Benar saja, Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Jantung Nayla semakin berdebar tidak karuan. Hatinya diliputi ketakutan yang kian mencekam. Apakah ia harus jujur dan membongkar semuanya? Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Revan dan membiarkan hati mereka sama-sama tersakiti?
Di tengah kekalutannya, tiba-tiba seorang wanita berusia tiga puluh tahunan masuk ke kamarnya. Wanita itu tidak lain adalah seorang MUA (Make Up Artist) yang tadi meriasnya. Tanpa berpikir panjang, Nayla segera mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas.
“Mau dilepas sekarang Mbak, kebayanya?” tanya wanita bermata sipit itu.
“Eh ... iya, Mbak,” jawab Nayla sedikit gugup.
Setelah melepas semua hiasan kepala dan pakaian pengantinnya, Nayla pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di bawah siraman air shower yang segar, pikiran Nayla kembali dipenuhi oleh bayang-bayang Revan. Hatinya kian gelisah dan dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak akan tenang sebelum mengatakan kebenarannya pada laki-laki itu.
Selesai mandi dan ganti pakaian, Nayla pun mengambil ponselnya dan menghidupkannya kembali. Saat itu jam dinding telah menunjukkan pukul tiga sore. Artinya di Amerika sudah pukul tiga pagi. Nayla berharap Revan sudah tidur dan tidak akan meneleponnya lagi.
Setelah benda pipih hitam itu menyala, ibu jari Nayla pun bergerak cepat di atas layar untuk mengetik sebuah pesan.
{Van, aku minta maaf padamu. Mulai sekarang kita tidak usah saling berhubungan lagi. Karena hari ini aku telah resmi menjadi milik orang lain.
Aku sudah menikah, Van. Maafkan aku.
Mulai sekarang lupakanlah aku dan lanjutkanlah hidupmu. Aku ingin kau meraih mimpimu menjadi arsitek yang hebat di Amerika. Semoga berhasil, Van. Selamat tinggal ....}
Nayla segera mengirimkan pesan itu kepada Revan. Setelah terkirim, ia langsung memblokir nomor laki-laki itu dan menutup semua akun sosial medianya. Walaupun berat, mulai sekarang ia harus menghilang dari hidup Revan dan melupakan kekasihnya itu untuk selama-lamanya. Ia juga akan mengganti nomor ponselnya dengan yang baru agar Revan tidak bisa menghubunginya lagi.
***
Sore itu cuaca cukup cerah. Sang surya mengintip malu-malu dari balik gumpalan awan putih. Angin pun berembus pelan, mengiringi langkah Abyan dan seluruh anggota keluarganya menuju tempat peristirahatan terakhir Aleya.
Nayla sengaja membawa Airin yang saat itu baru berusia satu minggu. Ia ingin mempertemukan bayi mungil itu dengan ibu kandungnya. Sementara Bu Saida, Mama Mayang, dan Rea tampak membawa karangan bunga yang indah dan berwarna-warni untuk dihadiahkan kepada Aleya.
Setelah meletakkan karangan bunga itu di atas makam Aleya, semua orang pun menengadahkan kedua tangannya ke atas dan berdoa agar arwah Aleya tenang di alam sana.
Mbak Aleya, aku datang membawa Airin, Mbak, putri yang telah engkau lahirkan dengan susah payah. Nayla membatin sambil berdiri menatap gundukan tanah merah di hadapannya dengan mata yang berkaca-kaca.
Mbak Aleya pasti bahagia ‘kan di alam sana? Aku sudah memenuhi permintaan terakhir Embak. Hari ini aku sudah resmi menjadi istri Mas Abyan dan ibu untuk Airin. Walaupun untuk itu aku harus mengorbankan impian, cita-cita, dan kebahagiaanku sendiri. Aku juga telah menghancurkan hati seorang pria yang sangat aku cintai.
