Hubunganku dan Mas Hanif semakin lama semakin jauh. Bahkan aku rela memberikan mahkotaku yang paling berharga, yang selama ini aku jaga untuknya karena Mas Hanif berjanji akan menikahiku. Satu-satunya harta paling berharga yang aku miliki, yang merupakan kehormatan bagi setiap wanita telah kupersembahkan untuknya. Aku ikhlas dan tidak pernah menyesal telah menyerahkan mahkotaku padanya, karena aku yakin Mas Hanif akan menikahiku.Dan apa yang telah aku korbankan padanya, tentunya tidak cuma-cuma. Aku meminta hadiah mobil atas apa yang telah aku korbankan untuknya. Keesokan harinya, sebuah mobil yang sudah lama aku idam-idamkan telah terparkir sempurna di depan kontrakanku. Mas Hanif benar-benar memenuhi janjinya. Walaupun bukan mobil baru, tapi aku senang sekali. Mas Hanif mulai mengajariku mengendara mobil. Dalam waktu singkat, aku sudah bisa mengendarai mobil pemberiannya. Hebat, bukan?Biasanya sehabis mengajarimu menyetir, Mas Hanif akan meminta jatah padaku. Dan aku akan melay
"Aku hamil, Mas!" ucapku kepada Mas Hanif setelah kami selesai berkencan di rumah kontrakanku."Aku minta nikahi aku secepatnya. Kamu harus bertanggungjawab, Mas!""Kamu beneran hamil?" tanyanya, ragu."Iya." Aku pun mengambil alat sholat kehamilan yang kusimpan di laci meja dan menyerahkan padanya.Mas Hanif terlihat santai dan biasa saja. Ia meletakkan kembali tes pack tersebut di atas meja yang berada di sisi ranjang."Apa kamu akan lari dari tanggung jawab, Mas?" Aku mulai terisak, membayangkan kenyataan buruk yang akan terjadi padaku."Tidak, Sofia. Mas tidak akan lari. Mas akan menikahimu secepatnya.""Sungguh?"Aku begitu senang mendengarnya. Keraguanku terjawab sudah. Mas Hanif akan menjadi suamiku."Iya, Sofia, sungguh. Mas cuma terkejut. Mas tidak mengira kalau kamu bisa hamil secepat ini. Ternyata Mas masih tokcer. Dan sekarang terbukti bahwa istri Mas lah yang mandul," ucapnya, lalu mengecup keningku."Iya dong, Mas. Dia itu sudah tua dan hampir kadaluarsa. Sedangkan aku m
Pesta pernikahan sederhana pun digelar di rumah kontrakanku. Dengan dihadiri oleh wali hakim yang sengaja kami bayar dan juga beberapa orang tetangga sebagai saksi, akhirnya kami resmi melangsungkan pernikahan. Ya, kami hanya nikah siri. Tapi tak mengapa, yang penting aku sudah resmi menjadi istri Mas Hanif.Awalnya Tante Zamila sempat terkejut mendengar kabar kehamilanku. Tapi akhirnya beliau malah senang dan bahkan menyuruh kami untuk segera menikah. Berbeda dengan Mbak Nuni yang terang-terangan mengataiku wanita murahan saat mengetahui kabar kehamilanku. Mbak Nuni adalah satu-satunya orang yang menentang hubunganku dengan Mas Hanif. Ia begitu membela si Mira itu. Entah apa kelebihan si Mira itu. Tapi aku tidak peduli. Yang penting Tante Zamila dan Mas Hanif tidak terpengaruh olehnya.Tante Zamila dan Mas Hanif lah yang mengurus semua persiapan pernikahan, sedangkan aku hanya terima beres.Tibalah saatnya malam pertama. Malam yang dinanti-nantikan oleh pasangan suami istri yang tela
Satu Minggu sudah aku mendekam di balik jeruji besi. Selama aku di sini, tak sekalipun Tante Zamila atau Mbak Nuni datang menjengukku. Entah apa salahku pada mereka sehingga mereka tak peduli sedikitpun padaku.Hidup di sini sungguh sangat membosankan. Terkurung, terkekang, dan tak bisa melakukan apapun. Sungguh tak pernah terbayang olehku jika aku akan melewati semua ini, apalagi dalam kondisi hamil muda dan sedang mengidam seperti ini.Mual, muntah, kepala pusing, ditambah nafsu makan yang berkurang karena menu yang disajikan setiap hari sama sekali tidak enak.Semakin hari aku semakin tersiksa berada di sini. Jika saja boleh memilih, aku lebih baik hidup sederhana di kampung daripada harus mendekam di penjara seperti ini.Nenek … aku ingin pulang. Aku rindu nenek. Maafkan cucumu yang telah durhaka ini. Maafkan aku, Nek.Aku menangis tanpa suara, menyesali perbuatan yang telah aku lakukan. Hanya iri yang bisa kulakukan saat ini. Meratapi nasib.Mungkinkah ini yang dinamakan karma?
