Share

Bab 2

last update Last Updated: 2021-06-04 16:58:42

Tapi, bisa apa aku? Rasa bersalah jauh lebih besar daripada rasa bahagiaku, maafkan aku yang telah menyia-nyiakan kalian. Sungguh ingin rasanya aku menebus semua perlakuanku dulu pada kalian, aku terlalu banyak menyakiti kalian dan malah lebih mempercayai ucapan ibuku yang berniat memisahkan kita sekalipun sudah memiliki cucu darimu, wanita yang dianggapnya tak pantas dan tak memenuhi kriterianya meskipun beliau tahu aku sangat mencintaimu.

Sebelum sampai di hadapan mereka kutarik dalam-dalam nafasku untuk sedikit mengurangi gemuruh di dadaku dan mencegah tangisku pecah karna terharu bisa menemukan orang terkasih yang selama ini selalu kurindukan dan kucari keberadaannya.

"Diego ... kamu di sini? Papa nyari kamu kemana-mana, Nak!" Aku langsung memeluk dan menggendong Diego merasa lega telah menemukannya.

Kulirik Ria tengah memandangku kaget mungkin dia syock melihatku berdiri di hadapannya di kota ini, sedang Dhea dia terdiam kaget juga sepertinya, tapi kemudian tanpa ekspresi. Mungkinkah Dhea tak ingat padaku? Mungkinkah dia lupa bahwa aku papanya? Namun, aku lega setelah melihat senyuman di bibir mungilnya, senyuman itu sama persis dengan senyumanku. Oh Tuhan kenapa dulu aku sampai meragukan bahwa dia adalah darah dagingku?