Bulir bening pun mengalir dari pelupuk mata Nayla tanpa bisa dicegah. Saat itu perasaannya bercampur aduk. Di satu sisi ia merasa lega karena bisa memenuhi permintaan terakhir kakaknya. Namun, di sisi lain, hatinya benar-benar sakit karena telah mengkhianati cinta dan kepercayaan Revan.
Melihat Nayla meneteskan air mata, Bu Saida pun merangkul bahu putrinya itu dan mengusap-usapnya dengan lembut. Dalam hati ia berdoa kepada Allah untuk kebahagiaan Nayla, Abyan, dan juga cucunya, Airin.
Aleya ... aku datang lagi untuk menjengukmu. Abyan membatin sambil duduk bersila di samping makam istrinya.
Sejak Aleya meninggal, saban hari pria itu datang ke makam istrinya dan menghabiskan waktu selama berjam-jam di sana. Sudah satu minggu ia tidak pergi ke kantor. Semua pekerjaan ia limpahkan kepada Vino dan sekretaris pribadinya. Sedangkan untuk urusan pernikahannya dengan Nayla, ia serahkan sepenuhnya kepada kedua orang tuanya.
Aleya ... hari ini putri kita sudah semakin besar. Dia sangat cantik. Wajahnya mirip sekali denganmu. Seandainya kamu masih hidup, pasti kamu akan sangat bahagia melihatnya. Bola mata Abyan mulai berembun.
Hari ini aku sudah memenuhi permintaanmu untuk menikahi Nayla. Tapi asal kau tahu Aleya, aku melakukan semua ini hanya demi Airin. Karena sampai kapan pun hanya kaulah satu-satunya wanita yang aku cintai. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisimu di hatiku.
Hampir setengah jam mereka menghabiskan waktu di makam Aleya tanpa bersuara. Suasana begitu hening. Seolah mereka terhanyut dalam pikiran masing-masing. Airin pun sejak tadi hanya diam dalam gendongan Nayla.
Saat langit mulai mendung dan angin mulai bertiup kencang, Papa Angga pun mengajak mereka semua untuk pulang.
***
Malam ini adalah malam terakhir Pak Hasan dan Bu Saida berada di Jakarta. Karena besok pagi mereka sudah harus kembali ke Yogyakarta. Begitu pula dengan Papa Angga, Mama Mayang, dan Rea yang akan kembali ke Bogor. Setelah satu minggu berkabung, sudah saatnya mereka kembali beraktivitas seperti biasa.
Setelah menghabiskan makan malamnya, Abyan memilih untuk naik ke lantai atas dan mengurung diri di kamar. Itulah yang selalu ia lakukan semenjak Aleya pergi. Pria itu seperti kehilangan semangat hidupnya. Semua orang hanya bisa mendoakan, semoga Abyan bisa secepatnya move on dari Aleya dan membuka hatinya untuk Nayla.
“Nay, karena sekarang kamu sudah resmi menjadi istrinya Abyan, mulai sekarang kamu pindah saja ke kamarnya!” titah Mama Mayang saat mereka semua sedang duduk berkumpul di ruang keluarga sambil minum teh. Kebetulan saat itu Airin sudah tidur di kamar tamu.
Deg! Jantung Nayla tiba-tiba berdesir kencang. Ia tidak dapat membayangkan kalau malam ini ia harus tidur satu kamar dengan Abyan, laki-laki yang dulunya adalah kakak iparnya dan sangat ia hormati.
“Iya Kakak Ipar, kamu pindah saja ke kamarnya Kak Abyan. Ajak Airin sekalian!” imbuh Rea setelah menyesap tehnya.
“Emh ... Nayla ... Nayla tidur di kamar tamu saja Ma, Rea. Nayla takut mengganggu Mas Abyan. Dia ‘kan masih berduka,” sahutnya dengan gugup.
Bu Saida pun menimpali, “Nay, Bu Mayang dan Nak Rea benar. Sekarang ‘kan kamu sudah jadi istri Nak Abyan. Kamu harus berbakti pada suamimu. Pergilah. Bawa Airin bersamamu.”
