Share

04. Mimpi Buruk

       “Kalau mendadak kamu melupakanku, jangan pernah mencariku lagi karena mungkin aku juga sudah melupakanmu.”

       Perkataan menohok dari Irina tadi sore amatlah membekas dalam ingatan Tristan, bahkan dalam keadaan sholat pun ia masih terpikirkan perkataan Irina, membuat sholatnya sedikit tak khusyuk. Tristan tahu dengan jelas apa maksud Irina tadi, hal itulah yang membuatnya merasa tertohok.

      Tristan mengecewakan Irina bukan hanya sekali saja namun, berkali-kali hingga tak terhitung jumlahnya. Irina masih saja berusaha meyakinkan Tristan bahwa ia menyukainya, dan sangat berusaha membuat hati Tristan terbuka untuknya. Berkali-kali terjatuh namun, tetap berpura-pura tak terluka itulah Irina, berulang kali Tristan mengerjainya berulang kali juga Irina terlihat baik-baik saja, bahkan Irina tak pernah terlihat menangis saat Tristan mengerjainya.

       Namun, sekarang seperti berbalik keadaannya. Tristan benar-benar tak menyangka bahwa dirinya yang menyuruh Irina untuk pergi ke terminal untuk menemuinya padahal nyatanya Tristan sudah pulang dari terminal. Tristan tidak mengetahui kalau hari itu akan menjadi hari paling buruk untuk kelangsungan hidup Irina.

        Tristan menghela napas, kemudian mengusap wajahnya perlahan dengan tangan kanannya, lantas ia melirik jam weker yang ada di atas nakas, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan ia baru selesai menunaikan sholat witir sementara Irina sudah tertidur sejak adzan isya. Tristan mengambil sajadahnya kemudian meletakkannya di sebuah gantungan baju.

      Ia hendak pergi ke balkon kamarnya saat menyadari bahwa Irina mengigau dalam tidurnya. Irina memanggil ibunya juga Tristan, terdengar seperti sangat ketakutan oleh sesuatu, membuat Tristan perlahan mendekat dengan wajah kalut. Irina terlihat menggenggam ujung selimut yang menutupi tubuhnya dengan erat sembari menitikkan air mata.

       “Astagfirullah ... Irina ... bangun ... kamu bermimpi buruk lagi,” ucap Tristan sembari mengelus puncak kepala Irina yang basah oleh keringat dingin.

      Irina masih menangis sesenggukan dalam igauannya, membuat Tristan sedikit kewalahan untuk membangunkan Irina yang masih mengigau. Tristan mengelus puncak kepala Irina sekali lagi sembari mengusap jejak air mata yang membekas di wajah Irina. Irina sedikit tersentak karena hal itu namun, tak melakukan banyak perubahan. Irina masih menangis sesenggukan di sebelah Tristan, meracau tak jelas.

     “Kamu bermimpi buruk lagi, ‘kan?” tanya Tristan lirih.

      Irina masih diam, buku-buku jarinya mulai memutih akibat menggenggam selimut terlalu erat, wajahnya seketika menjadi pucat pasi.

      Dengan sabar Tristan mengambil segelas air minum yang ada di atas nakas kemudian mengambil botol obat milik Irina. “Minum dulu biar lebih tenang.”

       Irina tak menjawab, seolah tak mendengar perkataan Tristan barusan, bibirnya masih bergetar meracau tidak jelas.

      “Irina, minum dulu ... kamu terlihat sangat ketakutan, kamu bermimpi apa?” tanya Tristan kemudian.

      “Pulang ... aku ingin pulang ....”

      “Pulang ke mana Irina? Kita sudah di rumah,” jawab Tristan.

      “Pulang ke rumah ....”

      “Ini sudah di rumah, kamu minum obatnya dulu,” ujar Tristan kemudian membantu Irina meminum antidepresan dari tangannya.

    “Aku ingin pulang,” gumam Irina meraih tangan Tristan seperti hendak meminta perlindungan.

      “Istigfar, sayang. Tenanglah, sedikit ... enggak ada yang mau menyakiti kamu di sini, aku akan menjagamu,” kata Tristan.

      “Aku capek ....”

      “Ssst ... sudah minum dulu, tarik napas dalam-dalam, Irina.”

       Beberapa menit setelah Irina sudah mulai tenang, ponsel Tristan berdering tanda adanya sebuah panggilan masuk. Awalnya Tristan tak ingin mengangkatnya karena sudah terlalu larut malam untuk mengobrol via telepon namun, karena ia merasa penasaran juga ia menghampiri ponselnya yang diletakkan di meja santai.

