Perceraian ini justru membuatku seperti memakan buah simalakama. Setelah bercerai, aku justru harus menikah dengan adik mantanku. Satu rumah pula. Apa aku sedang bermimpi saat panas tinggi?
View MoreBab. 1
“Jangan menolak lamaranku, Mbak atau aku akan berbuat nekad!” Lelaki dengan tinggi badan 180 CM dan manik mata cokelat itu menatap tajam. Ia lalu berdiri dan melangkah mendekat. Tatapannya seolah menghipnotis, membuat tubuhku kaku dan sama sekali tidak bisa digerakkan. “K-kamu jangan bercanda, Evan!” seruku agak sedikit takut. Takut jika lelaki ini berani melancarkan aksinya seperti apa yang barusan ia katakan. “Mbak sudah cukup kenal seperti apa watakku, bukan?” Kini kedua tangannya memegang pegangan kursi yang aku duduki, mengurungku dengan lengannya yang kekar. Pandangan kami beradu. Ya ... bisa aku rasakan jika Evan sedang tidak bercanda sekarang. Aku menutup mata menghindari tatapan matanya yang serasa menusuk pupil. Aku tidak bisa berkutik sekarang, yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana memikirkan agar bisa terbebas dari situasi menjijikkan seperti ini. “Aku tidak menerima penolakan! Mbak, harus mau menikah denganku!” Suaranya kembali menggema masuk ke dalam telingaku. Mataku membola dan menatapnya tajam. “Van ... a-aku ....” “Aku tidak menerima penolakan!” serunya penuh ketegasan. Lelaki itu menegakkan badannya, sambil kedua tangannya membuka resleting jaket. Pakaian yang terbuat dari kulit sapi itu dilemparnya sembarangan, lalu setelah itu, ia membuka kancing kemejanya. “Aku tidak bisa menikah dengan kamu, Van!” seruku lagi. Kami sedang makan siang di sebuah restoran mewah dan Evan memesan sebuah ruangan VVIP yang hanya ada aku dan dirinya. “Tidak ada yang salah, bukan, jika aku mencintai, Mbak. Toh, Mbak bukan istri kakakku lagi. Jadi, aku bebas, dong nikah sama Mbak!” Evan menghentikan aktivitas membuka kancing baju miliknya, tangannya kini menyentuh pipiku lembut. Matanya menatap sayu, membuatku semakin terhipnotis dan tidak bisa berpaling. Terlebih saat bibir itu menyentuh bibirku secara mendadak, membuatku semakin larut dalam permainan yang memabukkan ini. Gila! Ini benar-benar gila! Evan adalah adik dari Denis-mantan suamiku. Kami bertemu kembali setelah dua tahun tidak berjumpa pada saat menghadiri acara rapat di pusat kota Jakarta, dalam peluncuran produk baru yang sedang diadakan oleh perusahaan tempat Evan bekerja. Awalnya aku tidak mengenali Evan yang kini tumbuh menjadi lelaki tampan dengan postur badan yang atletis, kekar dan memesona. Tapi pada akhirnya Evan-lah yang menarikku agar mengingat kembali masa lalu. Usai acara kantor dan semua meninggalkan acara, Evan menahanku agar tetap tinggal di lobby, ia bersikeras ingin mengantarkan aku pulang. Aku pikir ia akan menerima penolakan dariku, tapi aku salah. Semakin aku menolak, semakin ia keras pada pendiriannya. Dengan terpaksa aku pulang diantar olehnya sampai rumah dan bertemu dengan bapak. Ingatanku saat bertemu dengan Evan membuatku kembali sadar dan dengan segenap kekuatan mendorong dada itu kencang. Evan terjengkang dengan wajahnya yang terkejut. “Kita nggak bisa kayak gini. Aku nggak mau nikah sama kamu!” “Kenapa!” serunya dengan nada membentak. Lelaki itu lantas berdiri dan mencekal lenganku dengan kencang. Aku meringis kesakitan dan berusaha melepaskan cekalan itu. Sia-sia, tubuh kecilku bukan tandingan Evan yang memiliki badan bak