemudian tanpa ekspresi. Mungkinkah Dhea tak ingat padaku? Mungkinkah dia lupa bahwa aku papanya? Namun, aku lega setelah melihat senyuman di bibir mungilnya, senyuman itu sama persis dengan senyumanku. Oh Tuhan kenapa dulu aku sampai meragukan bahwa dia adalah darah dagingku?
*** POV DIO OFF ***
~~~
***POV RIA***
"Diego, sepertinya tante sama kak Dhea harus pergi, bye Diego ...," pamitku setelah rasioku kembali dan segera menggandeng tangan Dhea setelah meletakkan beberapa lembar uang di meja.
"Tapi, Ma, Dhea masih mau main sama Diego. Itu papanya Diego juga udah ketemu," protes Dhea.
Tak kuhiraukan protes Dhea, aku tetap menggandeng tangannya dan ingin sesegera mungkin menjauhkan diri dari mereka.
"Tante makasih, Diego masih mau main! Diego, sayang Tante sama Kak Dhea," teriak anak laki-laki kecil itu dari gendongan papanya.
Deg.
Sesaat langkahku terhenti mendengar ucapan anak polos itu.
"Maaf, Sayang, kami harus pergi," aku berusaha menjawab ucapannya dengan bibir bergetar menahan tangisku tanpa menoleh ke arahnya karna akan menambah sakit di dadaku.
"Tunggu Ria! Aku ingin bicara!" Teriak lelaki itu mencoba berjalan mendekat ke arahku sambil menggendong putranya.
"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, semua sudah berakhir," jawabku lalu beranjak pergi.
"Tapi kau masih istriku dan Dhea adalah anakku, aku masih berhak pada kalian," timpalnya dengan langkah yang semakin dekat dengan kami.
Deg ... perkataannya membuatku tak berkutik. Aku hanya bisa terdiam. Memang yang diucapkannya benar.
"Ayolah Ria, kita perlu bicara! Empat tahun sudah kalian meninggalkanku, apakah tak ada kesempatan kedua untukku?" tambahnya.
Aku tak menjawabnya, kemudian berlalu pergi meninggalkannya segera pulang ke rumah.
"Ma ... Mama kenapa menangis? Om tadi siapa, Ma? Kenapa om itu bilang Mama istrinya dan Dhea anaknya? kenapa Dhea seperti pernah ketemu sama om itu, Ma?" tanya Dhea sambil memegang tanganku.
"Dia papa mu, Nak, tapi berjanjilah apapun yang terjadi tetaplah bersama mama! Jangan pernah meninggalkan mama," isakku kemudian memeluknya.
Sebenarnya aku takut mengatakan hal itu pada Dhea, tapi aku harus jujur padanya. Walaupun Dhea masih berusia 8 tahun, tapi pemikirannya lebih dewasa melebihi usia anak sebayanya. Dan aku yakin dia bisa mengerti semua keadaan ini.
"Kalau om itu papaku, berarti Diego adikku dong, Ma? Asyik Dhea punya adik pinter kayak Diego!" tanya Dhea polos penuh kegembiaran.
Sesaat aku terdiam untuk berpikir, akhirnya kuiyakan pertanyaan putriku itu walau di hatiku terasa sakit.
"Iya, Sayang, sudah malam saatnya tidur! besok Dhea sekolah, kan? Emmmuuach ... mimpi indah, Sayang, jangan lupa berdoa dulu, ya!" Kukecup kedua pipi anakku agar dia segera terlelap tidur supaya tak banyak bertanya lagi.
"Iya, Ma, tapi kenapa kita tidak tinggal bersama papa dan Diego kalau memang benar kita keluarga?" Pertanyaan yang kutakutkan akhirnya lolos juga dari bibir mungilnya.
" Emmmh ... begini, Sayang, ada beberapa hal yang belum saatnya kamu tahu, dan mama janji nanti kalau sudah saatnya pasti mama ceritakan semuanya padamu," jawabku gugup.
"Ya, sudah, Ma, gak apa-apa , tapi Dhea tau apa yang Mama lakukan pasti yang terbaik buat Dhea, karena Mama sayang Dhea, kan? Dhea juga sayang banget sama Mama," ucapnya lalu memelukku dan dengan penuh haru kubalas erat pelukannya.
"Terima kasih, Sayang, Dhea mau mengerti keadaan mama. Mama juga menyayangimu, Nak, sangat menyayangimu." Air mataku jatuh tak terbendung mendengar penuturan anak seusianya yang menenangkan dan memberi dukungan untukku.
Setelah beberapa menit akhirnya putriku tertidur juga.
Aku bangkit dari kamar kemudian mengunci pintu rumah yang sejak tadi terbuka karna sewaktu pulang buru-buru masuk kamar jadi lupa menguncinya.
Aku duduk diam di ranjang sebelah anakku yang tertidur. Sibuk mengingat hal yang srlama ini berusaha kutenggelamkan. Akhirnya memori hitam yang kupendam harus muncul kembali.
