Nayla memasuki kamarnya. Sekilas ia melirik ke arah jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu pandangannya teralih ke arah Airin yang tertidur pulas di atas ranjang dengan kain bedung bermotif binatang yang membalut tubuh mungilnya. Di jam-jam seperti ini, Airin memang sangat anteng. Namun, saat tengah malam, bayi itu akan terbangun dan menangis dengan kencang karena kehausan. Nayla sudah sangat hafal karena sudah satu minggu ia tidur bersamanya.
Nayla mengambil tas perlengkapan bayi, lalu memasukkan semua pakaian Airin, popok, susu formula, dan perlengkapan bayi lainnya. Setelah semuanya beres, ia pun menggendong Airin dengan hati-hati sekali agar bayi itu tidak kaget dan terbangun, kemudian mencangklongkan tas perlengkapan bayi tersebut di bahu kanannya.
Dengan sebongkah keraguan dalam dada, Nayla beranjak keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terasa amat berat. Saat itu ia benar-benar takut kalau Abyan akan menolaknya mentah-mentah dan m
Nayla membuka mata saat suara tangisan Airin menusuk gendang telinganya. Ia pun beringsut bangun. Dengan cepat kedua tangannya membuka kain bedung yang membalut tubuh Airin, lalu mengecek popoknya. “Airin kenapa, Nay?” Suara Abyan membuat Nayla tersentak kaget. Tiba-tiba pria itu sudah berdiri tegak di sampingnya. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya. “Emh ... ini, Mas. Kayaknya popoknya penuh. Aku akan menggantinya,” sahut Nayla tanpa menoleh ke arah pria itu. Tangannya bergerak cepat merobek sisi kanan dan kiri popok Airin. “Mungkin dia haus,” tutur Abyan dengan panik saat tangisan Airin terdengar semakin kencang. “Iya, Mas. Apa Mas bisa menolongku untuk membuatkan susu?” tanya Nayla yang sudah berdiri untuk mengambil popok baru di dalam tas perlengkapan bayi. “Baiklah. Mana susunya?” Nayla pun mengeluarkan satu kotak susu formula, botol kecil, dan termos kecil dari dalam tas, lantas menyerahkannya kepada Abyan. Aby
Hidup Nayla selama ini terbilang sempurna di mata masyarakat. Segala yang ia inginkan bisa terpenuhi. Makanan lezat, pakaian branded, dan barang-barang mewah lainnya bisa ia dapatkan dengan mudah. Hanya dengan menggesek kartu ajaib yang Abyan berikan untuknya. Seolah-olah isi dalam kartu itu tidak ada habisnya. Lahirnya ia kelihatan bahagia. Namun, siapa sangka, kalau selama ini batinnya amat tersiksa. Mahligai yang terbina sejak tiga tahun yang lalu seolah-olah menjadi penjara emas yang membelenggunya, mengekang kebebasannya, dan membatasi ruang geraknya. Setiap hari Nayla hanya menghabiskan waktu di rumah untuk menjaga Airin. Sementara Abyan, dia hanya sibuk mengurus pekerjaannya di kantor. Abyan Raffasya adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Ia pemilik dari PT Raffasya Land, perusahaan properti terbesar di ibu kota. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan hotel, vila, perumahan, dan apartemen di kawasan Asia Tenggara meliputi Indonesia, Singapu
Toyota Fortuner putih tampak memasuki pintu gerbang utama. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai di rumah, Nayla hanya termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Airin kepadanya di meja makan tadi. Haruskah ia bicara pada Abyan dan memintanya untuk sedikit saja memberikan perhatian pada Airin? “Nyonya, kita sudah sampai.” Suara parau Pak Mahmud membuyarkan lamunan Nayla. Saking seriusnya melamun, ia tidak menyadari kalau mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah. “Eh iya, Pak. Sudah sampai ya?” “Sudah, Nyah.” Nayla segera turun dari mobil, lantas melangkah gontai memasuki rumah. “Sudah pulang, Nyah?” tanya Mbok Sum dengan ramah. Wanita paruh baya itu tengah membersihkan debu-debu yang menempel di perabotan rumah dengan kemoceng. “Sudah, Mbok,” jawab Nayla lirih. Ia pun meletakkan sling bag-nya di meja, lantas menjatuhkan tubuhnya duduk bersandar di sofa untuk melepas lelah. Ia terlihat muram. Sama se
Nayla melirik jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 09.55. Itu artinya lima menit lagi Airin akan keluar dari kelasnya. Nayla tampak berdiri menunggu di halaman sekolah bersama dengan orang tua lainnya yang juga sedang menjemput putra-putri mereka. Lima menit kemudian, terdengar bunyi bel yang menandakan kalau sekolah telah usai. Murid-murid tampak berhambur keluar dari kelasnya. Begitu melihat sosok Airin, Nayla pun melambaikan tangan kanannya sambil mengulum senyuman. “Mamaaa!” teriak Airin sambil berlari menyongsong ibunya. Nayla pun menekuk lutut dan menyambut tubuh kecil Airin ke dalam pelukannya. “Halo, Sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?” Airin pun mulai bercerita panjang lebar tentang apa saja yang diajarkan oleh gurunya hari itu. Nayla mendengarkan sambil menggandeng tangan kecil putrinya itu menuju tempat parkir. “Sayang, sebelum pulang bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mall dulu? Nanti Mama beliin es k
Abyan terkejut saat melihat semua makanan favoritnya tersaji di meja makan. Entah dari mana Nayla tahu semua makanan kesukaannya. Ah, mungkin Mbok Sum yang sudah memberi tahunya. Mereka berdua pun duduk berdampingan. Abyan diam saja saat Nayla mencidukkan nasi, sayur, dan lauk pauk ke dalam piringnya. Ia merasa de javu. Seolah-olah Aleya-lah yang sedang melayaninya. “Silakan dimakan, Mas!” seru Nayla karena pria di sampingnya itu masih tampak bergeming. “Eh, iya.” Lagi-lagi suara Nayla membuatnya sadar kalau wanita itu bukanlah Aleya. Ia kembali menghela napas panjang untuk menguasai dirinya. Kemudian ia meraih sendok dan mulai memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. Saat lidah Abyan menyentuh rendang daging buatan Nayla, ia merasa seolah-olah sedang memakan masakan Aleya. Rasanya benar-benar sama. Apa karena mereka sama-sama belajar dari Bu Saida? Abyan bertanya dalam hati. “Bagaimana, Mas? Enak?” Abyan
Karena tidak mengantar Airin ke sekolah, pagi itu Nayla bisa mengawali rutinitasnya untuk bersih-bersih rumah. Biasanya ia akan membersihkan semua kamar yang ada di lantai dua. Sementara Mbok Sum dan Pak Mahmud diberi jatah untuk membersihkan lantai bawah dan halaman. Usai membersihkan kamarnya dan kamar Airin, Nayla pun memasuki kamar Abyan yang memang tidak pernah dikunci. Di tangannya sudah ada sapu ijuk dan kemoceng yang siap digunakan untuk bersih-bersih. Sudah tiga tahun berlalu. Namun, tidak ada yang berubah di kamar itu. Semuanya masih sama. Foto pernikahan Abyan dan Aleya masih tergantung manis di dinding. Sementara foto pernikahannya hanya teronggok di gudang. Terlupakan dan terabaikan. Nayla selalu berpikir, apa ia begitu tidak berarti di mata suaminya? Apa janji suci yang pernah Abyan ucapkan di hadapan penghulu itu tidak ada artinya? Mata Nayla mulai terasa panas. Namun, ia berusaha keras untuk menahan bulir bening itu agar tidak jatuh ke pipi. S
Suasana ruang tamu itu terasa mencekam. Nayla yang duduk di sofa panjang, terlihat seperti pesalah yang siap dijatuhi hukuman. Kepalanya tertunduk. Sama sekali tidak berani menatap wajah pria yang berdiri tegak di hadapannya. “Apa kau sadar, kesalahan apa yang telah kau lakukan hari ini?” Suara tegas Abyan menggema ke seluruh ruangan. Manik hitamnya menyorot tajam ke arah wanita yang tengah memakai baju dan perhiasan milik mendiang istrinya. “Apa kau tidak dengar apa yang aku tanyakan?” Abyan meninggikan suaranya karena wanita yang duduk di hadapannya itu tidak juga menyahut. Jantung Nayla memompa semakin kencang. Ia meremas-remas tangannya yang gemetaran dan terasa dingin. “Aku ... aku minta maaf, Mas,” ucapnya dengan gugup. Masih dengan kepala tertunduk memandang lantai yang terbuat dari granit putih. “Bukankah aku sudah pernah bilang padamu, jangan bawa mobil sendirian! Kenapa kau masih nekat? Sekarang lihat apa akibatnya!” Abyan menghela n
“Selama ini kau hanya sibuk mengurus pekerjaanmu dan melupakan tanggung jawabmu sebagai seorang ayah dan suami. Hingga aku harus mencari berbagai alasan di hadapan kedua orang tua kita hanya untuk menutupi semua kesalahanmu. Sampai kapan, Mas? Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini? Sampai kapan kau akan membiarkanku menunggumu? Apa tiga tahun tidak cukup bagimu untuk melupakan Mbak Aleya?” Kata-kata Nayla terngiang kembali dalam ingatan Abyan. Walaupun matanya tertuju ke layar laptop yang menyala di depannya, tetapi pikirannya melayang jauh entah ke mana. Ia sama sekali tidak fokus pada pekerjaannya. “Orang yang sudah meninggal, tidak akan bisa hidup kembali, Mas. Kalau aku dan kedua orang tuaku saja bisa mengikhlaskan kepergian Mbak Aleya, kenapa kau tidak bisa? Kenapa kau tidak bisa menghargai orang yang masih hidup? Apa kau baru akan sadar setelah aku pergi dari hidupmu?” Abyan mencerna kembali semua kalimat yang terlontar dari bibir