binaragawan. Aku terdiam dengan wajah tertunduk, membiarkan Evan melakukan hal sesukanya padaku. Bahkan jika lelaki itu mau membunuhku di tempat ini, biarlah. “Kenapa Mbak nggak mau nikah sama aku!” serunya lagi, tapi kalo ini nada bicaranya melemah, tidak seperti tadi yang membentak, seolah jantungku mau lepas. Astaga! Ada satu hal yang sedikit aku lupa dari sosok lelaki ini. Meski Evan dan Denis adalah dua lelaki yang berbeda, akan tetapi, mereka tetaplah lelaki yang memiliki sifat egois dan keras kepala. Aku menggigit bibir bawah, alasan apa yang akan aku berikan padanya supaya Evan mau melepaskan aku dan tidak mengejarku lagi. Aku lelah berlari dan ingin hidup seperti dulu, sebelum bertemu dengan Evan. “Mbak nggak mau nikah sama aku, karena aku adik Mas Denis?” Aku mengangkat wajah, menerima tatapan mata Evan yang semakin sendu, membuatku merasa bersalah. “B-bukan!” “Lalu?” “Karena kamu masih kecil!” Astaga! Kenapa malah ngomongin itu! “Mbak pikir aku anak kecil?” “Kamu adik Denis, tentu masih kecil. Umur kamu aja di bawah aku,” ucapku dengan nada meledek. Perlahan Evan melepaskan cekalannya, bibir lelaki itu menyunggingkan senyuman sinis yang tidak bisa aku artikan. “Mbak bilang aku anak kecil,” ucapnya sambil terus menatapku. Kali ini tatapannya berubah menyeramkan, persis lelaki mesum yang ingin melecehkan wanita. Eh. “Aku anak kecil yang bisa bikin Mbak punya anak kecil!” Evan berdiri tegap, tangannya membuka ikat pinggang dan tanpa ragu melepas kancing celananya. Resletingnya pun tak segan ia turunkan. Aku menutup mata, wajahku terasa panas menyaksikan adegan ini. Ah, aku masih normal rupanya. Eh! “Van, stop. Van. Aku cuma bercanda!” Aku berucap dengan kedua tangan menutup wajah. Lalu terdengar Evan tertawa terbahak-bahak. Ck. Dasar bocah ingusan. Bisa-bisanya ia melakukan hal semesum ini padaku! “Buka matamu, Mbak!” serunya. Aku mengintip dari celah jari, benar saja, Evan sudah kembali duduk di hadapanku dan berpakaian seperti semula. “Maaf, Van. Aku benar-benar belum ingin menikah.” “Mbak masih trauma?” tanyanya pelan. Aku mengangguk. Kata-katanya benar, aku masih betah menyendiri karena rasa trauma dan luka di masa lalu bekas perbuatan Denis. Membuatku enggan berdekatan atau menjalin hubungan dengan lelaki manapun. “Apa Mbak pikir, aku seperti Mas Denis?” Suara Evan merendah, tidak seperti tadi yang berapi-api, bahkan mengancam akan memperkosa. Sikapnya kali ini berhasil membuatku tenang dan nyaman untuk mengobrol. “Aku tahu kamu tidak seperti Denis dan aku mohon kamu juga paham keadaan aku.” “Aku janji akan bikin Mbak bahagia.” “Denis pun dulu pernah mengucapkan kalimat itu. Tapi nyatanya, nol besar, Van.” “Kasih aku kesempatan buat buktikan kalo aku bisa bikin Mbak bahagia.” “Tapi, Van ....” “Aku akan menunggu sampai Mbak siap.” Lelaki itu mengeluarkan benda berbentuk hati lalu diserahkannya padaku. “Diam-diam aku udah ketemu sama bapak. Beliau setuju kalo kita menikah!” Aku terkejut. Lelaki tengil ini benar-benar pandai membuat kejutan. Tapi ... apa iya bapak bisa setuju begitu saja? Setahuku dulu, Evan adalah anak yang baik. Tidak sekali pun ia membuat ulah atau pun mengajak teman wanitanya main ke rumah. Evan adalah lelaki periang, pandai, introver dan apa adanya. Sikapnya yang mudah bergaul membuatnya jadi banyak teman, bahkan tak jarang ia memiliki teman yang usianya lebih dewasa dari Denis. Tidak ada yang salah dalam diri