Diego. Mungkinkah Diego adalah anak dari mas Dio dan Marissa?
Pertanyaan itulah yang kemudian muncul di kepalaku? Jika benar tak apalah, bukankah Diego adalah darah daging papanya Dhea juga? berarti saudara Dhea juga. Diego itu tidak salah, dia tak tahu menahu apa-apa. Dia hanya anak kecil yang polos dan suci, aku pun juga tak membencinya.
Akhirnya aku juga ikut terlelap tidur.
***Flash Back Off***
"Hei, Ria .. ngelamun aja! Kesambet, loh!" Tiba-tiba ada yang mengagetkanku dan segera kuhapus lelehan air mata untuk menutupi kesedihanku."Gak kok, Mas, aku gak lagi ngelamun, kok!" elakku lalu mengalihkan pandangan pada Dhea untuk menyembunyikan sorot mataku yang mungkin terlihat sembab."Kenapa? Dhea minta jajan, ya? Terus kakaknya juga kepengen, akhirnya merengek nangis, ikutan minta terus gak dikasih, ya? Hahaha ...," godanya."Apaan sih, Mas Reyhan ini, Dhea itu anakku bukan adik ku! lagian siapa juga yang rebutan jajan?" protesku kesal mendengar ejekan yang terus dilontarkannya setiap kali dia melihatku sedih."What? Anak? Kalian itu pantesnya adik-kakak, karena usianya gak beda jauh hahaha ... makanya dulu kalau masih kecil jangan buru-buru nikah terus punya anak! Akhirnya gak ada yang percaya,kan, kalau itu anaknya? Terus kalau anaknya nangis minta jajan, ibunya juga ikutan nangis pengen jajannya juga!" ejeknya panjang kali lebar s
*** MASIH POV RIA***Di rumah dengan lincah kupersiapkan menu makan malam, walau hanya seadanya.Tak sadar aku senyum-senyum sendiri mengingat candaanku dengan Reyhan tadi, aku sebenarnya tak tega mengolokinya seperti tadi, tapi itu di luar kendaliku.Kata-kata itu seperti lolos begitu saja dari mulutku, aku jadi bisa tertawa lepas melupakan kesedihan.Terima kasih tuan Reyhan Pratama, kau adalah malaikat tak bersayapku. Selama empat tahun ini sudah banyak membantuku.Seperti hari-hari kita yang penuh kekonyolan, saat pertama berjumpa pun dengan cara yang konyol.Aku yang saat itu tengah berjalan menggandeng Dhea yang sudah kelelahan. Saat itu matahari tengah teriknya. Aku dan Dhea terus mencari kost-an kosong untuk kami tinggali di kota asing ini, karena kasihan melihat putri kecilku kepanasan juga kelelahan, akhirnya aku berinisiatif mencari ojek saja biar lebih cepat dapat kost yang nyaman dan sesuai budget.Saat lewa
" Assalamualaikum, Mama ... Dhea pulang!" teriaknya lalu berlari menuju kipas angin yang ada di kamar, kemudian menyalakannya, mungkin kegerahan.Suara Dhea mengagetkan lamunanku, membuatku kembali konsentrasi memasak menu makan malam."Waalaikumusalam, Sayang, udah pulang? Mana Om Reyhan?""Itu di luar, Ma, Om Reyhan ketinggalan, kalah cepet larinya sama Dhea, hihihi...," kelakar Dhea bahagia.Selalu, Reyhan pasti selalu punya cara untuk membuat Dhea senang. Dia pasti mengalah untuk anak itu."Assalamualaikum, hem ... harum banget baunya, masak apa, sih?" Yang dibicarakan datang, kemudian masuk dan duduk di depan tv yang sekaligus menjadi ruang tamu di mess ini.Mess ini memang tidak terlalu besar, hanya terdiri ruang tamu sekaligus yang kufungsikan sebagai ruang tv, satu kamar tidur, ditambah satu dapur kecil yang bersebelahan dengan kamar mandi minimalis. Tidak ada sofa, hanya karpet berukuran sebesar ruang tamu yang terbentang.Me
"Maafkan aku yang sudah meragukanmu, Ria, aku terpengaruh oleh ucapan ibuku," sesalnya."Itulah kebodohanmu, Mas, kamu hanya mendengarkan ibumu tanpa mendengar penjelasanku. Aku sangat sakit hati akan hal itu, Mas!" Bibirku bergetar menahan rasa marah yang selama ini kupendam."Maaf Ria, maaf ... tapi aku sudah tahu semuanya yang telah terjadi, ibu sudah menjelaskan segalanya sebelum beliau meninggal," isaknya."Innaillahi wa innaillahi rojiuun, apa, ibu meninggal, Mas? Kapan?" tanyaku kaget mendengar berita kematian mertuaku. Meski beliau pernah menyakiti hatiku tapi aku tetap menghormatinya."Dua tahun yang lalu, ibu juga berpesan ingin meminta maaf padamu dan juga Dhea. Ibu menyesal atas semua perlakuannya kalian. Andaikan bisa, beliau ingin bersujud meminta maaf langsung padamu. Namun, setelah mengucapkan keinginannya itu beliau sudah dipanggil Allah terlebih dahulu," terangnya sambil matanya menerawang."Lalu Marissa? Dan Diego itu bukankah be
