Aku mematut diri di depan cermin. Polesan dari MUA yang dipesan Evan benar-benar kualitas jempol. Wajahku yang biasa saja disulap menjadi bidadari kesiangan yang menjadi pusat perhatian para undangan, terutama mantan suamiku, Denis. Seharian kami menjadi pusat perhatian tamu yang datang.
Waktu seolah berlari dan menghilangkan rasa trauma, membuatku merasakan tenang dan dengan mudah menjawab ‘iya pada Evan yang memintaku menjadi istrinya. Terlebih saat ia meminta restu pada bapak dan keluarga besarku, semuanya setuju tanpa ada satu pun yang menolak. Aku curiga jika Evan memakai ilmu santet agar rencananya lancar. Astagfirullah! Dosa, Ana. Suudzon itu nggak baik! Aku menundukkan kepala, rasanya seperti Dejavu, seperti saat aku pertama kali menikah. Pikiranku mengembara saat pertama kali Denis mengucapkan kalimat ijab qobul yang disaksikan semua orang. Tapi naasnya pernikahan itu hanya bertahan dua tahun dan berakhir di meja perceraian. Satu-satunya alasan yang tidak bisa aku terima sampai saat ini adalah alasan Denis menceraikan aku hanya karena sudah tidak cinta. Dusta! Hati kecilku mengatakan jika Denis hanya berbohong supaya aku mau menerima kenyataan bahwasanya pernikahan kami sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Seenak jidatnya dia membuangku bak kotoran dan dengan enteng menikah lagi saat masa iddahku baru berjalan. Brengsek! Hah ... ingin rasanya aku memaki lelaki itu habis-habisan. Tapi rasanya sayang jika harus membuang energi untuk sesuatu yang tidak penting. Seketika lamunanku buyar saat terdengar suara pintu kamar terbuka lalu tertutup. Lelaki dengan setelan jas hitam berdiri di sana. Lelaki berhidung mancung itu berdiri tegap dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Sungguh sempurna ciptaanmu, Tuhan! Evan ganteng sempurna! “Mbak mikirin apa?” tanya Evan sambil berjalan mendekati ranjang yang berada di belakangku, lalu duduk di tepinya. Aku memutar badan agar kami saling berhadapan. Mataku tak bisa berpaling dari wajahnya yang memang harus aku akui dia, tampan. Tapi, apa ini mimpi. Kok indah banget? Eh .... “A-aku nggak mimpi, kan?” Pertanyaan bodoh dan membuat Evan malah tertawa. “Mbak nggak mimpi. Kita sudah sah menjadi pasangan suami istri!” Deg! Memang, siang tadi Evan sudah menepati janjinya dengan mempersunting diriku. Hanya dengan satu tarikan napas dia berhasil mengucapkan ikrar suci di depan penghulu juga bapak. Terlebih mama juga menyaksikan putra keduanya mengambilku agar kembali ke rumahnya. Kini hanya ada kami di kamar ini. Evan sengaja menyewa sebuah kamar hotel bintang lima untuk malam pengantin kami dan untuk anggota keluarga lainnya pun Evan menyediakan kamar untuk istirahat sebelum esok pagi pulang. Dadaku berdebar kencang saat Evan memandangku tanpa berkedip. Aku semakin takut kala lelaki itu berdiri dan mendekat ke arahku lalu berdiri dengan lututnya, seolah bersujud. “Mbak cantik. Akhirnya aku berhasil mempersunting dirimu.” “Apa yang kamu rencanakan sebenarnya?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari bibir. Jujur saja, aku belum bisa menerima kehadiran lelaki mana pun. “Mbak, aku cinta dan sayang sama kamu. Apalagi yang kamu ragukan?” Evan berkata dengan lembut. “Aku nggak tau harus percaya sama kamu atau nggak.” “Aku nggak minta Mbak buat percaya sama aku. Aku cuma pengen bikin Mbak bahagia.” “Itu aja?” tanyaku sinis. “Selama ini aku berusaha keras bekerja untuk bisa sampai pada titik ini. Sukses dan menikah sama Mbak.” “Rasanya aneh, Van. Dulu aku pernah jadi kakak ipar kamu, sekarang istri kamu.” “Nggak ada yang aneh. Semua sudah Allah takdirkan.” Aku terdiam. Ucapan Evan ada benarnya. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini, bagaimana pun juga, lelaki ini sekarang memiliki status suami, yang harus aku hormati. “Mbak ....” “Ya ....” “Ngobrolnya di kasur aja, yuk. Kakiku kesemutan,” ucapnya sedikit meringis. Tangannya lalu bertumpu pada tanganku saat berdiri. Mungkin karena kakinya yang kesemutan membuat Evan tidak bisa berdiri dengan benar, nyaris saja ia jatuh lagi, tapi aku segera bangun dan meraih lengannya. Debar jantungku semakin tidak karuan saat wajahnya berada dekat denganku. “Eciye, Mbak. Udah bisa menerima aku, ya?” tanyanya dengan nada meledek. “Ge’er!” Aku menghempaskan tangannya yang tadi kupeluk saat membantunya agar tidak terjatuh. Buru-buru duduk sambil membuang muka. Evan terkekeh lalu duduk di sampingku. “Ini malam pengantin, Mbak.” Deg! Kenapa harus diingatkan, coba. Kan aku jadi nganu. Eh, grogi. Aku diam tak menjawab. Begitu pun dengan Evan, lelaki itu seolah ingin menyeimbangi diriku yang seolah malas berjalan menuju bahagia. Tapi ia malah dengan senang hati menuntun diriku ini. “Van ... bisa malam ini kita istirahat saja? Aku capek,” ucapku pelan lalu menoleh, lelaki itu masih menatapku dengan tatapan tenang membuatku nyaman. “Aku nggak akan maksa Mbak. Aku bakal nunggu sampai Mbak siap untuk aku sepenuhnya.” Aku seperti melihat sosok lelaki yang baik. Jika dulu saat malam pertama dengan Denis, lelaki itu justru menagih haknya, berbeda jauh dengan Evan. Lelaki ini lembut, perhatian, sabar dan ... ganteng. Ah ... ya Tuhan. Apa yang harus aku lakukan. Aku berdiri, lalu kedua tanganku menggamit gaun pengantin yang memiliki bawahan sangat lebar, membuatku sulit berjalan karena berat. Evan tidak menahanku atau pun memaksakan kehendak hatinya, ia malah dengan santai meraih ponsel yang tergeletak di meja. Aku kini berada di kamar mandi, sementara Evan tadi saat aku tinggalkan sedang merebahkan tubuhnya di kasur sambil memainkan ponsel miliknya. Gaun putih ini memiliki resleting di belakang, aku berusaha meraihnya, tapi tanganku yang pendek sulit menjangkaunya. Sial! Masa harus minta tolong sama Evan! Aduh. Nanti gimana kalo dia macam-macam. Aku kan belum siap! Etapi, aku kan bukan gadis lagi. Sudah pernah mengalami hal yang lebih intim dari pada ini. Masa sama suami sendiri malu, sih. Aduh! Aku harus bagaimana .... Niat untuk meminta tolong pada Evan aku urungkan. Aku berusaha sendiri meraih resleting itu sampai tidak terasa keringat membasahi kening. Sialan! Capek. Kesel. Mau tidak mau aku kembali membuka pintu kamar mandi dan mendapati sosok Evan yang kini berdiri di balkon sambil memandangi langit. Lelaki itu menoleh saat aku memanggilnya. “Kok belum ganti baju juga?” tanyanya seraya mendekat. “Tanganku pendek. Nggak bisa buka resleting ini.” Aku menunjuk ke arah punggung. “Mbak berbalik. Aku bukain.” Evan tetap tenang, meski yang aku rasakan Evan sedang tidak baik-baik saja. Tapi ... entahlah, aku tidak mau terlalu ambil pusing. Yang aku inginkan sekarang adalah ganti baju, mandi, lalu tidur. Aku menurut dan jemari itu membukanya perlahan, tapi tidak dengan jantungku yang terasa mau lompat. “Makasih!” Aku segera berlari tanpa menoleh pada Evan. Malu rasanya jika ia melihat wajahku yang kurasa sudah merah seperti kepiting rebus.Cepat-cepat aku masuk kamar dan mengunci pintu. Cara menatap Denis padaku dan cara bicaranya membuatku ingin lari. Entah lah. Apa karena aku pernah menjadi istrinya sehingga aku bisa membaca pikiran Denis meski hanya dari gesture tubuhnya.Aku mencoba menguasai diri, tapi mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak berwarna merah yang tergeletak di atas kasur. Aku lantas berjalan mendekati untuk mengambil benda itu.“Ini apa?” Batinku bertanya-tanya. Siapa pengirim kotak ini. Tidak ada nama pengirimnya dan di tutup kotak itu hanya ada sebuah tulisan ‘Untuk Ana '!Kotak ini untukku? Dari siapa? Jangan-jangan ini kado dari Evan? Duh, kok dia jadi romantis begini, sih?Tunggu dulu! Kalau misalkan ini dari Evan, kenapa dia tidak memberitahu lebih dulu. Tapi jika bukan dari Evan, lalu dari siapa? Masa Denis. Ini tidak mungkin!Karena penasaran, aku lantas membuka kotak itu. Mataku terbelalak saat melihat isinya.Di dalam kotak itu terdapat sepuluh lembar fotoku. Foto yang sengaja diambil ba
Aku hendak memejamkan mata, karena hawa dingin kamar ini membuatku ingin segera tidur nyenyak. Tapi mataku kembali segar saat melihat Caca ke luar dari kamar mandi. Gadis bermata sipit itu terlihat manis dengan balutan bathrobe berwarna merah muda.“Buset, nyonya. Bisa lebih lama lagi, nggak, mandinya?” tanya Dea setengah emosi. Gadis itu langsung duduk di sisi ranjang saat Caca berjalan santai dan duduk di meja riasnya.Tangan Caca membuka handuk yang menutupi rambutnya yang basah, lalu mengeringkannya dengan hair dryer.“Ya ampun, Dea. Ini termasuk mandi gue yang paling cepet, tau!”“What the fu*k!” Dea sudah terlihat kesal.Bagaimana tidak, di antara kami bertiga, hanya Dea yang tidak terlalu suka membuang waktu. Dia termasuk gadis yang paling pandai memanfaatkan waktu dan selalu tepat waktu.Caca tidak menimpali ucapan Dea. Dia dengan santai mengeringkan rambutnya.“ih, udah, deh. Jangan pada berantem. Lagian hal sepele begini kan emang sering kejadian.”Tepatnya bukan sering. Ini
Tidak ada yang berubah dari rumah Caca sejak terakhir kali aku mampir di rumahnya saat masih SMA dulu. Caca adalah penyelamat isi perutku. Gadis itu selalu membawa bekal makan lebih banyak yang separuhnya diberikan padaku. Aku yang saat itu tidak mampu untuk membawa uang jajan, apalagi membawa bekal makanan karena bapak harus fokus membiayai pengobatan ibu yang sedang sakit. Aku bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa saja sudah sangat bersyukur, karena tujuanku sekolah saat itu hanya satu. Lulus dengan baik.Tapi Alhamdulillah, Allah maha baik sehingga memberikan aku dua sahabat yang luar biasa mulia. Tidak pernah memandangku sebelah mata hanya karena aku bukan dari kalangan orang kaya, tapi Dea dan Caca benar-benar merangkulku sebagai sahabat yang baik.Rumah berlantai tiga dengan pagar pembatas yang tinggi menjulang. Orang tua Caca adalah pengusaha hebat di bidang properti dan sukses karena sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Tidak heran jika rumah orang tua Caca terli
Malam yang kami lalui masih sama. Kali ini, tanpa aku yang melakukan, Evan sudah melakukannya lebih dulu. Meletakkan bantal guling sebagai pembatas tidur kami. Sejak malam pertama di hotel waktu itu, aku sudah mengawali ini dan sekarang Evan yang melakukannya. Tapi kali ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku merasa sakit melihat kerelaan Evan menjalani rumah tangga ini. Aku sakit karena telah menyiksa batinnya selama ini. Dan aku sekarang bingung bagaimana menyudahi ini semua, aku ingin hidup sebagai pasangan suami istri yang normal. Aku ingin bebas bergelayutan manja padanya, memeluk dan menciumnya dengan semauku dan kapan pun aku mau. Aku ingin merasakan sentuhannya setiap saat dia ingin. Aku inginkan itu, sungguh!Aku menoleh ke arah Evan yang sudah terlelap, terdengar dengkuran halus lolos dari bibirnya. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan jambangnya karena beberapa hari belakangan ini Evan terlalu sibuk dan belum sempat bercukur. Wajahnya yang putih terlihat sed
“Hhaaahhh ....” Aku hanya bisa mengela napas panjang. Ada sedikit rasa yang mengganjal di hatiku. Setiap detik dan hari yang aku lalui, selalu dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Evan begitu saja. Entah bagaimana keadaan Evan saat dirinya menahan luapan biologisnya yang sudah seharusnya segera tersalurkan. Tapi ia justru kuat menahannya dan tidak menunjukkan gejala aneh atau apa lah.“Van, aku minta maaf!” seruku lirih.Aku jongkok, mengusap kotak itu. Tapi bergegas kembali berdiri lagi, takut jika aku sampai tergoda dan mengenakan baju seksi itu. Lekas aku mengambil daster selutut dan pakaian dalam.Pintu lemari aku tutup kembali, meletakkan pakaian yang sudah aku pilih di kasur. Tanganku membuka handuk dan ....“Aargghh!” Evan berdiri di ambang pintu dan berteriak. Kedua tangannya menutupi wajah. Sontak, aku yang terlambat sadar ikut berteriak kencang sambil kembali menutupi tubuh dengan handuk.“Aduh, Mbak. Aku minta maaf. Sumpah, deh, aku nggak liat apa-apa!” seru Evan sambil
Evan tidak merasa bahwa dia meminta Denis untuk menjemputku, sementara tadi Denis bilang kalau dia disuruh Evan buat jemput aku.Siapa di antara mereka yang sedang berbohong dan siapa yang berkata benar? Meski tanpa bertanya pada mereka, aku sudah pasti menemukan jawabannya. Denis yang berbohong, karena hati kecilku berkata jika Evan berbicara jujur. Lagi pula, selama ini Evan tidak pernah berbohong padaku. Dia pun tidak pernah terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Entah, sih. Untuk saat ini, aku bisa merasakan jika Evan adalah laki-laki jujur dan Denis tidak.Aku tidak banyak bertanya tentang kejanggalan tadi pada Evan. Yang jelas, untuk saat ini dan seterusnya, aku harus lebih hati-hati ketika berhadapan dengan Denis. Laki-laki itu terlalu licik dan berbahaya. Apa lagi status Denis adalah mantan suami, tidak menutup kemungkinan jika di hatinya masih ada perasaan yang entah apa bentuknya padaku.Yang pasti, aku harus jauh-jauh dari Denis.Sikap Lilis pada Denis sampai detik ini mas