*** POV DIO OFF ***

~~~

***POV RIA***

"Diego, sepertinya tante sama kak Dhea harus pergi, bye Diego ...," pamitku setelah rasioku kembali dan segera menggandeng tangan Dhea setelah meletakkan beberapa lembar uang di meja.

"Tapi, Ma, Dhea masih mau main sama Diego. Itu papanya Diego juga udah ketemu," protes Dhea.

Tak kuhiraukan protes Dhea, aku tetap menggandeng tangannya dan ingin sesegera mungkin menjauhkan diri dari mereka.

"Tante makasih, Diego masih mau main! Diego, sayang Tante sama Kak Dhea," teriak anak laki-laki kecil itu dari gendongan papanya.

Deg.

Sesaat langkahku terhenti mendengar ucapan anak polos itu.

"Maaf, Sayang, kami harus pergi," aku berusaha menjawab ucapannya dengan bibir bergetar menahan tangisku tanpa menoleh ke arahnya karna akan menambah sakit di dadaku.

"Tunggu Ria! Aku ingin bicara!" Teriak lelaki itu mencoba berjalan mendekat ke arahku sambil menggendong putranya.

"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, semua sudah berakhir," jawabku lalu beranjak pergi.

"Tapi kau masih istriku dan Dhea adalah anakku, aku masih berhak pada kalian," timpalnya dengan langkah yang semakin dekat dengan kami.

Deg ... perkataannya membuatku tak berkutik. Aku hanya bisa terdiam. Memang yang diucapkannya benar.

"Ayolah Ria, kita perlu bicara! Empat tahun sudah kalian meninggalkanku, apakah tak ada kesempatan kedua untukku?" tambahnya.

Aku tak menjawabnya, kemudian berlalu pergi meninggalkannya segera pulang ke rumah.

"Ma ... Mama kenapa menangis? Om tadi siapa, Ma? Kenapa om itu bilang Mama istrinya dan Dhea anaknya? kenapa Dhea seperti pernah ketemu sama om itu, Ma?" tanya Dhea sambil memegang tanganku.

"Dia papa mu, Nak, tapi berjanjilah apapun yang terjadi tetaplah bersama mama! Jangan pernah meninggalkan mama," isakku kemudian memeluknya.

Sebenarnya aku takut mengatakan hal itu pada Dhea, tapi aku harus jujur padanya. Walaupun Dhea masih berusia 8 tahun, tapi pemikirannya lebih dewasa melebihi usia anak sebayanya. Dan aku yakin dia bisa mengerti semua keadaan ini.

"Kalau om itu papaku, berarti Diego adikku dong, Ma? Asyik Dhea punya adik pinter kayak Diego!" tanya Dhea polos penuh kegembiaran.

Sesaat aku terdiam untuk berpikir, akhirnya kuiyakan pertanyaan putriku itu walau di hatiku terasa sakit. 

"Iya, Sayang, sudah malam saatnya tidur! besok Dhea sekolah, kan? Emmmuuach ... mimpi indah, Sayang, jangan lupa berdoa dulu, ya!" Kukecup kedua pipi anakku agar dia segera terlelap tidur supaya tak banyak bertanya lagi.

"Iya, Ma, tapi kenapa kita tidak tinggal bersama papa dan Diego kalau memang benar kita keluarga?" Pertanyaan yang kutakutkan akhirnya lolos juga dari bibir mungilnya.

" Emmmh ... begini, Sayang, ada beberapa hal yang belum saatnya kamu tahu, dan mama janji nanti kalau sudah saatnya pasti mama ceritakan semuanya padamu," jawabku gugup.

"Ya, sudah, Ma, gak apa-apa , tapi Dhea tau apa yang Mama lakukan pasti yang terbaik buat Dhea, karena Mama sayang Dhea, kan? Dhea juga sayang banget sama Mama," ucapnya lalu memelukku dan dengan penuh haru kubalas erat pelukannya.

"Terima kasih, Sayang, Dhea mau mengerti keadaan mama. Mama juga menyayangimu, Nak, sangat menyayangimu." Air mataku jatuh tak terbendung mendengar penuturan anak seusianya yang menenangkan dan memberi dukungan untukku.

Setelah beberapa menit akhirnya putriku tertidur juga.

Aku bangkit dari kamar kemudian mengunci pintu rumah yang sejak tadi terbuka karna sewaktu pulang buru-buru masuk kamar jadi lupa menguncinya.

Aku duduk diam di ranjang sebelah anakku yang tertidur. Sibuk mengingat hal yang srlama ini berusaha kutenggelamkan. Akhirnya memori hitam yang kupendam harus muncul kembali.

Diego. Mungkinkah Diego adalah anak dari mas Dio dan Marissa?

Pertanyaan itulah yang kemudian muncul di kepalaku? Jika benar tak apalah, bukankah Diego adalah darah daging papanya Dhea juga? berarti saudara Dhea juga. Diego itu tidak salah, dia tak tahu menahu apa-apa. Dia hanya anak kecil yang polos dan suci, aku pun juga tak membencinya.

Akhirnya aku juga ikut terlelap tidur.

***Flash Back Off***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tunggu Jandaku, Om!   BAB 32

    "Mas, aku ... mencintaimu." Kupejamkan mata untuk mengurangi rasa malu saat mengucapkannya."Oh, terima kasih, Ria, aku juga sangat sangat sangat mencintaimu!" ucapnya girang. Kemudian melumat bibirku."Ish, Mas Reyhan! Katanya tadi nggak menciumku? Kenapa malah nyosor gitu?" Aku sedikit merajuk. Padahal dalam hati girang juga."Maaf, maaf, kebawa suasana. Gak usah melotot gitu, dong! Abis, aku gemes banget sama kamu." Mas Reyhan perlahan melepas cengkeramannya. "Tapi, kamu juga suka, kan dicium?" ledeknya sambil tersenyum manis.Senyummu, Mas, bikin meleleh!"Apaan?""Buktinya, tadi kamu bales juga! Pasti mau lagi, kan?" godanya.Ah, bodoh! Kenapa tadi secara gak sadar aku bales ciumannya? Bikin malu aja, Ria!"Udah, gak usah malu-malu gitu! Nanti kalau udah nikah pasti tiap hari aku kasih. Apa perlu tiap waktu?" godanya lagi yang semakin membuatku malu.Aku memang bukan anak gadis yang masih malu-malu dalam urusa

