Bagian 8
"Mbok, Papa ada?" tanyaku pada Mbok Siti yang sedang menyapu teras depan."Ada, Non, lagi sarapan," jawab beliau.Mbok Siti adalah asisten rumah tangga Papa.Setelah mendengar jawaban Mbok Siti, aku pun langsung menuju ruang makan."Papa."Aku langsung memeluk Papa dari belakang."Eh, anak papa, kamu sudah sarapan, Nak? Ayo sarapan sama papa."Bukannya melepas pelukan, aku bahkan memeluknya makin erat, lalu terisak di pelukannya."Kamu kenapa, Nak? Ada masalah? Cerita sama papa, Nak!" Papa menaruh sendoknya ke atas piring, menghentikan aktivitas makannya."Ayo duduk dulu, Nak." Papa mengambil tisu yang berada di atas meja, kemudian mengelap air mataku."Mbok, tolong bikinin teh hangat untuk Mira!" pinta papa kepada Mbok Siti."Iya, Tuan," sahut si Mbok."Tenang dulu ya, Nak. Papa minta jangan menangis lagi.""Ini teh hangatnya, Non." Mbok Siti menaruh gelas yang berisi teh hangat tersebut di atas meja."Makasih, Mbok.""Situ pamit ke belakang dulu ya, Tuan!""Iya, Mbok, silakan!"Papa kemudian mengambil gelas yang berisi teh tersebut. "Minum dulu, Nak, biar lebih tenang!"Aku pun menurut. Meraih gelas tersebut dari tangan papa, lalu menyesapnya pelan-pelan."Mira, cerita sama papa, ada apa? Apa yang terjadi?""Mobil Mira hilang, Pa!"Sebenarnya aku bingung harus mulai dari mana."Hilang? Kok' bisa?" Dahi Papa mengernyit mendengar jawabanku."Hilang dimana? Kapan kejadiannya? Udah lapor polisi?""Belum, Pa!""Ayo, Papa temenin ke kantor polisi sekarang!" Papa pun beranjak dari tempat duduknya."Biarin saja, Pa!""Ya enggak bisa gitu, dong. Atau jangan-jangan, kamu sudah bosan sama mobil itu? Mau minta dibelikan mobil baru sama papa? Gampang, nanti sore kita ke showroom, kamu tinggal pilih mana yang kamu suka. Yang penting anak kesayangan papa tidak sedih lagi." Papa kembali duduk di tempatnya semula.Ya, Papa memang selalu memanjakanku. Apa pun yang aku minta pasti dituruti."Kok wajahnya masih sedih gitu? Nanti cantiknya hilang loh.""Pa, sebenarnya mobilku tidak hilang. Tapi diberikan oleh Mas Hanif pada wanita selingkuhannya." Akhirnya berhasil juga kuucapkan kata-kata itu."Maksudnya? Hanif selingkuh?" Papa tampak shock mendengarnya.Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.Papa langsung menggebrak meja, membuat jantungku rasanya mau copot."Brengsek! Berani sekali dia mempermainkan putri papa." Wajah Papa tampak memerah, tangannya pun mengepal."Maafin papa jika membuatmu terkejut. Papa tidak bisa mengendalikan emosi.""Iya, Pa, aku maklum!""Apa kamu punya bukti? Kamu tidak asal nuduh 'kan?""Punya, Pa. Aku menyadap ponsel Mas Hanif. Dari situlah aku mengetahui semua kebusukannya. Bukan cuma Mas Hanif, Pa, tapi ibu mertua juga ikut andil di dalamnya. Ternyata selama ini mereka menjadikanku sebagai alat untuk balas dendam. Mas Hanif tidak tulus, Pa!"Lagi-lagi, Papa tampak shock mendengar ucapanku."Keterlaluan! Ini tidak bisa dibiarkan! Ternyata mereka ingin bermain-main dengan kita. Mereka tidak tahu sedang berurusan dengan siapa!""Pa, aku menyesal karena enggak mau dengerin nasihat Mama sama Papa. Tenyata apa yang dibilang Mama sama Papa itu benar. Aku menyesal, Pa, maafin aku, Pa!" Aku berlutut di hadapan Papa, memohon maaf karena tidak mendengarkan nasihatnya. Seandainya saja waktu itu aku mendengar nasihat Mama dan Papa, mungkin tidak akan seperti ini jadinya.Masih tersimpan jelas dalam ingatan saat aku menentang Papa, begitu juga dengan Mama. Bahkan aku rela meninggalkan Mama demi untuk hidup bersama lelaki yang ternyata adalah seorang pengkhianat.Ya, cinta memang buta, telah membutakan mata hatiku. Tidak peduli pada nasihat orang