Evan. Yang terjadi kali ini hanyalah sebuah keterkejutan dengan pertemuan secara tidak sengaja dan permintaan menikah yang terjadi begitu tiba-tiba. Lalu, apa yang harus aku lakukan. Aku memandangi kotak cincin itu, Evan diam sambil terus memandangi wajahku. Senyum lelaki itu hilang, berganti ekspresi memohon agar diberikan kesempatan. “Van ... maaf. Aku benar-benar nggak bisa.” “Mbak. Kasih aku satu kesempatan. Kakakku memang brengsek, tapi itu dia. Bukan aku. Jangan menghakimi aku dengan masa lalumu.” Tuhan ... kata-kata Evan benar. “Aku belum siap, Van.” “Mbak yang belum siap, atau memang Mbak yang nggak mau menikah dengan aku!” “Van ... mengertilah.” “Apa yang harus aku mengerti, Mbak. Apa aku salah kalo aku ingin membahagiakan wanita yang aku sayangi. Asal Mbak tahu, hati aku terluka dan sakit saat melihat Mbak pasrah disakiti sama Mas Denis!” Lidahku kelu. Aku kehabisan kata-kata untuk menolak Evan. Kata-katanya selalu membuatku luluh dan ingin berlari juga berlindung dalam pelukannya. “Aku sayang sama Mbak Ana. Kasih aku kesempatan untuk membahagiakanmu!”Cepat-cepat aku masuk kamar dan mengunci pintu. Cara menatap Denis padaku dan cara bicaranya membuatku ingin lari. Entah lah. Apa karena aku pernah menjadi istrinya sehingga aku bisa membaca pikiran Denis meski hanya dari gesture tubuhnya.Aku mencoba menguasai diri, tapi mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak berwarna merah yang tergeletak di atas kasur. Aku lantas berjalan mendekati untuk mengambil benda itu.“Ini apa?” Batinku bertanya-tanya. Siapa pengirim kotak ini. Tidak ada nama pengirimnya dan di tutup kotak itu hanya ada sebuah tulisan ‘Untuk Ana '!Kotak ini untukku? Dari siapa? Jangan-jangan ini kado dari Evan? Duh, kok dia jadi romantis begini, sih?Tunggu dulu! Kalau misalkan ini dari Evan, kenapa dia tidak memberitahu lebih dulu. Tapi jika bukan dari Evan, lalu dari siapa? Masa Denis. Ini tidak mungkin!Karena penasaran, aku lantas membuka kotak itu. Mataku terbelalak saat melihat isinya.Di dalam kotak itu terdapat sepuluh lembar fotoku. Foto yang sengaja diambil ba
Aku hendak memejamkan mata, karena hawa dingin kamar ini membuatku ingin segera tidur nyenyak. Tapi mataku kembali segar saat melihat Caca ke luar dari kamar mandi. Gadis bermata sipit itu terlihat manis dengan balutan bathrobe berwarna merah muda.“Buset, nyonya. Bisa lebih lama lagi, nggak, mandinya?” tanya Dea setengah emosi. Gadis itu langsung duduk di sisi ranjang saat Caca berjalan santai dan duduk di meja riasnya.Tangan Caca membuka handuk yang menutupi rambutnya yang basah, lalu mengeringkannya dengan hair dryer.“Ya ampun, Dea. Ini termasuk mandi gue yang paling cepet, tau!”“What the fu*k!” Dea sudah terlihat kesal.Bagaimana tidak, di antara kami bertiga, hanya Dea yang tidak terlalu suka membuang waktu. Dia termasuk gadis yang paling pandai memanfaatkan waktu dan selalu tepat waktu.Caca tidak menimpali ucapan Dea. Dia dengan santai mengeringkan rambutnya.“ih, udah, deh. Jangan pada berantem. Lagian hal sepele begini kan emang sering kejadian.”Tepatnya bukan sering. Ini