Tak tahan lapar, akhirnya kuputuskan menuju meja makan, kemudian mulai membuka tudung saji tanpa menghiraukan hadirnya Marissa.Dengan tenang dan diam kuambil piring lalu menyendokkan nasi ke piring, Namun tiba-tiba tangan Marissa mencekalku."Sini, Sayang, biar aku ambilin, aku 'kan harus belajar melayani calon suamiku," ucapnya sambil meraih piring dari tanganku yang malah kutepis."Tak usah aku bisa sendiri! Calon suami? Ingat ya, sampai kapan pun aku tak 'kan sudi menikah denganmu!" Kupandang dia dengan sorotan tajam, beranjak duduk di kursi ujung menjauh darinya kemudian makan dengan lahapnya."Sialan! Awas saja Dio, kamu boleh sombong sekarang, tapi lihat saja nanti, kamu akan jadi milikku dan setelah itu akan kubalas perbuatanmu ini," gumam Marissa yang masih bisa terdengar tanpa kuhiraukan.Selesai makan aku menonton tv, setelah bosan kuputuskan menuju kamar untuk tidur saja, tapi saat sampai di depan pintu kepalaku terasa sangat berat dan
Itulah sebabnya hingga kini kupilih berdiam diri sambil mencari bukti bahwa semua yang diucapkan ibu itu salah. Namun, aku bisa apa? Ibu selalu mengancam akan pergi dari rumah bila aku tak percaya dan berani melawannya.Ah, betapa lemahnya diriku ini sebagai lelaki, di satu sisi ingin tetap bersamamu karena jujur aku masih sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu malah mengkhianatiku, Ria, dan kamu kenapa selalu berlaku buruk pada ibuku yang juga sangat aku sayangi.Sedangkan di sisi lain aku selalu tak bisa membantah ibu, karena telah terikat janji pada almarhum ayah untuk terus mengikuti apa yang dikatakannya dan tidak akan pernah membantah maupun menyakiti hatinya. Meski terpaksa harus kulanggar saat itu dengan terpaksa untuk menikahimu tanpa restunya sekalipun karena besarnya rasa cintaku padamu. Harusnya kamu mengerti dan membalas pengorbananku dengan juga menurut padanya. Namun kini seakan sia-sia semuanya, semua gara-gara aku berbuat bodoh demikian."Kamu uda
"Dio, aku sadar aku memang tak berarti untukmu. Tapi, demi anak yang ada dalam kandungan ini kumohon nikahi aku, walau hanya secara siri aku rela asal anakku saat lahir nanti mempunyai seorang papa. Aku tak ingin digunjing orang telah hamil tanpa suami, jangan buat orangtuaku malu, Dio," rengek Marissa yang tengah menangis di depanku."Ah, kenapa sih, kamu gak nolak saat itu?" Aku sangat frustasi. Sementara Marissa terus terisak."Aku mohon demi anak ini, Dio, kasihanilah dia yang tak berdosa.""Apa yang dikatakan Marissa itu benar, Dio. Kamu harus secepatnya menikahi Marrisa walau hanya secara siri sampai Ria di temukan, lalu ceraikanlah Ria kemudian menikahlah secara sah hukum negara dengan Marissa! Ingat yang ada dikandungannya itu anak kandungmu, cucu ibu!" bela ibuku."Apa, Bu? Itu semua tidak mungkin. Aku akan menikahi Marrisa, tapi tolong jangan menyuruhku menceraikan Ria! Dan kamu Marrisa, harus kamu tahu aku menikahimu hanya semata-mata demi anak
Kucoba berkali-kali menghubungi ponsel Marrisa, tapi tak dijawabnya, kukirimi dia pesan berkali-kali namun masih belum ada balasan.Hingga saat aku mulai menyerah tiba-tiba Marrisa mengangkat teleponku."Marrisa cepatlah ke rumah sakit, Diego sedang sakit dan membutuhkan tranfusi darah," jelasku saat dia menjawab panggilan yang entah ke berapa kali itu."Tinggal ditranfusi aja apa sih, susahnya?Kamu kan, bisa ngatasi sendirian. Aku masih sibuk, masih liburan di Bali jadi tidak bisa pulang sekarang," jawabnya ketus tanpa rasa khawatir."Tapi golongan darahku gak sama dengan Diego, aku O sementara Diego A--""Cari ke PMI 'kan bisa, gitu aja kok repot!" potongnya."Stocknya lagi habis, ini darurat Marrisa pokoknya sekarang juga kamu harus pulang!" perintahku tegas."Mana bisa? Aku pulang pun percuma karena golongan darahku juga O, jadi ...." Marrisa menghentikan ucapannya."Kalau aku O dan kamu juga O, kenapa bisa Diego A, h