“Tapi Bu ....” Nayla tidak menyangka kalau ibunya malah mendukung Mama Mayang dan Rea. Bukankah seharusnya wanita itu membelanya?
Pandangan Nayla pun teralih ke arah ayahnya dan Papa Angga. Seolah ia meminta pembelaan dari mereka.
“Pergilah, Nak!” titah Pak Hasan. Sementara Papa Angga hanya bergeming.
Nayla semakin terpojok. Ternyata tidak ada seorang pun yang mau membelanya. Ia pun terpaksa bangkit dan memenuhi perintah mereka.
Nayla memasuki kamarnya. Sekilas ia melirik ke arah jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu pandangannya teralih ke arah Airin yang tertidur pulas di atas ranjang dengan kain bedung bermotif binatang yang membalut tubuh mungilnya. Di jam-jam seperti ini, Airin memang sangat anteng. Namun, saat tengah malam, bayi itu akan terbangun dan menangis dengan kencang karena kehausan. Nayla sudah sangat hafal karena sudah satu minggu ia tidur bersamanya. Nayla mengambil tas perlengkapan bayi, lalu memasukkan semua pakaian Airin, popok, susu formula, dan perlengkapan bayi lainnya. Setelah semuanya beres, ia pun menggendong Airin dengan hati-hati sekali agar bayi itu tidak kaget dan terbangun, kemudian mencangklongkan tas perlengkapan bayi tersebut di bahu kanannya. Dengan sebongkah keraguan dalam dada, Nayla beranjak keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terasa amat berat. Saat itu ia benar-benar takut kalau Abyan akan menolaknya mentah-mentah dan m
Nayla membuka mata saat suara tangisan Airin menusuk gendang telinganya. Ia pun beringsut bangun. Dengan cepat kedua tangannya membuka kain bedung yang membalut tubuh Airin, lalu mengecek popoknya. “Airin kenapa, Nay?” Suara Abyan membuat Nayla tersentak kaget. Tiba-tiba pria itu sudah berdiri tegak di sampingnya. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya. “Emh ... ini, Mas. Kayaknya popoknya penuh. Aku akan menggantinya,” sahut Nayla tanpa menoleh ke arah pria itu. Tangannya bergerak cepat merobek sisi kanan dan kiri popok Airin. “Mungkin dia haus,” tutur Abyan dengan panik saat tangisan Airin terdengar semakin kencang. “Iya, Mas. Apa Mas bisa menolongku untuk membuatkan susu?” tanya Nayla yang sudah berdiri untuk mengambil popok baru di dalam tas perlengkapan bayi. “Baiklah. Mana susunya?” Nayla pun mengeluarkan satu kotak susu formula, botol kecil, dan termos kecil dari dalam tas, lantas menyerahkannya kepada Abyan. Aby
Hidup Nayla selama ini terbilang sempurna di mata masyarakat. Segala yang ia inginkan bisa terpenuhi. Makanan lezat, pakaian branded, dan barang-barang mewah lainnya bisa ia dapatkan dengan mudah. Hanya dengan menggesek kartu ajaib yang Abyan berikan untuknya. Seolah-olah isi dalam kartu itu tidak ada habisnya. Lahirnya ia kelihatan bahagia. Namun, siapa sangka, kalau selama ini batinnya amat tersiksa. Mahligai yang terbina sejak tiga tahun yang lalu seolah-olah menjadi penjara emas yang membelenggunya, mengekang kebebasannya, dan membatasi ruang geraknya. Setiap hari Nayla hanya menghabiskan waktu di rumah untuk menjaga Airin. Sementara Abyan, dia hanya sibuk mengurus pekerjaannya di kantor. Abyan Raffasya adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Ia pemilik dari PT Raffasya Land, perusahaan properti terbesar di ibu kota. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan hotel, vila, perumahan, dan apartemen di kawasan Asia Tenggara meliputi Indonesia, Singapu
