Share

Bab 8 : Pesan Terakhir Untuk Revan

Benar saja, Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Jantung Nayla semakin berdebar tidak karuan. Hatinya diliputi ketakutan yang kian mencekam. Apakah ia harus jujur dan membongkar semuanya? Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Revan dan membiarkan hati mereka sama-sama tersakiti?

Di tengah kekalutannya, tiba-tiba seorang wanita berusia tiga puluh tahunan masuk ke kamarnya. Wanita itu tidak lain adalah seorang MUA (Make Up Artist) yang tadi meriasnya. Tanpa berpikir panjang, Nayla segera mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas.

“Mau dilepas sekarang Mbak, kebayanya?” tanya wanita bermata sipit itu.

“Eh ... iya, Mbak,” jawab Nayla sedikit gugup.

Setelah melepas semua hiasan kepala dan pakaian pengantinnya, Nayla pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Di bawah siraman air shower yang segar, pikiran Nayla kembali dipenuhi oleh bayang-bayang Revan. Hatinya kian gelisah dan dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak akan tenang sebelum mengatakan kebenarannya pada laki-laki itu.

Selesai mandi dan ganti pakaian, Nayla pun mengambil ponselnya dan menghidupkannya kembali. Saat itu jam dinding telah menunjukkan pukul tiga sore. Artinya di Amerika sudah pukul tiga pagi. Nayla berharap Revan sudah tidur dan tidak akan meneleponnya lagi.

Setelah benda pipih hitam itu menyala, ibu jari Nayla pun bergerak cepat di atas layar untuk mengetik sebuah pesan.

{Van, aku minta maaf padamu. Mulai sekarang kita tidak usah saling berhubungan lagi. Karena hari ini aku telah resmi menjadi milik orang lain.

Aku sudah menikah, Van. Maafkan aku.

Mulai sekarang lupakanlah aku dan lanjutkanlah hidupmu. Aku ingin kau meraih mimpimu menjadi arsitek yang hebat di Amerika. Semoga berhasil, Van. Selamat tinggal ....}

Nayla segera mengirimkan pesan itu kepada Revan. Setelah terkirim, ia langsung memblokir nomor laki-laki itu dan menutup semua akun sosial medianya. Walaupun berat, mulai sekarang ia harus menghilang dari hidup Revan dan melupakan kekasihnya itu untuk selama-lamanya. Ia juga akan mengganti nomor ponselnya dengan yang baru agar Revan tidak bisa menghubunginya lagi.

***

Sore itu cuaca cukup cerah. Sang surya mengintip malu-malu dari balik gumpalan awan putih. Angin pun berembus pelan, mengiringi langkah Abyan dan seluruh anggota keluarganya menuju tempat peristirahatan terakhir Aleya.

Nayla sengaja membawa Airin yang saat itu baru berusia satu minggu. Ia ingin mempertemukan bayi mungil itu dengan ibu kandungnya. Sementara Bu Saida, Mama Mayang, dan Rea tampak membawa karangan bunga yang indah dan berwarna-warni untuk dihadiahkan kepada Aleya.

Setelah meletakkan karangan bunga itu di atas makam Aleya, semua orang pun menengadahkan kedua tangannya ke atas dan berdoa agar arwah Aleya tenang di alam sana.

Mbak Aleya, aku datang membawa Airin, Mbak, putri yang telah engkau lahirkan dengan susah payah. Nayla membatin sambil berdiri menatap gundukan tanah merah di hadapannya dengan mata yang berkaca-kaca.

Mbak Aleya pasti bahagia ‘kan di alam sana? Aku sudah memenuhi permintaan terakhir Embak. Hari ini aku sudah resmi menjadi istri Mas Abyan dan ibu untuk Airin. Walaupun untuk itu aku harus mengorbankan impian, cita-cita, dan kebahagiaanku sendiri. Aku juga telah menghancurkan hati seorang pria yang sangat aku cintai.

Bulir bening pun mengalir dari pelupuk mata Nayla tanpa bisa dicegah. Saat itu perasaannya bercampur aduk. Di satu sisi ia merasa lega karena bisa memenuhi permintaan terakhir kakaknya. Namun, di sisi lain, hatinya benar-benar sakit karena telah mengkhianati cinta dan kepercayaan Revan.

Melihat Nayla meneteskan air mata, Bu Saida pun merangkul bahu putrinya itu dan mengusap-usapnya dengan lembut. Dalam hati ia berdoa kepada Allah untuk kebahagiaan Nayla, Abyan, dan juga cucunya, Airin.

Aleya ... aku datang lagi untuk menjengukmu. Abyan membatin sambil duduk bersila di samping makam istrinya.

Sejak Aleya meninggal, saban hari pria itu datang ke makam istrinya dan menghabiskan waktu selama berjam-jam di sana. Sudah satu minggu ia tidak pergi ke kantor. Semua pekerjaan ia limpahkan kepada Vino dan sekretaris pribadinya. Sedangkan untuk urusan pernikahannya dengan Nayla, ia serahkan sepenuhnya kepada kedua orang tuanya.

Aleya ... hari ini putri kita sudah semakin besar. Dia sangat cantik. Wajahnya mirip sekali denganmu. Seandainya kamu masih hidup, pasti kamu akan sangat bahagia melihatnya. Bola mata Abyan mulai berembun.

Hari ini aku sudah memenuhi permintaanmu untuk menikahi Nayla. Tapi asal kau tahu Aleya, aku melakukan semua ini hanya demi Airin. Karena sampai kapan pun hanya kaulah satu-satunya wanita yang aku cintai. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisimu di hatiku.

Hampir setengah jam mereka menghabiskan waktu di makam Aleya tanpa bersuara. Suasana begitu hening. Seolah mereka terhanyut dalam pikiran masing-masing. Airin pun sejak tadi hanya diam dalam gendongan Nayla.

Saat langit mulai mendung dan angin mulai bertiup kencang, Papa Angga pun mengajak mereka semua untuk pulang.

***

Malam ini adalah malam terakhir Pak Hasan dan Bu Saida berada di Jakarta. Karena besok pagi mereka sudah harus kembali ke Yogyakarta. Begitu pula dengan Papa Angga, Mama Mayang, dan Rea yang akan kembali ke Bogor. Setelah satu minggu berkabung, sudah saatnya mereka kembali beraktivitas seperti biasa.

Setelah menghabiskan makan malamnya, Abyan memilih untuk naik ke lantai atas dan mengurung diri di kamar. Itulah yang selalu ia lakukan semenjak Aleya pergi. Pria itu seperti kehilangan semangat hidupnya. Semua orang hanya bisa mendoakan, semoga Abyan bisa secepatnya move on dari Aleya dan membuka hatinya untuk Nayla.

“Nay, karena sekarang kamu sudah resmi menjadi istrinya Abyan, mulai sekarang kamu pindah saja ke kamarnya!” titah Mama Mayang saat mereka semua sedang duduk berkumpul di ruang keluarga sambil minum teh. Kebetulan saat itu Airin sudah tidur di kamar tamu.

Deg! Jantung Nayla tiba-tiba berdesir kencang. Ia tidak dapat membayangkan kalau malam ini ia harus tidur satu kamar dengan Abyan, laki-laki yang dulunya adalah kakak iparnya dan sangat ia hormati.

“Iya Kakak Ipar, kamu pindah saja ke kamarnya Kak Abyan. Ajak Airin sekalian!” imbuh Rea setelah menyesap tehnya.

“Emh ... Nayla ... Nayla tidur di kamar tamu saja Ma, Rea. Nayla takut mengganggu Mas Abyan. Dia ‘kan masih berduka,” sahutnya dengan gugup.

Bu Saida pun menimpali, “Nay, Bu Mayang dan Nak Rea benar. Sekarang ‘kan kamu sudah jadi istri Nak Abyan. Kamu harus berbakti pada suamimu. Pergilah. Bawa Airin bersamamu.”

“Tapi Bu ....” Nayla tidak menyangka kalau ibunya malah mendukung Mama Mayang dan Rea. Bukankah seharusnya wanita itu membelanya?

Pandangan Nayla pun teralih ke arah ayahnya dan Papa Angga. Seolah ia meminta pembelaan dari mereka.

“Pergilah, Nak!” titah Pak Hasan. Sementara Papa Angga hanya bergeming.

Nayla semakin terpojok. Ternyata tidak ada seorang pun yang mau membelanya. Ia pun terpaksa bangkit dan memenuhi perintah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status