"Mbak Mira sungguh-sungguh, kan?" Aku kembali bertanya."Apa aku terlihat main-main?" ketusnya."Makasih Mbak Mira. Mbak sudah baik padaku padahal aku begitu jahat sama Mbak. Aku telah merebut kebahagiaan Mbak." Jujur, aku malu pada Mbak Mira. Aku merasa bersalah dan berdosa padanya."Tidak usah berterima kasih padaku. Aku tidak butuh ucapan terima kasih darimu. Berterima kasihlah pada Mas Ahmad karena dia yang telah merubah cara berpikirku. Jika bukan karena Mas Ahmad, mungkin kamu dan suamimu akan tetap mendekat di penjara," ucap Mbak Mira sambil melempar pandangannya. Oh, jadi lelaki itu bernama Ahmad, dan ia juga yang telah menyuruh Mbak Mira untuk mencabut tuntutannya. "Terimakasih, Mas Ahmad. Mas Ahmad sudah membujuk Mira agar mau membebaskanku."Aku berusaha untuk bangkit, ingin menyalami tangan Mbak Mira dan ingin meminta maaf padanya. Tapi tubuhku rasanya sakit semua. "Tidak usah memaksakan diri. Istirahatlah," ucap Mbak Mira."Mbak, aku minta maaf. Aku janji akan meningg
POV MirandaEmpat bulan sudah aku menyandang status janda. Ya, aku bahagia meskipun tanpa pendamping hidup.Aku memutuskan untuk kembali ke rumah Papa dan tinggal bersama Mama dan Papa. Ya, Papa dan Mama sudah rujuk kembali dan sekarang kami tinggal bersama seperti dulu.Sekarang aku lebih fokus untuk membahagiakan orang tua, aku tidak lagi memikirkan soal pendamping hidup. Jika tuhan akan mempertemukanku lagi dengan seorang lelaki yang baik, maka dia akan datang sendiri. Begitu prinsipku. "Mir, apa kamu tidak mau membuka hati untuk Ahmad, Nak? Ahmad itu lelaki yang baik loh, dia itu beda dengan si Hanif mantan suamimu itu," ucap Mama saat kami sedang menyantap sarapan pagi."Mama sudah kenal lama dengan Ahmad. Dan Mama sudah tahu bibit, bebet dan bobotnya. Mama tahu kalau Ahmad itu menyukaimu. Dan Mama yakin kamu juga suka sama Ahmad, iya, kan?" Mama mulai menggodaku.Aku tidak menjawab pertanyaan Mama. Aku tahu kalau Mas Ahmad menyukaiku. Hanya saja ia belum pernah mengungkapkan ha
"Iya, Pa. Aku janji. Bila perlu sekarang juga aku akan menjatuhkan talak untuknya dan menyuruhnya pulang kampung," jawab Mas Hanif, terlihat bersemangat."Jadi begitu? Kamu tega menceraikannya? Istrimu itu 'kan sedang hamil, bukankah selama ini kamu menginginkan kehadiran seorang anak? Sekarang harapanmu akan terkabul karena sebentar lagi kamu akan punya anak. Terus apalagi yang kamu inginkan, Hanif?" Papa terus saja menginterogasi Mas Hanif. "Aku memang mendambakan kehadiran seorang anak, Pa. Tapi aku menginginkan keturunan dari rahim Mira, bukan dari rahim wanita lain." Mas Hanif memandangku sambil tersenyum manis padaku. Menjijikkan!"Oh, jadi begitu? Saya sengaja bertanya seperti itu untuk mencari tahu bagaimana kamu sebenarnya. Alias hanya menguji kamu saja, Hanif. Sekarang saya semakin tahu bagaimana sikap aslimu. Disaat istrimu itu tidak bisa menjadi seperti yang kamu harapkan, kamu ingin kembali pada Mira. Ternyata kamu itu seorang lelaki yang tidak tahu diri, ya! Syukurlah p
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku terus menerus menghubungi ponsel Papa, namun sayangnya tetap tidak bisa. Nomor Papa sedang berada di luar jangkauan. Mungkin Papa sengaja menonaktifkan ponselnya karena tidak ingin terganggu, sebab beliau sedang ada pertemuan penting dengan rekan bisnisnya."Gimana, Mir? Om Lukman masih belum bisa dihubungi?" tanya Mas Ahmad, ia menatapku sekilas, lalu kembali fokus ke depan."Belum, Mas!" jawabku."Kamu tenang ya, berdoalah semoga Tante Diana baik-baik saja.""Iya, Mas. Tapi tolong laju mobilnya dipercepat. Aku takut terjadi sesuatu sama Mama." Air mata kembali mengalir, membasahi pipiku. Aku tidak bisa membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada Mama."Mira, Mas minta tenangkan dirimu. Mas sudah berusaha. Jalanan cukup ramai, jadi kamu harus sabar ya. Insya Allah Tante Diana akan baik-baik saja. Pasrahkan semuanya kepada Allah karena beliaulah pemilik kehidupan."Seandainya aku punya sayap, aku akan terbang agar secepatnya tiba di rumah