"Dio, aku sadar aku memang tak berarti untukmu. Tapi, demi anak yang ada dalam kandungan ini kumohon nikahi aku, walau hanya secara siri aku rela asal anakku saat lahir nanti mempunyai seorang papa. Aku tak ingin digunjing orang telah hamil tanpa suami, jangan buat orangtuaku malu, Dio," rengek Marissa yang tengah menangis di depanku.
"Ah, kenapa sih, kamu gak nolak saat itu?" Aku sangat frustasi. Sementara Marissa terus terisak.
"Aku mohon demi anak ini, Dio, kasihanilah dia yang tak berdosa."
"Apa yang dikatakan Marissa itu benar, Dio. Kamu harus secepatnya menikahi Marrisa walau hanya secara siri sampai Ria di temukan, lalu ceraikanlah Ria kemudian menikahlah secara sah hukum negara dengan Marissa! Ingat yang ada dikandungannya itu anak kandungmu, cucu ibu!" bela ibuku.
"Apa, Bu? Itu semua tidak mungkin. Aku akan menikahi Marrisa, tapi tolong jangan menyuruhku menceraikan Ria! Dan kamu Marrisa, harus kamu tahu aku menikahimu hanya semata-mata demi anak
Kucoba berkali-kali menghubungi ponsel Marrisa, tapi tak dijawabnya, kukirimi dia pesan berkali-kali namun masih belum ada balasan.Hingga saat aku mulai menyerah tiba-tiba Marrisa mengangkat teleponku."Marrisa cepatlah ke rumah sakit, Diego sedang sakit dan membutuhkan tranfusi darah," jelasku saat dia menjawab panggilan yang entah ke berapa kali itu."Tinggal ditranfusi aja apa sih, susahnya?Kamu kan, bisa ngatasi sendirian. Aku masih sibuk, masih liburan di Bali jadi tidak bisa pulang sekarang," jawabnya ketus tanpa rasa khawatir."Tapi golongan darahku gak sama dengan Diego, aku O sementara Diego A--""Cari ke PMI 'kan bisa, gitu aja kok repot!" potongnya."Stocknya lagi habis, ini darurat Marrisa pokoknya sekarang juga kamu harus pulang!" perintahku tegas."Mana bisa? Aku pulang pun percuma karena golongan darahku juga O, jadi ...." Marrisa menghentikan ucapannya."Kalau aku O dan kamu juga O, kenapa bisa Diego A, h
"Kamu masih peduli juga ternyata dengan Diego", sindirku padanya saat sudah dekat dengan kami."Siapa bilang? Aku cuma mau minta kunci rumah doang, kok. Kunci yang kubawa hilang," jawabnya enteng."Kamu benar-benar keterlaluan Marrisa, sama anak sendiri gak ada pedulinya! Sekarang aku mau tanya Diego itu anak siapa?" bentakku sambil mencengkeram bahunya kuat, kesabaranku sepertinya sudah habis untuknya."Sakit, Dio! Diego anak Irgi kali," ketus Marrisa tanpa dosa."Hey, Jalang! Jaga bicaramu, ya! Bisa-bisanya kamu bawa-bawa aku, kamu kira dulu aku tak tahu kalau kamu sering gonta-ganti pasangan, hah? Seenaknya saja menuduh orang, mana ATMku kau kuras udah gitu bawa kabur mobilku. Untung aku gak nglaporin kamu ke polisi, ya!" Irgi sepertinya juga tersulut emosi sampai lupa ada Mila, calon istrinya."Tapi, kamu juga pernah nikmatin tubuhku juga, kan?" seloroh Marrisa tak tahu malu."Dasar perempuan sundel, ya, udah bejat bangga! Lama-lama aku
"Dhea itu ... sebenarnya anak kandungmu, Dio. Maafkan ibu, ibu selalu mengecohmu dengan Ria hanya karena rasa tidak suka padanya yang sangat besar. Dia sebetulnya istri yang sangat baik dan setia. Dosa ibu teramat banyak pada kalian. Maaf!" Ibu terus menangis sedangkan aku tertegun tak bisa berucap apa-apa."Tentang perselingkuhannya dengan Arfa itu ... sama sekali tidak benar, itu hanya akal-akalan ibu dengan Marrisa saja. Mereka sebenarnya tak ada hubungan apa-apa. Arfa itu sangat baik dan perhatian dengan Ria karena dia kasihan melihat Ria yang tak pernah kau hiraukan. Apalagi di masa kehamilannya, seringkali Arfa membelikan susu ibu hamil untuk Ria itu karena kata dokter Ria dan bayinya kekurangan nutrisi sebab jarang makan. Ibu yang salah Dio, ibu hanya menjadikannya seperti pembantu di rumah kita. Uang belanja dan semua uang apapun ibu minta tanpa membaginya sepeser pun." Ibu menyeka air matanya, sementara aku pun juga tak kuasa menahan tangisku mengingat perlakua
Kehidupanku mulai membaik seiring berjalannya waktu. Tak terasa sudah hampir dua tahun aku telah dipercaya mengelola perusahaan miliknya di sana yang semakin berkembang pesat di bawah kepemimpinanku. Namun, entah kenapa tiba-tiba aku diminta datang ke kota yang menjadi tempat tinggal tetap bos sekaligus teman karibku itu. Katanya ingin menunjukkan kinerja juga tempat perusahaan pusat yang selama ini masih belum kuketahui.Kebetulan juga ada beberapa dokumen yang membutuhkan tanda tangannya, jadi dengan senang hati aku berangkat dengan mengajak Diego juga. Pikirku sekaligus liburan, karena kota itu punya banyak sekali destinasi wisata yang indah untuk sekadar melepas penat.Setelah sampai di kota itu, malamnya kami pergi ke rumah makan yang cukup terkenal di dekat perusahaan yang esok akan kudatangi untuk makan malam sekaligus untuk tinjau lokasi, agar aku besok tidak kesasar.Hingga aku menemukan kembali anak dan istri yang telah lama kurindukan ke
"Ih, bibirnya itu lho ... ngegemesin. Nantangin kayaknya!" terlihat tangannya mencengkeram menggenggam gemas ke arahku."Nantangin apa?" selidikku."Nantangin buat dicium tahu!" ucapnya lalu menutup mulut, sepertinya refleks."Mulai, ya ... aku tinggal pergi, nih! Aku lagi males buat bercanda tau!""Sorry, gak deh ... silakan Nona Manis buat bercerita! Jangan ngambek, dong!"Dengerin baik-baik sebelum aku berubah pikiran!"***Dulu saat masih berusia 16 tahun setelah lulus SMP, kuputuskan pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Ibu dan ayahku memang orang miskin yang tinggal di desa dan tak sanggup membiayaiku sekolah SMA. Mereka hanya bekerja sebagai buruh di sawah tetangga dengan upah sangat minim.Hingga aku bertekad ingin merubah nasib, menjadi anak semata wayang yang merasa punya kewajiban untuk membahagiakan mereka. Walau berat hati akhirnya aku diijinkan pergi bekerja sebagai pelayan toko pakaian. Dengan pe
Beruntung ada Arfa yang memberi semangat dan menguatkanku.Beberapa saat kemudian, Arfa pamit untuk pulang. tiba-tiba Dio datang dengan muka merah padam. Namun, belum sempat mendekat ke arahku. Arfa terlihat sudah mencekal lengan suamiku, lalu mengajaknya keluar.Terdengar suara keributan di luar, sepertinya mereka sedang adu debat. Aku hanya bisa mencuri dengar dengan cemas, takut terjadi sesuatu pada mereka. Tapi syukurlah, beberapa saat kemudian akhirnya Dio masuk bersama Arfa. Lalu tersenyum dan meminta maaf karena tak bisa menemaniku.Dio terlihat lebih sumringah tatkala melihat putri kecilnya yang juga nyaris mirip dengannya. Entah apa yang mereka debatkan tadi, tapi aku bahagia melihat suamiku akhirnya mau peduli pada kami.Setelah keadaanku benar-benar pulih akhirnya aku diperbolehkan pulang, Dio terlihat antusias menggendong dan menunggui putri kami yang terlelap tidur.Namun, ibu mertuaku seperti tidak menyukai kedekatan dan kebahagiaan k
"Hingga akhirnya kami bertemu denganmu. Matahari menyengat dengan teriknya dan saat itu kami sudah sangat lelah setelah berjalan beberapa kilo meter untuk mencari kost-an. Kamu masih ingat, kan, awal perjumpaan kita? Kamu yang aku sangka tukang ojek waktu itu?" Kupandangi wajah serius Reyhan yang sejak tadi fokus mendengarkan cerita hidupku."Tentu, aku masih ingat betul. Ria, betapa menderitanya kamu sejak dulu sampai sekarang. Maafkan aku!" jawab Reyhan kemudian menarikku dalam pelukannya setelah sempat menghapus air mata yang menganak sungai di pipiku."Maaf untuk apa? Aku memang menyedihkan, iya 'kan?" Karena terbawa suasana kubalas pelukannya. Rasanya nyaman dan lega setelah bisa mengeluarkan isi hati yang menyesakkan ini.Rasanya damai bisa mendapatkan tempat untuk sesaat bisa bersandar melepaskan kesedihan setelah bertahun-tahun menyimpannya sendiri."Kamu itu kuat, Ria, bahkan sangat kuat. Aku salut akan perjuangan juga kesabaranmu itu." Rey
"Dan kamu pula yang kasih ide aku, akibat kamu nyangka aku ini tukang ojek ya sekalian aja aku ngaku jadi orang bawahan biasa biar kamu tetap mau berteman denganku," lanjutnya."Terus, gimana bisa kamu punya ide jadi HRD di kantor? Gimana caramu mengurus perusahaan di balik ruang HRD? Pantas saja aku selama kerja disitu belum pernah sekalipun ketemu sama big bos," selidikku pula penuh ingin tahu.Aku memang belum pernah bertemu dengan big bos di tempatku bekerja, walau kadang iseng bertanya pada karyawan lain, mereka hanya menjawab bahwa bos sedang di luar negeri mengurus bisnis yang lain."Mau gimana lagi? Itu juga karena kamu, mana mungkin aku ngaku jadi bos? Kebetulan posisi HRD waktu itu lagi kosong, jadi aku pakai saja posisi itu dan terpaksa secara diam-diam menghandle perusahaan di balik kursi jabatan itu. Semua pegawai juga sudah kusuruh tutup mulut jika kamu bertanya tentang bos disitu, untungnya semua gak ada yang bocor," jelas Reyhan."Kenapa s