"Calon mantu akhirnya datang, capek?"
"Nggak, bu." Vania mencium punggung tangan orang tua Andreas."Istirahat aja langsung, sudah makan? Kalau belum langsung aja di dapur minta sama bibi. Kami ke kamar kalau begitu, besok harus berangkat pagi."Menatap orang tua Andreas yang masuk kedalam kamar, tangan Andreas menarik Vania untuk mengikutinya. Mereka menaiki tangga dan melangkah ke kamar, tampak pintu besar dan Andreas membukanya, pemandangan pertama adalah suasana kamar yang berwarna putih dengan ranjang berwarna biru. Vania mengerutkan kening, tampaknya ini bukan kamar tamu melainkan kamar Andreas sendiri."Aku tidur disini?" Andreas menganggukkan kepalanya "Mas dimana?""Sini."Vania membelalakkan matanya "Nggak usah aneh-aneh, mas. Orang tua mas bakal nggak kasih ijin kita satu kamar, namaku jadi jelek.""Mereka nggak masalah, sayang. Aku juga sudah kasih tahu kalau hubungan kita menuju kearah serius. Kamar ini"Gosip tentang Pak Andreas." Vania mengerutkan kening, jantungnya berdebar kencang dan semoga saja hubungan mereka masih belum diketahui banyak orang terutama mereka yang masih satu pekerjaan dengan dirinya."Pak Andreas itu pisah karena dia yang selingkuh bukan istrinya, kapan itu aku lihat dia sama wanita tinggi dan langsing, jalannya mesra gitu dan bahkan si cewek bergelayut manja di lengan Pak Andreas."Vania mencoba mengingat kegiatan Andreas seminggu ini, mereka memang tidak pernah memberi kabar jika tidak bertemu. Hubungan mereka seakan hanya untuk menuntaskan hasrat satu sama lain, meskipun Andreas sudah meminta pada orang tuanya. Vania terkadang merasa tidak yakin melanjutkan hubungan dengan Andreas setelah lamaran yang dilakukannya, tapi tubuhnya seakan mengharapkan sentuhan dari Andreas jika tidak bertemu. Lamaran yang dilakukan Andreas mungkin lebih pada kelamin dan tubuh mereka yang cocok bukan visi dan misi."Aku itu penasaran sama
"Penyelidikan Aulia sudah selesai semua, bu?" Susan menganggukkan kepalanya "Aku sama sekali nggak nyangka Bu Fifi bisa sepercaya itu sama dia, padahal kita berdua berkali-kali bilang agar hati-hati." "Memang ibu nggak merasa sesuatu yang gimana gitu dulu?" "Kerasa, Nia. Cuman ya bayanganku hanya sampai situ saja nggak sampai jauh banget, anak-anak ngomong juga nggak aku dengerin. Pak Fandy marah semarah-marahnya sama Bu Fifi kemarin itu, coba kamu nggak buka masalah itu bisa lebih banyak." Susan menggelengkan kepala sambil memijatnya pelan "Kamu nggak lihat dia?" "Nggak boleh sama Pak Zafran dan Pak Andreas, bu." "Manager keuangan yang baru si Faisal itu bagus, kita berdua suka." Susan menatap Vania senang "Nggak salah kalau Pak Andreas membanggakan kamu, semoga aja dia bisa bertahan. Satu lagi dia beruntung karena nggak perlu sama Bu Fifi, dia laporan langsung sama Pak Andreas dan Pak Fandy." "Memang ada bedanya?" tanya V
"Kamu sudah minta data diri Edwin?" "Memang mas nggak punya?" Vania mengerutkan keningnya.Zafran menggelengkan kepalanya "Bayu yang punya, coba kamu tanya dia atau hubungi Edwin sendiri." "Mas mau kemana?" Vania memicingkan mata melihat Zafran yang memasukkan barang-barangnya."Keluar sama Pak Fandy dan Pak Andreas. Siska, kandidat yang diminta belum dapat? Kalau belum cari lagi karena Pak Fandy sudah mulai tanya." "Ya, pak.""Van, kamu cek seleksi yang dipilih Siska. Jangan lupa kamu hubungi Bayu atau Edwin buat minta data Edwin. Aku tinggal kalau begitu," ucap Zafran yang langsung melangkah keluar.Fandy sekarang lebih banyak keluar dengan Zafran atau Reno, sedangkan Andreas lebih banyak di pabrik, walaupun tetap lebih banyak dengan Andreas. Fandy memang meminta Andreas fokus di pabrik, tapi tetap saja setiap melangkah selalu diskusi dan meminta pendapat Andreas.Mengingat pria itu seketika teringat perbua
"Calon mantu akhirnya datang, capek?" "Nggak, bu." Vania mencium punggung tangan orang tua Andreas."Istirahat aja langsung, sudah makan? Kalau belum langsung aja di dapur minta sama bibi. Kami ke kamar kalau begitu, besok harus berangkat pagi."Menatap orang tua Andreas yang masuk kedalam kamar, tangan Andreas menarik Vania untuk mengikutinya. Mereka menaiki tangga dan melangkah ke kamar, tampak pintu besar dan Andreas membukanya, pemandangan pertama adalah suasana kamar yang berwarna putih dengan ranjang berwarna biru. Vania mengerutkan kening, tampaknya ini bukan kamar tamu melainkan kamar Andreas sendiri."Aku tidur disini?" Andreas menganggukkan kepalanya "Mas dimana?" "Sini." Vania membelalakkan matanya "Nggak usah aneh-aneh, mas. Orang tua mas bakal nggak kasih ijin kita satu kamar, namaku jadi jelek." "Mereka nggak masalah, sayang. Aku juga sudah kasih tahu kalau hubungan kita menuju kearah serius. Kamar ini
"Kenapa kandidat nggak ada yang benar? Kamu udah kasih tahu caranya seleksi lamaran, kan?""Sudah, pak."Zafran menghela napas panjangnya "Ikut saya keluar." Vania mengerutkan kening, bibirnya ingin bertanya lebih tapi melihat ekspresi Zafran akhirnya memilih diam. Melangkah ke mejanya dengan menatap bingung depan komputer, suara pintu terbuka tampak Zafran yang membawa tasnya. Vania yang tidak tahu akan kemana memilih mematikan laptop dan menutupnya, mengambil ponsel dan juga tas serta thumbler. Melangkahkan kakinya menuju kearah mobil, tampak Zafran sudah menunggu disana."Kita kemana, pak?" tanya Vania ketika mobil sudah keluar dari lingkungan pabrik.Zafran menatap sekilas dari sudut matanya "Apa hanya Andreas saja yang bisa mengajak kamu keluar dengan alasan pekerjaan? Kalau aku kasih tahu buruknya Andreas pastinya tidak akan percaya, jadi lebih baik kamu tahu dan dengar sendiri.""Kasih tahu aja memang apa buruknya," ucap
"Hubungan sama bosmu itu gimana? Duda yang punya anak, tapi kamu sama yang itu apa satunya?" "Umi lebih suka yang mana?" "Umi lebih suka kamu sama yang bukan duda, tapi kalau memang jodohmu duda ya...mau gimana lagi. Kalau disuruh milih dari dua itu...mereka berdua sama-sama cakep, pintar dan baik. Bingung umi milihnya..." Vania tertawa mendengar kata-kata uminya, orang tuanya hanya melihat Andreas dari luar. Andreas dan Zafran jelas berbeda, jika dirinya tidak bodoh atau terjerat cinta pastinya akan memilih Zafran, sayangnya semua perbuatan dan kalimat Zafran seakan tidak memberikan dampak apapun."Kamu masih perawan, kan?" Vania mengerutkan keningnya "Kenapa umi tanya begitu? Memang buat duda gitu perawan penting?" "Mana umi tahu penilaian duda, umi tanya sebagai seorang ibu bukan penilaian dua duda itu. Kalau nggak perawan, kamu melakukan sama siapa? Cewek itu harus punya nilai bukan obral, nilai kita itu disitu."