tua, yang ada di pikiranku saat itu hanya ingin bersama dengan lelaki pujaan hati. Tak ingin berpisah walau sekejap. Semua akan terasa indah jika bersama dengannya. Pesonanya telah berhasil mengalihkan duniaku.Sekarang baru kusadari bahwa keputusanku telah salah. Dan penyesalan itu sudah terlambat. Aku sudah telanjur menyakiti hati orang tua yang sangat menyayangiku. Mama rela bertaruh nyawa untukku, tapi aku justru memilih untuk meninggalkannya hanya demi seorang lelaki pengkhianat seperti Mas Hanif. Anak macam apa aku ini? Seharusnya aku membalas jasa-jasa orang tua, bukannya malah menorehkan luka di hatinya.Astaghfirullah … ampuni aku ya Allah."Bangun, Nak, sebelum kamu minta maaf, papa sudah memaafkanmu." Papa menyeka air mataku, kemudian mengelus kepalaku."Makasih, Pa." Ada rasa lega di dalam hati saat mendengar bahwa Papa telah memaafkanku."Pa, aku ingin ketemu Mama, aku ingin minta maaf. Papa tahu dimana Mama berada?"Sejak kepergianku dari rumah, Mama memutuskan untuk menjual rumah itu. Aku tahu, pasti Mama sakit hati padaku. Oleh karena itulah Mama pindah ke tempat yang tidak kami ketahui hingga sekarang. Mama bagaikan hilang ditelan bumi, tak ada kabar berita sama sekali tentangnya."Papa tahu dimana keberadaan mamamu, Nak!""Papa tahu? Kenapa enggak pernah memberitahuku, Pa?" Aku terkejut sekaligus bahagia mendengarnya.Selama ini, Papa terkesan cuek jika aku membahas soal Mama padanya."Berarti diam-diam Papa nyari informasi tentang Mama, iya 'kan? Ayo, ngaku!"Papa hanya tersenyum mendengar candaanku."Papa masih sayang sama Mama 'kan? Jujur aja, Pa!"Papa mengangguk.Ya, aku tahu kalau Papa masih menyayangi Mama. Buktinya setelah mereka berpisah, Papa masih tetap sendiri. Padahal Papa itu punya kuasa dan juga duit. Beliau bisa menikahi wanita yang dia mau. Tetapi entah kenapa sampai saat ini Papa masih sendiri. Begitu juga dengan Mama, sejak berpisah dengan Papa, pernah ada yang meminang Mama, tapi Mama menolaknya dan aku tidak tahu apa alasannya."Jika masih sayang kenapa enggak rujuk lagi sama Mama, Pa? Aku ingin keluarga kita utuh kembali seperti dulu.""Papa sudah mencoba mengajak mamamu rujuk kembali. Tapi mamamu justru menolak Papa. Mamamu itu benci sekali dengan Papa. Bahkan beribu kata maaf dari Papa tidak bisa meluluhkan kembali hati mamamu.""Maaf, Pa, kalau boleh tahu kenapa sih, Papa sama Mama pisah? Padahal aku tahu sendiri kalau Mama sama Papa itu masih saling sayang. Tiap nanya sama Mama, pasti Mama akan mengalihkan pembicaraan."Ya, Mama tidak pernah mau menjelaskannya padaku. Mama menutupi semuanya dariku. Mama hanya meminta agar aku selalu hormat sama Papa, jaga silaturahmi biarpun Mama sama Papa sudah pisah."Semua ini gara-gara Zamila, Nak, ibu mertuamu," ungkap Papa.Gara-gara ibu mertua?"Apa hubungan dengan ibu mertuaku, Pa?" Aku masih dilanda kebingungan.BersambungBagian 9"Kejadiannya sudah lama sekali, saat itu kamu masih duduk di bangku TK. Mamamu dan mamanya Hanif itu sahabatan sejak dari SMP. Saat itu Zamila menelepon papa, meminta papa untuk datang ke sebuah hotel yang tidak terlalu jauh dari kantor papa. Katanya mamamu ingin memberi kejutan buat papa. Saat Papa tiba di hotel tersebut, Zamila mengarahkan papa ke sebuah kamar hotel. Saat pintu kamar hotel terbuka, ternyata mamamu sedang tidur dalam satu selimut bersama lelaki lain. Papa marah sama mamamu, dari situlah awal mula pertengkaran kami." Papa terlihat sedih saat menceritakan kejadian itu, bahkan sampai menitikkan air mata."Terus Papa percaya begitu saja?" "Iya karena papa menyaksikannya langsung dengan mata kepala papa sendiri.""Terus gimana penjelasan Mama? Aku tidak yakin jika Mama melakukan hal serendah itu, Pa." Aku menggeleng, berusaha menahan bulir bening yang hendak keluar dari kelopak mata."Mamamu memberi penjelasan bahwa dia dijebak oleh Zamila. Zamila yang memintany
Bagian 10Sesuai janji, setelah pekerjaan Papa selesai, aku dan Papa akan mendatangi rumah Mama. Aku akan meminta maaf terlebih dahulu, sekaligus ingin merayu Mama agar bersedia rujuk lagi sama Papa.Papa menjemputku di butik, dan aku ikut dengan mobil Papa.Ya, semenjak memutuskan untuk resign dari perusahaan, aku diam-diam membuka butik tanpa sepengetahuan Mas Hanif dan juga ibu mertua. Butik itu dikelola oleh Dinda, sahabatku, seorang janda yang menjadi korban perselingkuhan suaminya. Aku hanya menanam modal, dan Dinda yang mengelolanya.Mas Hanif melarangku untuk beraktivitas di luar rumah, alasannya agar program kehamilan yang sedang aku jalani berhasil. Tapi ternyata itu hanya alasannya saja. Mas Hanif melarangku keluar rumah agar ia bebas berkeliaran dengan selingkuhannya itu di luar sana.Ibu mertua sama seperti suamiku, beranggapan bahwa aku tidak lagi memiliki penghasilan setelah berhenti bekerja. Itulah sebabnya ibu mertua tidak lagi suka padaku. Menurut mereka aku hanyalah
Bagian 11"Pa, apa yang harus kita lakukan? Sepertinya Mama tidak akan mau maafin kita. Gimana ini, Pa?" keluhku pada Papa saat dalam perjalanan pulang. Hampir saja aku putus asa melihat perlakuan Mama padaku."Sabar, Nak. Ini baru permulaan. Tidak mudah untuk meluluhkan hati seseorang. Apalagi sudah bertahun-tahun, tentunya memberi maaf tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu butuh waktu dan proses. Papa maklum kenapa mamamu bersikap seperti itu."Apa yang dikatakan Papa memang benar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aku sangat sedih melihat sikap Mama seperti itu."Kita harus sering-sering datang ke sana agar mamamu luluh kembali. Abaikan sikap mamamu yang cuek dan kasar padamu. Pada dasarnya mamamu itu adalah wanita yang lembut dan penyanyang. Papa yakin, lambat laun pasti mamamu akan maafin kita."Aku hanya mengangguk, pandanganku tertuju pada kendaraan yang lalu lalang. Pikiranku tidak fokus."Mir, bisa kita ketemu nanti malam?" Sebuah pesan masuk dari Mas Ahmad."Sia
Bagian 12"Assalamualaikum."Aku mengucap salam setelah mengetuk pintu terlebih dahulu."Waalaikumsalam." Terdengar jawaban salam dari dalam."Mira!" Ibu mertua terkejut melihat kedatanganku."Bu." Aku meraih tangannya, lalu menyalaminya."Tumben datang kemari.""Aku kangen sama Ibu, sekalian bawa oleh-oleh buat Ibu."Mata Ibu berbinar saat melihat Tote bag yang aku tenteng."Wah, kamu baik bangat sih, mari duduk dulu." "Iya, Bu.""Kamu bawa apa?" tanya ibu mertua penasaran."Oh, ini. Tadi aku ketemu sama teman, kebetulan dia jual beli berlian. Sekalian aja aku beliin buat Ibu.""Kamu serius?" Sepertinya ibu mertua tidak percaya.Aku menyerahkan Tote bag itu pada ibu, lalu ibu pun membuka isinya."Wah, bagus bangat, ini pasti mahal. Ibu suka, Mir, makasih ya!" Mata ibu mertua berbinar memandangi satu set kalung berlian tersebut. Beliau mengambilnya, lalu memakai cincin dan juga gelang berlian tersebut di tangan kirinya.Sebenarnya tidak mahal sih, itu 'kan cuma berlian palsu. Mana mun
Bagian 13Mbak Nuni kembali ke ruang tamu menemui ibu mertua. Aku pun diam-diam mengikutinya dari belakang, untuk menguping pembicaraan mereka."Lihat bagaimana sikap Mira pada kita, Bu, menantu yang Ibu benci itu justru sangat menyayangi kita." Mbak Nuni terdengar memarahi ibu mertua."Apapun yang dia lakukan, Ibu tetap tidak akan menyukainya. Melihat wajahnya saja Ibu sudah muak, apalagi menerimanya!""Jangan menyakiti hati Mira, Bu. Kasihan dia. Tidakkah Ibu melihat ketulusan hatinya selama ini?""Nuni, kamu jangan ngatur-ngatur Ibu ya! Hanif saja gak keberatan, kok' kamu malah sewot, sih?""Jelas aku sewot. Hadiah dari Mira Ibu terima dengan senang hati. Di depan Mira Ibu bersikap manis, tapi di belakangnya malah menusuk. Bahkan Ibu menyuruh Hanif mencari wanita lain, lalu menceraikan Mira. Tujuan Ibu sebenarnya apa, sih? Dendam masa lalu? Cukup, Bu! Jika tidak suka katakan saja. Suruh Hanif menceraikan Mira dengan cara baik-baik. Bukannya malah memoroti hartanya setelah itu menca
Bagian 14"Dia anu apa, Mas? Katakan sejujurnya. Jangan berbelit-belit!""Iya, dia memang ada hubungan dengan Mas, tapi-""Dia itu sepupunya Hanif," sahut ibu mertua, memotong ucapan Mas Hanif."Iya, Mir, Sofia ini saudara sepupunya Mas. Dia datang dari kampung dan hendak mencari pekerjaan. Kebetulan di kantor Mas sedang ada lowongan, jadi Mas masukin dia ke kantornya Mas." Mas Hanif membenarkan ucapan ibunya."Mbak, Mas, aku permisi dulu, ya, buru-buru soalnya." Wanita yang bernama Sapi itu pun mohon diri.Aku hendak menyusulnya, tetapi Mas Hanif malah menahanku."Mas kenapa menahanku segala? Si Sapi ke sini naik mobil ya?""Namanya Sofia Mir, bukan sapi.""Sama saja lah! Eh, tunggu, Kok suara mobilnya sama seperti suara mobilku yang hilang itu, ya? Aku mau liat, Mas!" Aku menghempaskan tangan Mas Hanif dengan kasar, namun sayangnya mobil itu sudah tidak berada di sana. Baguslah, aku juga belum ingin membongkar semuanya sekarang. Aku hanya ingin menakut-nakutinya saja."Mir … Mir …
Bagian 15"Mira, kamu benar-benar istri durhaka ya! Tega-teganya ninggalin Mas," protes Mas Hanif begitu ia tiba di rumah. Aku memang sampai di rumah lebih dahulu daripada Mas Hanif.Aku diam saja, tidak menanggapi ucapannya. Malas berdebat terus menerus dengannya."Mas kecewa sama kamu. Kamu sudah berubah, Mir. Bukan cuma tidak bisa memberikan anak, tapi kamu sudah menjadi istri durhaka, Mira!"Darahku terasa mendidih mendengar ucapannya. Aku sangat tidak suka jika Mas Hanif sudah membahas soal aku yang tidak bisa memberi keturunan."Kamu bilang apa barusan?" Saking emosinya, bahkan aku lupa memanggilnya dengan sebutan Mas. "Kamu ingin aku mengulanginya lagi? Oke! Bukan cuma tidak bisa melahirkan anak, tapi kamu juga sudah menjadi istri durhaka. Kamu memperlakukanku di depan Ibu dan Mbak Nuni. Kamu sudah membuatku kehilangan harga diri, Mira!" "Aku begini gara-gara kamu, Mas! Aku tidak bisa hamil karena kamu selalu menyuruhku meminum jamu buatan ibumu, kamu bilang belum ingin memil
Bagian 16"Kamu kenapa, Nak? Kenapa pipimu memerah seperti itu? Seperti bekas tamparan. Apa suamimu menyakitimu?" tanya Papa begitu aku tiba di rumahnya."Ayo duduk dulu." Papa mengajakku ke ruang tengah."Mbok, tolong bikinin minum ya!" perintah Papa."Baik, Tuan."Setelah kami duduk di atas sofa ruang tengah, aku pun menjelaskan semuanya kepada Papa. Papa sangat marah mendengar penjelasanku, tapi Papa masih bisa meredam emosinya setelah aku meyakinkannya bahwa aku tidak apa-apa.Justru bagus, aku akan menjadikan semua ini sebagai bukti untuk menggugat cerai Mas Hanif ke pengadilan. Bukan hanya selingkuh, tetapi Mas Hanif juga sudah melakukan kekerasan dalam rumah tangga, terhadapku."Kamu tenang saja, Nak, papa tidak akan membiarkan suamimu menyakitimu lagi. Kamu tahu 'kan? Relasi papa itu banyak. Bahkan pemilik perusahaan tempat Hanif bekerja adalah sahabat baik papa. Sekali papa bertindak, maka karier si Hanif itu akan hancur." Ya, aku tahu akan hal itu. Berkat Papa lah, sehingg