Bagian 2
Oke, mari kita lihat siapa yang lebih jago di antar kita, Mas.Segera ku salin pesan tersebut, lalu mengirimkannya ke ponselku. Siapa tahu aku membutuhkannya nanti.Sebenarnya, bisa saja aku mengambil mobil itu dari wanita yang bernama Sofia itu. Dengan uang yang kumiliki, mudah bagiku untuk melacak di mana wanita itu berada. Tapi aku tidak mau gegabah. Harus kuselidiki terlebih dahulu apa motif Mas Hanif sampai-sampai ia tega membohongiku.Aku baru ingat, seminggu yang lalu Mas Hanif memang meminta sejumlah uang padaku dengan jumlah yang cukup besar, tapi alasannya tidak jelas mau dikemanakan uang itu. Jelas saja aku tidak mengabulkan permintaannya.Mungkin itu sebabnya Mas Hanif sengaja membohongiku dengan mengatakan kalau mobilku hilang. Aku yakin, jika dituruti keinginannya, pasti ia akan membeli mobil baru untuk wanita itu.Ternyata kamu licik, Mas! Tega-teganya membohongiku."Mir, kamu belum tidur?" Tiba-tiba Mas Hanif terbangun.Aku segera menyembunyikan ponselnya agar Mas Hanif tidak mengetahui kalau aku habis melakukan cek dan ricek terhadap ponselnya."Ayo, sini, gak baik tidur lama-lama!" Mas Hanif kembali memanggilku.Akhirnya kuturuti saja ajakannya. Benar juga apa yang dikatakannya, ini sudah larut malam. Kukembalikan ponselnya ke tempat semula agar Mas Hanif tidak curiga jika ternyata aku sudah mengetahui rahasianya.***"Mir, BPKB mobil mana? Mas membutuhkannya karena mau membuat laporan kehilangan kendaraan. Pasti polisi akan meminta BPKB-nya nanti." Mas Hanif menadahkan tangannya padaku."Ada, udah aku siapin. Aku akan ikut menemanimu ke kantor polisi. Mari kita sarapan dulu, Bu Inah sudah nyiapin sarapan."Mas Hanif terlihat terkejut mendengar perkataanku."Kamu mau ikut mas ke kantor polisi? Gak usah, biar mas saja yang mengurus semuanya. Kamu tunggu di rumah saja." Mas Hanif memberi saran.Aku tahu kenapa kamu tidak mengizinkanku untuk ikut denganmu, Mas. Aku juga tahu bahwa kamu tidak akan pernah mendatangi kantor polisi. Ya iyalah, mobil itu tidak hilang, tapi kamu kasih pada wanita yang bernama Sofia itu. Kami tidak bisa mengelabuiku, Mas!"Iya dong, Mas. Ini masalah serius, jadi aku akan mendampingimu.""Gak usah, kamu tunggu di rumah saja! Kamu ingat kan bahwa kamu sedang program hamil? Jangan sampai masalah seperti ini menambah beban pikiranmu. Mas takut bisa berakibat fatal nantinya."Pandai sekali kami berkilah untuk menutupi rahasiamu itu, Mas!Baiklah, aku akan pura-pura patuh pada suami. Untuk melihat sampai sejauh mana permainannya."Yasudah jika itu keinginan Mas!" Aku pura-pura pasrah."Nah, gitu dong! Mas suka lihat istri penurut sepertimu."Apakah aku bahagia dipuji seperti itu? Tentu tidak. Memang selama ini aku sudah menjadi istri penurut. Aku rela resign dari pekerjaanku sebagai staf keuangan di salah satu perusahaan swasta terbesar di kota ini, demi untuk menuruti keinginan Mas Hanif yang ingin memiliki anak.Rela melupakan impianku, demi menjadi istri yang baik bagi Mas Hanif. Tetapi apa balasannya bagiku? Justru penghianatan yang kudapatkan.Akan kuselidiki sudah sejauh mana hubungan Mas Hanif dengan wanita itu. Jika benar hubungan mereka sudah terlalu jauh, maka aku tidak akan tinggal diam.Setelah selesai sarapan, Mas Hanif pun berpamitan. Tak lupa meminta kembali BPKB mobil itu.Aku hanya memberikan STNK serta fotocopy BPKB-nya saja dengan alasan BPKB aslinya lupa disimpan di mana. Padahal itu hanya akal-akalan ku saja."Kalau mau membuat laporan 'kan harus pakai BPKB asli, Mir. Mana bisa pakai fotocopy!" protes Mas Hanif."Kan ada STNK yang asli, aku cari dulu, nanti kuantar kalau udah ketemu. Coba saja datangi dulu ke kantor polisinya Mas!" Aku tidak mau kalah.Akhirnya Mas Hanif mau juga menerimanya."Yasudah, Mas pamit, ya!"Aku menganggukkan kepala, kuraih punggung tangannya, lalu menciumnya. Sengaja kusembunyikan perasaanku di hadapannya, berusaha baik-baik saja padahal hati ini terluka.***Benar dugaanku, Mas Hanif tidak pergi ke kantor polisi, melainkan ia ke kantor seperti biasa.Aku sengaja mengikutinya dengan mengendarai taxi online agar tahu apa yang dilakukan lelaki yang sudah membersamaiku selama empat tahun ini.[Mas, gimana? Bagaimana tanggapan polisi?] Sengaja kukirimkan pesan padanya.[Mas masih di kantor, Mir! Rencana sih tadi mau ke kantor polisi, tapi mendadak mas ditelpon karena pagi ini ada meeting. Setelah kerjaan selesai, mas akan segera mengurusnya. Mas mohon kamu bersabar sedikit ya!]Aku memilih untuk tidak membalas pesannya. Aku akan langsung mendatangi kantornya untuk memastikan sendiri. Apakah suamiku jujur atau bahkan sebaliknya.Setibanya di kantor Mas hanif, aku langsung naik lift menuju ruangan Mas Hanif yang terletak di lantai dua belas. Mulai dari satpam, resepsionis, bahkan staf kantor, semuanya sudah kenal denganku. Mereka selalu tersenyum ramah saat aku berkunjung ke kantor ini."Bu Mira, mau ke ruangannya Pak Hanif ya?" sapa Indah--sekretarisnya Mas Hanif."Iya, Pak Hanifnya ada, 'kan?""Ada, Bu, tapi untuk saat ini Pak Hanif tidak bisa diganggu, sedang ada tamu.""Tamu? Siapa?""Sepertinya klien, Bu. Tadi Pak Hanif berpesan agar jangan ada yang mengganggu beliau."Apa mungkin Mas Hanif sedang membahas hal penting dengan kliennya ya? Aku tidak boleh berburuk sangka dulu.Tunggu dulu, tidak biasanya Mas Hanif meeting dengan klien di ruangannya!"Tamunya laki-laki atau perempuan, ya?" Aku kembali bertanya."Perempuan, Bu!"Degh! Jantung ini berpacu lebih cepat saat mendengar jawaban dari sekretarisnya Mas Hanif tersebut.Perempuan? Berarti suamiku berduaan dengan perempuan lain dalam satu ruangan yang tertutup?Kenapa perasaanku mendadak tidak tenang begini, ya?"Duduk dulu, Bu, tunggu di sini saja," saran Indah."Enggak usah, saya langsung masuk saja.""Jangan, Bu." Wajah indah terlihat cemas, seperti ada sesuatu yang disembunyikan.Tidak biasanya Indan menghalangi jika aku ingin bertemu dengan Mas Hanif. Aku jadi semakin curiga, jangan-jangan Indan memang mengetahui sesuatu."Kenapa wajahmu ketakutan begitu, Indah?" Aku sengaja bertanya seperti itu untuk melihat bagaimana reaksinya."Ta--takut dimarahin sama Pak Hanif," jawabnya terbata."Kamu enggak usah khawatir, Mas hanif tidak akan marah, saya kan istrinya. Menyingkirlah!"Indah pun menurut, lalu aku berjalan menuju ruangan Mas Hanif.Aku tidak langsung mengetuk pintu. Sengaja berdiri di depan pintu, mempertajam pendengaran agar bisa mendengar pembicaraan mereka. Siapa tahu ada titik terang dari kecurigaanku.Hening!Aku tidak mendengar apa-apa. Biasanya suara Mas Hanif akan terdengar walaupun samar, biar pun pintunya tertutup.Tok! Tok! Tok!Kuketuk pintu dengan pelan."Siapa?""Mira, Mas!""Mira?" panggilnya dari dalam.Tiba-tiba terdengar grasak-grusuk. Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana.Ceklek!Mas Hanif membuka pintu. Mataku langsung tertuju pada dasinya yang berantakan, dan darahku seketika berdesir hebat saat melihat tanda merah di lehernya.Aku tahu, pasti wanita itu yang berada di dalam sana.Bersambung"Sekarang kamu harus bertanggung jawab padanya, Mas," kata wanita itu. "Baik, sesuai janjiku, aku akan menanggung biaya hidup dan juga biaya sekolahnya sampai perguruan tinggi," jawab Mas Ahmad."Mas, itu tidak adil. Dia bukan hanya butuh materi, tapi butuh kasih sayang juga, Mas," protes wanita. "Jadi mau kamu gimana?" Mas Ahmad terlihat bingung. "Aku maunya kita tinggal bersama, Mas. Aku tidak akan memintamu menikahiku. Cukup Mas izinkan aku dan Alkha saja tinggal di rumahmu. Sudah cukup."Apa-apaan ini?"Mana mungkin kita tinggal bersama, Ajizah. Tidak tidak!" Mas Ahmad menolak."Itu merupakan satu-satunya cara agar anak kita bisa dekat denganmu, Mas."Tampaknya ada udang di balik batu. Dan aku sudah mengerti apa yang wanita itu inginkan."Ibu tidak setuju. Itu tidak baik," sahut ibu mertua."Aku juga tidak setuju. Karena aku tidak ingin ada orang ketiga di dalam rumah tanggaku nantinya." Akhirnya setelah sekian lama, aku angkat bicara."Kamu menyebutku orang ketiga? Seharusnya
Apa mungkin aku telah salah mengambil keputusan? Apa mungkin menikah dengan Mas Ahmad bukankah keputusan yang tepat? Entahlah!Selesai makan, Mas Ahmad menepati janjinya. Ia pamit padaku untuk mengantar wanita itu pulang. Aku ditinggal sendirian di dalam kamar karena Ibu mertua juga lelah dan butuh Istirahat.Malam yang seharusnya kamu lalui dengan penuh sukacita sebagai pasangan pengantin yang baru menikah pun kulalui seorang diri.Dua jam sudah berlalu sejak kepergian Mas Ahmad. Belum juga ada tanda-tanda bahwa ia akan kembali. Padahal jarak dari sini ke rumah mantan istrinya itu hanya memakan waktu tiga puluh menit. Yang artinya, satu jam pulang pergi. Ini sudah dua jam, namun Mas Ahmad belum juga kembali.Apa mungkin mereka sedang bernostalgia? Apa mungkin Mas Ahmad akan kembali kepada mantan istrinya itu?Hatiku sakit. Batinku menjerit. Aku menangis dalam diam. Kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa, kasur dengan sprei putih yang sudah ditaburi kelopak bunga mawar mer
Setibanya di rumah Mas Ahmad, asisten rumah tangganya menyambut kami dengan ramah. Katanya hidangan sudah siap, persis seperti apa yang diminta oleh sang majikan."Mira, selamat datang. Ini adalah rumah Ibu dan Ahmad, yang berarti rumahmu juga. Semoga mantu Ibu betah tinggal di sini."Ibunya Mas Ahmad yang kini sudah menjadi ibu mertuaku menuntunku memasuki rumah. Namun langkah kami tiba-tiba terhenti saat melihat seorang wanita sedang duduk di teras bersama seorang anak kecil. Siapa wanita itu?"Ajizah?" Ibunya Mas Ahmad menatap wanita itu dengan tatapan tak suka.Ajizah? Bahkan aku belum pernah mendengar nama itu sebelumya."Bu," sapa wanita itu. Ia menghampiri kami dan langsung meraih tangan ibu mertuaku, lalu mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Bu? Ibu makin cantik dan awet muda," pujinya. Namun ibu mertua tak merespon ucapannya."Nak, salim sama Nenek," kata wanita itu sambil mendekatkan putranya kepada ibu mertua yang berdiri persis di sampingku.Ibu mertua menerima uluran
Di sepertiga malam, aku menunaikan sholat istikharah dua raka'at. Aku memohon, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Kupasrahkan urusanku kepada-nya karena aku tahu Allah mengetahui apa yang terbaik untukku.Setelah selesai berdoa, aku membuka Alquran, membuka surat Al Mulk dan membacanya beserta terjemahannya. Hingga tak terasa kantuk datang menyerang dan akhirnya aku tertidur di atas sajadah.Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku pun bangun, membuka mukena dan segera mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah itu, aku pun menunaikan ibadah sholat subuh. Lanjut berdoa dan kembali meminta petunjuk kepada Allah.Siangnya, begitu tiba waktu dhuhur, aku kembali menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Menunaikan sholat dhuhur empat rakaat. Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Makan pun diantar oleh asisten rumah tangga. Kebetulan rumah sepi karena Mama dan Papa sedang keluar dan aku hanya sendirian di rumah. Membu
Setelah selesai makan malam, kami pun duduk di ruang tamu. Mas Ahmad memulai pembicaraan dengan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mas Ahmad bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ternyata ia memiliki masa lalu yang kelam. Mas Ahmad pernah mengonsumsi obat-obatan terlarang. Bahkan sempai ketergantungan. Satu hal lagi yang berhasil membuatku terkejut, ternyata Mas Ahmad sudah pernah menikah dan sudah pisah dari istrinya. Tepatnya dua tahun lalu lalu. Istrinya menggugat cerai Mas Ahmad karena tidak pernah memberi nafkah. Semua gaji Mas Ahmad ia gunakan untuk membeli obat-obatan terlarang. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya. Itu sebabnya istrinya meninggalkan Mas Ahmad.Setelah istrinya pergi, Mas Ahmad baru menyadari kesalahannya. Kebetulan ia bertemu dengan seorang guru ngaji, dan orang tersebut lah yang membimbing Mas Ahmad. Mas Ahmad mulai meninggalkan kebiasaannya, ia bertaubat dan mulai memperdalam ilmu agama. Butuh waktu yang lama untuk meninggalkan kebiasaan buruk
Sungguh, aku kasihan sekali mendengarnya. Hati sanubariku tersentuh. Aku lebih mampu dari mereka, jadi aku akan menolong mereka.Seminggu yang lalu sahabatku yang mengelola butik berhenti karena ia mau menikah dan akan tinggal di luar kota. Kurasa mereka akan mau jika ditawari untuk tunggal di butik. Ya, aku bisa menolong mereka dengan cara memberikan tempat tinggal dan juga pekerjaan."Mbak, Sofia, apa kalian mau tinggal di butik? Kebetulan sahabatku yang selama ini mengelola butik tersebut berhenti karena sudah menemukan jodohnya dan diajak pindah keluar kota oleh suaminya. Aku memang berencana ingin mencari orang untuk mengelola butik tersebut. Jika kalian bersedia, kalian bisa tinggal di sana sekalian mengelola butik tersebut. Tapi tempatnya tidak terlalu luas. Gimana?""Mbak Mira serius?" tanya Sofia."Iya, kamu serius, Mir? Apa enggak ngerepotin? Kami sudah banyak merepotkanmu, Mir. Mbak jadi enggak enak.""Serius, dan aku tidak merasa direpotkan. Sebelumnya, pegawai yang lama j