       Tristan tertegun ketika melihat nama yang tertera di layar LCD ponselnya. Ia merenung cukup lama hingga nada dering ponselnya berhenti, ia tak mempunyai banyak keberanian untuk mengangkat telepon tersebut. Beberapa saat kemudian sebuah pesan chat masuk ke ponsel Tristan dan dari orang yang sama.

       @Yerianna

[Kamu ke mana aja? Aku kangen sama kamu]

       Tristan sangat tertegun melihat isi pesan chat tersebut, hatinya sangat lah bimbang karena pesan tersebut. Tristan tak seharusnya memberikan harapan kepada gadis itu saat ia sudah sah menjadi suami dari Irina. Ia tak mungkin juga mengabaikan pesan itu karena akan membawanya  semakin masuk ke dalam permainan gadis itu.

       “Angkat saja teleponnya kalau dia menelepon lagi, anak yang di perutku bukan anak kamu,” tandas Irina kemudian.

      Tristan menoleh, menatap Irina yang masih berbaring dengan wajah tak sukanya. Tristan tahu dengan jelas apa maksud tatapan itu, Irina tidak suka terlihat lemah dan terlihat seperti ingin dibela.

      “Kamu enggak perlu khawatir, nomornya bakal aku blokir kok,” jawab Tristan mencoba untuk tidak mencari api lagi, mengingat kondisi Irina yang benar-benar kacau.

      “Sudah kukatakan... kamu enggak perlu mengasihaniku,” hardik Irina dengan nada yang ditekan.

       “Astaghfirullah ... istighfar Irina, jangan berbicara dengan nada seperti itu. Enggak baik,” gumam Tristan dengan wajah terkejut, lantaran baru kali ini ia dihardik oleh Irina.

      Ponsel Tristan kembali berdering untuk ke sekian kalinya, membuat Tristan semakin bingung tujuh keliling. Dengan cepat ia menggeser tombol hang up.

       “Assalamualaikum ... maaf sebelumnya, aku Cuma ingin mengatakan bahwa menelepon orang berkali-kali saat larut malam itu perbuatan yang sungguh tidak beretika. Lagi pula kamu sudah tahu dengan jelas, jam-jam seperti sekarang ini adalah waktunya orang untuk beristirahat.”

       Terdengar suara helaan napas dari ujung telepon yang membuat Tristan merasa sangat bersalah. Namun, tak ada pilihan lain selain membuat gadis itu mengerti bahwa Tristan sudah tak mungkin berhubungan lagi dengan gadis itu.

       “Kamu bercanda?” tanya gadis itu di seberang sana dengan nada sinis. “Tristan, kamu enggak lupa sama janji kamu, ‘kan?”

       “Maaf, aku tahu kalau melanggar janji termasuk dosa besar tapi, aku benar-benar tidak bisa bersamamu lagi. Ada wanita yang harus aku jaga perasaannya,” balas Tristan.

       “Inkonsisten! Kamu benar-benar laki-laki inkonsisten yang pernah aku kenal,” sergah gadis itu.

       “Aku benar-benar minta maaf akan hal ini, Assalamualaikum.” Tristan mematikan sambungan telepon lantas meletakkan ponselnya di atas nakas setelah mengubah ponsel tersebut menjadi mode hening.

       Tristan mengabaikan layar ponselnya yang kembali menyala, ia pergi menghampiri Irina yang masih menatap dirinya dengan kesal. Entah bagaimana perkataan Irina selanjutnya Tristan tak ingin peduli karena sekarang hal terpenting baginya adalah menundukkan pandangannya dari wanita lain kecuali Irina.

        “Kamu ingin makan sesuatu?” tanya Tristan mencoba mengalihkan topik.

       “Bertambah lagi dua orang kesepian di dunia malam ini. Sayang, kamu dan aku hanyalah dua orang kesepian yang mengalah untuk berjuang.”

       “Maksudnya apa Irina?” tanya Tristan kemudian. “Kamu pandai bersastra tapi, suamimu ini buta sastra.”

       “Masalahnya enggak mungkin kamu enggak mengerti,” balas Irina sinis, lantas ia memalingkan wajahnya dari Tristan.

        "Aku benar-benar enggak mengerti, apakah kamu marah karena aku memperlskilan dia seperti itu tadi? Atau kamu enggak ingin aku melakukan itu lagi?" 

         "Pikirkanlah sendiri," seloroh Irina.

     

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Xettara
btw semangat ya thor
goodnovel comment avatar
Xettara
marshal sama tristan itu orang yg sama?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status