Tidak ada yang berubah dari rumah Caca sejak terakhir kali aku mampir di rumahnya saat masih SMA dulu. Caca adalah penyelamat isi perutku. Gadis itu selalu membawa bekal makan lebih banyak yang separuhnya diberikan padaku. Aku yang saat itu tidak mampu untuk membawa uang jajan, apalagi membawa bekal makanan karena bapak harus fokus membiayai pengobatan ibu yang sedang sakit. Aku bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa saja sudah sangat bersyukur, karena tujuanku sekolah saat itu hanya satu. Lulus dengan baik.Tapi Alhamdulillah, Allah maha baik sehingga memberikan aku dua sahabat yang luar biasa mulia. Tidak pernah memandangku sebelah mata hanya karena aku bukan dari kalangan orang kaya, tapi Dea dan Caca benar-benar merangkulku sebagai sahabat yang baik.Rumah berlantai tiga dengan pagar pembatas yang tinggi menjulang. Orang tua Caca adalah pengusaha hebat di bidang properti dan sukses karena sudah memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Tidak heran jika rumah orang tua Caca terli
Malam yang kami lalui masih sama. Kali ini, tanpa aku yang melakukan, Evan sudah melakukannya lebih dulu. Meletakkan bantal guling sebagai pembatas tidur kami. Sejak malam pertama di hotel waktu itu, aku sudah mengawali ini dan sekarang Evan yang melakukannya. Tapi kali ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku merasa sakit melihat kerelaan Evan menjalani rumah tangga ini. Aku sakit karena telah menyiksa batinnya selama ini. Dan aku sekarang bingung bagaimana menyudahi ini semua, aku ingin hidup sebagai pasangan suami istri yang normal. Aku ingin bebas bergelayutan manja padanya, memeluk dan menciumnya dengan semauku dan kapan pun aku mau. Aku ingin merasakan sentuhannya setiap saat dia ingin. Aku inginkan itu, sungguh!Aku menoleh ke arah Evan yang sudah terlelap, terdengar dengkuran halus lolos dari bibirnya. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar kumis dan jambangnya karena beberapa hari belakangan ini Evan terlalu sibuk dan belum sempat bercukur. Wajahnya yang putih terlihat sed
“Hhaaahhh ....” Aku hanya bisa mengela napas panjang. Ada sedikit rasa yang mengganjal di hatiku. Setiap detik dan hari yang aku lalui, selalu dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Evan begitu saja. Entah bagaimana keadaan Evan saat dirinya menahan luapan biologisnya yang sudah seharusnya segera tersalurkan. Tapi ia justru kuat menahannya dan tidak menunjukkan gejala aneh atau apa lah.“Van, aku minta maaf!” seruku lirih.Aku jongkok, mengusap kotak itu. Tapi bergegas kembali berdiri lagi, takut jika aku sampai tergoda dan mengenakan baju seksi itu. Lekas aku mengambil daster selutut dan pakaian dalam.Pintu lemari aku tutup kembali, meletakkan pakaian yang sudah aku pilih di kasur. Tanganku membuka handuk dan ....“Aargghh!” Evan berdiri di ambang pintu dan berteriak. Kedua tangannya menutupi wajah. Sontak, aku yang terlambat sadar ikut berteriak kencang sambil kembali menutupi tubuh dengan handuk.“Aduh, Mbak. Aku minta maaf. Sumpah, deh, aku nggak liat apa-apa!” seru Evan sambil
Evan tidak merasa bahwa dia meminta Denis untuk menjemputku, sementara tadi Denis bilang kalau dia disuruh Evan buat jemput aku.Siapa di antara mereka yang sedang berbohong dan siapa yang berkata benar? Meski tanpa bertanya pada mereka, aku sudah pasti menemukan jawabannya. Denis yang berbohong, karena hati kecilku berkata jika Evan berbicara jujur. Lagi pula, selama ini Evan tidak pernah berbohong padaku. Dia pun tidak pernah terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Entah, sih. Untuk saat ini, aku bisa merasakan jika Evan adalah laki-laki jujur dan Denis tidak.Aku tidak banyak bertanya tentang kejanggalan tadi pada Evan. Yang jelas, untuk saat ini dan seterusnya, aku harus lebih hati-hati ketika berhadapan dengan Denis. Laki-laki itu terlalu licik dan berbahaya. Apa lagi status Denis adalah mantan suami, tidak menutup kemungkinan jika di hatinya masih ada perasaan yang entah apa bentuknya padaku.Yang pasti, aku harus jauh-jauh dari Denis.Sikap Lilis pada Denis sampai detik ini mas