  • Tunggu Jandaku, Om!   Bab 31

    "Semoga yang Kakak ucapkan itu benar, tapi aku akan cari tahu sendiri kebenarannya." Lagi, Vanya tersenyum lalu menepuk tanganku."Beneran, Vanya. Kami cuma teman lama." Aku mencoba meyakinkannya."Udah, lupain aja, Kak. Aku senang bisa kenal sama Kakak. Di sini aku masih belum punya teman. Aku harap, Kakak mau jadi temanku.""Tentu saja aku mau jadi temanmu. Tapi, apa kamu gak malu temenan sama aku?"Vanya meringis."Kenapa harus malu, Kak? Aku yakin Kakak orang baik. Oh, ya, sebulan lagi aku akan menikah sama Kak Reyhan. Aku mau minta tolong sama Kakak, bantuin persiapan pernikahanku, ya!""Kamu belum benar-benar kenal aku, Vanya. Aku tak sebaik yang kamu kira.""Aku gak peduli, Kakak mau bilang apa. Yang jelas aku sangat yakin Kakak orang yang baik." Lagi, Vanya tersenyum sambil menatapku."Tapi, maaf, sepertinya aku tak bisa membantu. Aku tak bisa pergi kembali ke kota itu." Aku menolak sopan permintaannya, mendengar

  • Tunggu Jandaku, Om!   BAB 30

    "Jaga dan bahagiakan dia, Mas. Jangan pernah sakiti hatinya, dia sep--"Sebuah ciuman mendarat di bibirku, membuat terkejut sampai lupa dengan kelanjutan ucapan yang belum kuselesaikan itu.Kudorong tubuh Mas Reyhan kuat-kuat setelah rasio kembali terkumpul. Ini yang pertama dilakukannya padaku sehingga cukup canggung sekaligus emosi dibuatnya."Mas, apa yang kaulakukan?" bentakku padanya sambil tersengal menata napas dan gemuruh di dada, jantungku berdegup sangat kencang."Maaf, Ria, aku terbawa suasana, aku terlalu merindukanmu hingga tak sadar telah ... menciummu.""Kamu sudah berubah, Mas!" Merasa kesal aku mencoba membuka pintu mobil berusaha untuk keluar. Namun, pintunya sudah otomatis dikunci oleh Mas Reyhan membuatku kembali terdiam menahan amarah."Maaf, Ria, aku tidak sadar melakukannya. Maafkan aku!" Reyhan kembali memegang tanganku."Tapi, bukan begitu caranya, Mas!" Air mataku menetes, entah apa yang kurasakan saat ini. R

  • Tunggu Jandaku, Om!   Bab 29

    "Kuharap kamu bisa hadir di pernikahan kami, Ria," imbuhnya lagi."Tunggu, kalian mau menikah? Selamat ya, tapi gimana bisa?" ucapku sumringah disertai penuh rasa ingin tahu."Jadi begini, Nina lah yang selama ini selalu menghibur dan menguatkanku. Dia yang telah menyadarkan tentang kenyataan hidup, terutama menerima keputusanmu. Semua perhatiannya membuatku luluh dan merasa nyaman saat bersamanya, dan beruntungnya ternyata dia juga telah lama menyimpan perasaan padaku, lelaki bodoh ini," terang Dio sambil tertawa lalu memandang wajah Nina."Ah, mas Dio ini, bisa saja, aku 'kan nggak tega lihat kamu frustasi!" kelakar Nina sambil mencubit pinggang Dio, dia terlihat malu, pipinya bersemu merah sebelum menunduk."Mungkin memang kalian telah berjodoh, gak ada salahnya, kan? Oh ya, Diego mana kok dari tadi gak kelihatan?" Aku celingukan mencari sosok bocah kecil menggemaskan yang dari tadi tak kulihat keberadaannya itu."Diego telah dibawa Marissa dan

  • Tunggu Jandaku, Om!   Bab 28

    Saat tersadar aku sudah terbaring di ruangan yang beraroma obat-obatan. Rupanya Dio membawaku ke klinik yang tak jauh dari rumah, hal itu kuketahui setelah melihat dokter yang merupakan tetangga dekat itu tersenyum."Mbak Ria, sudah sadar? Apa yang dirasakan sekarang?" tanyanya lalu memeriksaku.Aku hanya menganggukkan kepala, karena badanku masih sangat lemah juga kepala terasa berat dan sedikit pusing."Jangan terlalu stres ya, Mbak, asupan makanannya juga dijaga biar ....""Apakah Ria sedang hamil, Dok?" Dengan semangat Dio memotong perkataan dokter."Apa kalian sedang program hamil?" tanya dokter yang bernama Rika itu balik, aku segera menggeleng sedangkan Dio antusias menganggukan kepalanya dengan cepat."Iya, Dok, kami sedang program hamil," ucap Dio asal."Tapi, sayang sekali kalau kondisi Mbak Ria seperti ini, mana bisa program kalian itu berhasil. Yang ada Mbak Ria malah kena penyakit typus kalau jarang makan seperti ini," te

  • Tunggu Jandaku, Om!   Bab 27

    ***POV RIA***"Hai, Mas, maaf aku ganggu!" ucapku setelah melihat Reyhan membuka pintu lebar-lebar."Hai, nggak ganggu kok, ada apa? Mari masuk!" Reyhan mempersilakan ke kamar tempatnya menginap."Terima kasih, ada yang mau aku bicarakan, tapi kita di teras saja, ya!" Aku duduk di kursi teras. Penginapan di sini memang hanya bangunan rumah kecil berisi satu kamar dan kamar mandi, dilengkapi sebuah teras beserta dengan kursi dan mejanya yang menghadap langsung ke laut."Apa yang akan kau bicarakan?" Mata Reyhan menyipit menyelidik ke arahku setelah ikut duduk di kursi kosong sebelahku."Bisa nggak kita batalin acara jalan-jalan nanti malam? Aku sedang tidak enak badan.""Oh, tentu saja bisa. Hanya jalan-jalan saja 'kan gak penting. Udah minum obat apa belum?""Udah, barusan. Mas, boleh nggak aku tanya sesuatu?""Apa?""Mas Reyhan jijik nggak kalau ketemu aku?" tanyaku ragu dengan suara sedikit pelan dan hati-hati.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status