Share

Bab 2

Tapi, bisa apa aku? Rasa bersalah jauh lebih besar daripada rasa bahagiaku, maafkan aku yang telah menyia-nyiakan kalian. Sungguh ingin rasanya aku menebus semua perlakuanku dulu pada kalian, aku terlalu banyak menyakiti kalian dan malah lebih mempercayai ucapan ibuku yang berniat memisahkan kita sekalipun sudah memiliki cucu darimu, wanita yang dianggapnya tak pantas dan tak memenuhi kriterianya meskipun beliau tahu aku sangat mencintaimu.

Sebelum sampai di hadapan mereka kutarik dalam-dalam nafasku untuk sedikit mengurangi gemuruh di dadaku dan mencegah tangisku pecah karna terharu bisa menemukan orang terkasih yang selama ini selalu kurindukan dan kucari keberadaannya.

"Diego ... kamu di sini? Papa nyari kamu kemana-mana, Nak!" Aku langsung memeluk dan menggendong Diego merasa lega telah menemukannya.

Kulirik Ria tengah memandangku kaget mungkin dia syock melihatku berdiri di hadapannya di kota ini, sedang Dhea dia terdiam kaget juga sepertinya, tapi kemudian tanpa ekspresi. Mungkinkah Dhea tak ingat padaku? Mungkinkah dia lupa bahwa aku papanya? Namun, aku lega setelah melihat senyuman di bibir mungilnya, senyuman itu sama persis dengan senyumanku. Oh Tuhan kenapa dulu aku sampai meragukan bahwa dia adalah darah dagingku?

*** POV DIO OFF ***

~~~

***POV RIA***

"Diego, sepertinya tante sama kak Dhea harus pergi, bye Diego ...," pamitku setelah rasioku kembali dan segera menggandeng tangan Dhea setelah meletakkan beberapa lembar uang di meja.

"Tapi, Ma, Dhea masih mau main sama Diego. Itu papanya Diego juga udah ketemu," protes Dhea.

Tak kuhiraukan protes Dhea, aku tetap menggandeng tangannya dan ingin sesegera mungkin menjauhkan diri dari mereka.

"Tante makasih, Diego masih mau main! Diego, sayang Tante sama Kak Dhea," teriak anak laki-laki kecil itu dari gendongan papanya.

Deg.

Sesaat langkahku terhenti mendengar ucapan anak polos itu.

"Maaf, Sayang, kami harus pergi," aku berusaha menjawab ucapannya dengan bibir bergetar menahan tangisku tanpa menoleh ke arahnya karna akan menambah sakit di dadaku.

"Tunggu Ria! Aku ingin bicara!" Teriak lelaki itu mencoba berjalan mendekat ke arahku sambil menggendong putranya.

"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, semua sudah berakhir," jawabku lalu beranjak pergi.

"Tapi kau masih istriku dan Dhea adalah anakku, aku masih berhak pada kalian," timpalnya dengan langkah yang semakin dekat dengan kami.

Deg ... perkataannya membuatku tak berkutik. Aku hanya bisa terdiam. Memang yang diucapkannya benar.

"Ayolah Ria, kita perlu bicara! Empat tahun sudah kalian meninggalkanku, apakah tak ada kesempatan kedua untukku?" tambahnya.

Aku tak menjawabnya, kemudian berlalu pergi meninggalkannya segera pulang ke rumah.

"Ma ... Mama kenapa menangis? Om tadi siapa, Ma? Kenapa om itu bilang Mama istrinya dan Dhea anaknya? kenapa Dhea seperti pernah ketemu sama om itu, Ma?" tanya Dhea sambil memegang tanganku.

"Dia papa mu, Nak, tapi berjanjilah apapun yang terjadi tetaplah bersama mama! Jangan pernah meninggalkan mama," isakku kemudian memeluknya.

Sebenarnya aku takut mengatakan hal itu pada Dhea, tapi aku harus jujur padanya. Walaupun Dhea masih berusia 8 tahun, tapi pemikirannya lebih dewasa melebihi usia anak sebayanya. Dan aku yakin dia bisa mengerti semua keadaan ini.

"Kalau om itu papaku, berarti Diego adikku dong, Ma? Asyik Dhea punya adik pinter kayak Diego!" tanya Dhea polos penuh kegembiaran.

Sesaat aku terdiam untuk berpikir, akhirnya kuiyakan pertanyaan putriku itu walau di hatiku terasa sakit. 

"Iya, Sayang, sudah malam saatnya tidur! besok Dhea sekolah, kan? Emmmuuach ... mimpi indah, Sayang, jangan lupa berdoa dulu, ya!" Kukecup kedua pipi anakku agar dia segera terlelap tidur supaya tak banyak bertanya lagi.

"Iya, Ma, tapi kenapa kita tidak tinggal bersama papa dan Diego kalau memang benar kita keluarga?" Pertanyaan yang kutakutkan akhirnya lolos juga dari bibir mungilnya.

" Emmmh ... begini, Sayang, ada beberapa hal yang belum saatnya kamu tahu, dan mama janji nanti kalau sudah saatnya pasti mama ceritakan semuanya padamu," jawabku gugup.

"Ya, sudah, Ma, gak apa-apa , tapi Dhea tau apa yang Mama lakukan pasti yang terbaik buat Dhea, karena Mama sayang Dhea, kan? Dhea juga sayang banget sama Mama," ucapnya lalu memelukku dan dengan penuh haru kubalas erat pelukannya.

"Terima kasih, Sayang, Dhea mau mengerti keadaan mama. Mama juga menyayangimu, Nak, sangat menyayangimu." Air mataku jatuh tak terbendung mendengar penuturan anak seusianya yang menenangkan dan memberi dukungan untukku.

Setelah beberapa menit akhirnya putriku tertidur juga.

Aku bangkit dari kamar kemudian mengunci pintu rumah yang sejak tadi terbuka karna sewaktu pulang buru-buru masuk kamar jadi lupa menguncinya.

Aku duduk diam di ranjang sebelah anakku yang tertidur. Sibuk mengingat hal yang srlama ini berusaha kutenggelamkan. Akhirnya memori hitam yang kupendam harus muncul kembali.

Diego. Mungkinkah Diego adalah anak dari mas Dio dan Marissa?

Pertanyaan itulah yang kemudian muncul di kepalaku? Jika benar tak apalah, bukankah Diego adalah darah daging papanya Dhea juga? berarti saudara Dhea juga. Diego itu tidak salah, dia tak tahu menahu apa-apa. Dia hanya anak kecil yang polos dan suci, aku pun juga tak membencinya.

Akhirnya aku juga ikut terlelap tidur.

***Flash Back Off***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status