Denis ingin menjemputku? Kenapa? Ada apa? Bisakah aku menolak ajakan itu? Sungguh aku masih takut berhadapan dengan dia. Masih membekas di ingatan sisa perlakuan kasarnya padaku dulu. Jika aku berhadapan dengannya, tubuhku bereaksi mengeluarkan keringat dingin dan jantungku berdegup kencang. Takut.[Aku pulang naik taksi aja!]Akhirnya, aku membalas chat dari Denis.[Aku disuruh Evan buat jemput kamu!][Nanti aku jemput tepat waktu.]Balas Denis.Menyerah. Aku enggan berdebat lagi. Makan siang yang masih tersisa, enggan aku habiskan. Sisa makanan itu berakhir di tempat sampah. Dea dan Caca hanya bisa beradu pandang saat menyaksikan aku kehilangan nafsu makan.Benar saja. Tepat pukul lima sore, Denis sudah berada di lobi. Dengan pedenya laki-laki itu menungguku di resepsionis.“Lo balik sama Denis, An?” tanya Caca setengah berbisik-bisik. Dea yang berdiri di sebelah Caca melihat ke arah Denis dengan tatapan tidak percaya.“Mau gimana lagi.” Aku hanya bisa mengembuskan nafas pasrah. Pas
Aku masih berdiri depan bangunan itu, beberapa langkah lagi sudah masuk dan pastinya akan bertemu resepsionis. Pikiranku mengajakku agar masuk dan mencari keberadaan Denis yang entah berada di kamar berapa. Tapi hati kecilku mengatakan agar aku secepatnya pergi dari sana, sebelum semuanya terlambat dan malah akan mendatangkan masalah baru.Aku memejamkan mata sekejap, membulatkan tekad. Lalu dengan sepenuh jiwa membalikkan badan dan kembali melangkah menuju trotoar, berharap segera ada taksi yang kosong.Dewi Fortuna sedang berada di pihakku. Tak berapa lama kemudian, datang taksi kosong. Aku lantas naik dan mengatakan pada sopir ke mana tujuannya. Yaitu, ke kantor.Aku duduk bersandar, kepalaku mendadak terasa pusing. Bayangan Denis sedang bermesraan dengan wanita yang entah siapa malah menari-nari di pikiranku. Rasanya jijik membayangkan hal itu. Ingin rasanya menepis semua hal negatif yang bisa saja belum tentu terjadi, tapi sulit. Mobil Denis terlihat terparkir di sana, entah dia
Pernikahanku dengan Evan berjalan dengan baik. Evan bukan tipe laki-laki banyak menuntut. Ia justru semakin bersikap dewasa, tidak pernah mengeluh ketika sikapku ada yang tidak berkenan baginya. Ia malah mengimbangi langkahku dan selalu mengalah di setiap kondisi, membuatku akan merasa sangat bersalah ketika hendak marah.Evan di mataku itu sempurna. Mungkin itu untuk saat ini, entah jika di masa mendatang. Tapi bagiku, Evan sudah cukup menjadi baik sebagai suami dan aku ingin berusaha menjadi istri yang baik pula untuknya.Entah karena hal apa, Evan yang beberapa waktu lalu terlihat murung dan kadang kala uring-uringan, kini kembali ceria. Tawanya yang khas sudah kembali terdengar dan tidak ada lagi raut wajah yang sendu saat bertatapan di meja makan. Aku sedikit merasa lega karena tidak perlu mencari tahu penyebab hilangnya keceriaan Evan, meski pada dasarnya, aku masih penasaran saat ekspresi Evan menunjukkan keterkejutan saat dirinya melihat nomor ponsel misterius itu.Tadi pagi M
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments