Bagian 25Tok tok tok!Kaca jendela mobil diketuk. Membuatku terpaksa harus membuka mata. Rasanya kepalaku sedikit sakit, mungkin karena kurang tidur. Aku segera mengucek mata, lalu membuka pintu mobil."Ada apa?" tanyaku begitu melihat seorang wanita paruh baya. Menurut tebakanku umurnya sekitar lima puluh tahun, kurang lebih."Pak, saya diperintahkan oleh majikan saya, pemilik rumah ini. Kata beliau, rumah ini mau dipake, jadi tidak dikontrakkan lagi. Silakan ambil barang yang masih ada di dalam, soalnya sebentar lagi penghuni rumah ini akan segera tiba."Apa lagi ini? Semalam Ibu diusir dari rumah. Sekarang Sofia juga ikut diusir juga dari kontrakannya. Aargh!Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. Sungguh, kepalaku tambah pusing memikirkannya."Apa-apaan ini? Aku kan baru bayar sewa dua Minggu yang lalu. Kok' main usir segala? Aku tidak terima! Mana kunci rumahnya? Aku mau masuk, mau istirahat. Badanku terasa pegal semua karena semalaman tidur di dalam mobil. Mana kunc
Bagian 26Setibanya di kantor, aku langsung naik lift menuju ruanganku yang terletak di lantai dua belas. Beberapa pegawai menoleh ke arahku. Aneh, kenapa mereka menatapku seperti itu ya?"Ada surat untuk Bapak," ucap Indah begitu aku tiba di meja kerjaku."Surat?" Keningku mengernyit mendengar ucapannya. Aku pun mengambil surat itu."Astaga!" gumamku, tubuhku terasa lemas seketika. Aku langsung terduduk di atas kursi."Siapa yang memberikan surat ini?" "Pak bos, Pak!"Aku mengusap wajah kasar. Segera beranjak dari kursi, melangkah dengan cepat ke ruangan bos sambil membawa surat itu.Setibanya di depan ruangan pak bos, aku pun langsung mengetuk pintu."Permisi, Pak!""Masuk!" Terdengar suara dari dalam, menyuruhku masuk.Tanpa menunggu waktu lama, aku segera mendorong pintu, lalu memasuki ruangan tersebut."Ini apa maksudnya, Pak?" tanyaku langsung to the point sambil menunjukkan surat yang kupegang."Apa kurang jelas? Itu surat pemecatan untuk kamu!"Aku menggeleng pelan, tidak per
Bagian 27"Bapak bisa dipidana loh atas kelalaian Bapak." "Apaan sih? Ponakan saya cuma tidur, jangan ngada-ngada!"Astaga! Ini orang membuatku semakin takut saja. Aku yakin Vino hanya tertidur pulas, bukan pingsan. Tapi kenapa matanya sembab ya, seperti habis menangis. Mungkin Vino hanya sedang bermimpi."Yakin cuma tertidur? Cek saja dulu, siapa tahu sudah tak bernyawa. Lebih baik langsung saja bawa ke rumah sakit. Ngapain masih bengong di sini? Ayo buruan sana!"Degh!Jantungku rasanya hendak melompat dari rongganya saat mendengar ucapannya. Seketika ada rasa cemas yang menyelimuti diri ini. Takut apa yang dikatakannya terbukti benar.Aku segera menempelkan tangan ke hidung Vino. Tapi kenapa lain ya, sepertinya Vino sudah tak lagi bernapas. Nadi-nya juga sudah tak berdenyut.Astaga! Apa lagi ini?"Tuh 'kan Pak, ayo segera bawa ke rumah sakit! Lelet bangat sih! Ini urusannya nyawa loh. Sana!" Pak satpam terus saja mendesakku.Aku segera duduk di bangku kemudi, lalu mengendarai mobi
Bagian 28"Pak, Bu, silakan diurus dulu administrasinya. Mari ikut saya." Seorang perawat menghampiri kami. Dan inilah hal yang aku takutkan, soal tagihan rumah sakit."Hanif, ayo sana, urus administrasinya." Ibu mendesakku, mungkin Ibu berpikir kalau aku ini masih memiliki banyak uang. Sayangnya tidak. Uang tabunganku sudah habis untuk biaya pernikahanku dengan Sofia. Memang pernikahan kami digelar dengan acara sederhana, tapi tetap saja harus mengeluarkan uang yang lumayan banyak. Untuk mahar, dan juga biaya booking kamar hotel. Serta biaya ini dan itu yang tidak bisa disebutkan satu persatu."Duluan saja ya, Sus, bentar lagi saya ke sana," ucapku kepada suster tersebut."Baik, Mas," ucapnya ramah, kemudian berlalu dari hadapan kami."Hanif, kenapa ditunda-tunda sih? Lunasi biaya rumah sakitnya Vino, bila perlu suruh mereka memindahkan Vino ke ruangan VIP." Ibu berucap dengan enteng seolah tanpa beban, beliau tidak tahu bagaimana kondisi anaknya saat ini. Pusing setengah mati!Baikl
Bagian 29Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit, akhirnya kami tiba juga di rumah. Dari luar, rumah tampak sepi, mobil pun tidak ada di garasi. Berarti Mira belum pulang."Bu, Mbak, mari kita masuk." Aku segera membawa koper milik Ibu dan Mbak Nuni."Sofia sayang, mulai sekarang kita tinggal di sini ya. Gimana, mau kan?" Aku begitu bersemangat mengajak mereka tinggal di rumahku."Mau dong, Mas. Ini sih impian aku dari dulu, tinggal di rumah mewah seperti Cinderella. Mas aja yang enggak ngebolehin aku tinggal di sini.""Cinderella dari kolong jembatan? Kamu enggak cocok disamakan dengan Cinderella. Cinderella itu cantik dan baik hati, enggak seperti kamu," sahut Mbak Nuni."Tolong ya, Mbak. Jangan mengacaukan suasana hati aku yang sedang berbahagia. Aku sedang tidak ingin berdebat."Aduh, Sofia dan Mbak Nuni bagaikan kucing dan tikus. Berantem terus kerjaannya. Tidak pernah akur! Membuatkan semakin pusing.Aku segera memencet bel, sudah tidak sabar rasanya ingin sege
Bagian 30Setelah Mas Hanif keluar dari mobil tersebut, ia langsung menghampiri ibunya. Ibunya langsung berbicara padanya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah kedua laki-laki yang sedang berjaga di depan rumah itu.Jika saja Papa mengabarkan bahwa akan memasang Cctv di rumah tersebut, aku pasti menyarankan agar Papa memasang Cctv yang dilengkapi dengan audio agar kami bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tapi aku tetap merasa puas karena bisa melihat bagaimana ekspresi mereka.Mbak Nuni membawa Vino ke dalam mobil, sementara wanita itu tidak kelihatan batang hidungnya.Ibu terlihat memaksa, bahkan sambil mendorong anak kesayangannya tersebut untuk menghadapi kedua lelaki bertubuh tegap itu. Mas Hanif menurut, ia berjalan dengan pelan untuk menghampiri kedua lelaki itu. Mas Hanif sempat berhenti sejenak, mungkin ia bimbang antara melanjutkan atau tidak. Mau mundur tapi malu, mau maju tapi takut. Pasti itu yang ada di pikirannya saat ini. Lucu. Kami bahkan sampai tertawa me
Bagian 31Aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Menurut informasi dari anak buah Papa, mereka semua akan datang ke rumah karena sudah tidak punya tempat tinggal lagi.Aku sengaja meminta Papa untuk mengantar kami. Mobil ditinggal di rumah Papa agar Mas Hanif mengira bahwa aku belum pulang. Kejutan demi kejutan akan kuberikan untuk mereka. Jika kemarin giliran Papa yang bertindak, sekarang giliranku dan Mama.Aku ingin lihat bagaimana reaksi ibu mertua saat melihat Mamaku--musuh bebuyutannya, orang yang sudah dipisahkannya dari suaminya, orang yang telah ia hancurkan hidupnya, berada di rumah ini. "Bu, mereka sudah tiba," ucap Bi Inah. Bi Inah mengintip dari balik jendela saat mendengar bel berbunyi."Oke, buka pintunya, Bi.""Baik, Bu!"Sambil menunggu mereka, aku pun duduk santai di atas sofa ruang tengah, menaikkan kedua kaki ke atas meja."Bi, bawain koper saya," titah seorang wanita."Baik, Non.""Buatin minuman segar ya, Bi, aku lagi pingin minum yang segar-segar," perintah wa
Bagian 32Wajah mereka semua mendadak berubah, menatapku dengan tatapan tidak suka."Kenapa? Tidak suka?" Aku berdiri dari tempat dudukku, lalu melipat kedua tangan di depan dada. Balik menatap tajam ke arah mereka."Biarpun kamu tidak suka, tapi kamu tidak punya hak untuk melarang kami tinggal di sini. Ini rumah Hanif, anakku. Kami tidak perlu menunggu persetujuan darimu. Nuni, Sofia, ayo kita istirahat. Tidak ada gunanya berdebat dengan Mira. Ibu capek mau istirahat. Ayo!"Ibu mertua, Mbak Nuni dan juga wanita itu berjalan melewatiku. Wanita itu menyunggingkan senyum kemenangan padaku. Ia masih bisa tersenyum padahal nasibnya sudah di ujung tanduk. Miris!"Berhenti! Aku tegaskan sekali lagi. Aku tidak mengizinkanku kalian tinggal di rumahku. Jadi silakan angkat kaki dari sini sekarang juga!""Mira, kenapa kamu tega mengusir kami? Kita ini keluarga kamu loh, Mir. Aku kakak iparmu, ini ibu mertuamu. Kamu tega mengusir kami?" Mbak Nuni protes sambil mendekat, meraih tanganku, tapi aku