Toyota Fortuner putih tampak memasuki pintu gerbang utama. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai di rumah, Nayla hanya termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Airin kepadanya di meja makan tadi. Haruskah ia bicara pada Abyan dan memintanya untuk sedikit saja memberikan perhatian pada Airin? “Nyonya, kita sudah sampai.” Suara parau Pak Mahmud membuyarkan lamunan Nayla. Saking seriusnya melamun, ia tidak menyadari kalau mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah. “Eh iya, Pak. Sudah sampai ya?” “Sudah, Nyah.” Nayla segera turun dari mobil, lantas melangkah gontai memasuki rumah. “Sudah pulang, Nyah?” tanya Mbok Sum dengan ramah. Wanita paruh baya itu tengah membersihkan debu-debu yang menempel di perabotan rumah dengan kemoceng. “Sudah, Mbok,” jawab Nayla lirih. Ia pun meletakkan sling bag-nya di meja, lantas menjatuhkan tubuhnya duduk bersandar di sofa untuk melepas lelah. Ia terlihat muram. Sama se
Nayla melirik jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 09.55. Itu artinya lima menit lagi Airin akan keluar dari kelasnya. Nayla tampak berdiri menunggu di halaman sekolah bersama dengan orang tua lainnya yang juga sedang menjemput putra-putri mereka. Lima menit kemudian, terdengar bunyi bel yang menandakan kalau sekolah telah usai. Murid-murid tampak berhambur keluar dari kelasnya. Begitu melihat sosok Airin, Nayla pun melambaikan tangan kanannya sambil mengulum senyuman. “Mamaaa!” teriak Airin sambil berlari menyongsong ibunya. Nayla pun menekuk lutut dan menyambut tubuh kecil Airin ke dalam pelukannya. “Halo, Sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?” Airin pun mulai bercerita panjang lebar tentang apa saja yang diajarkan oleh gurunya hari itu. Nayla mendengarkan sambil menggandeng tangan kecil putrinya itu menuju tempat parkir. “Sayang, sebelum pulang bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mall dulu? Nanti Mama beliin es k
Abyan terkejut saat melihat semua makanan favoritnya tersaji di meja makan. Entah dari mana Nayla tahu semua makanan kesukaannya. Ah, mungkin Mbok Sum yang sudah memberi tahunya. Mereka berdua pun duduk berdampingan. Abyan diam saja saat Nayla mencidukkan nasi, sayur, dan lauk pauk ke dalam piringnya. Ia merasa de javu. Seolah-olah Aleya-lah yang sedang melayaninya. “Silakan dimakan, Mas!” seru Nayla karena pria di sampingnya itu masih tampak bergeming. “Eh, iya.” Lagi-lagi suara Nayla membuatnya sadar kalau wanita itu bukanlah Aleya. Ia kembali menghela napas panjang untuk menguasai dirinya. Kemudian ia meraih sendok dan mulai memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. Saat lidah Abyan menyentuh rendang daging buatan Nayla, ia merasa seolah-olah sedang memakan masakan Aleya. Rasanya benar-benar sama. Apa karena mereka sama-sama belajar dari Bu Saida? Abyan bertanya dalam hati. “Bagaimana, Mas? Enak?” Abyan
Karena tidak mengantar Airin ke sekolah, pagi itu Nayla bisa mengawali rutinitasnya untuk bersih-bersih rumah. Biasanya ia akan membersihkan semua kamar yang ada di lantai dua. Sementara Mbok Sum dan Pak Mahmud diberi jatah untuk membersihkan lantai bawah dan halaman. Usai membersihkan kamarnya dan kamar Airin, Nayla pun memasuki kamar Abyan yang memang tidak pernah dikunci. Di tangannya sudah ada sapu ijuk dan kemoceng yang siap digunakan untuk bersih-bersih. Sudah tiga tahun berlalu. Namun, tidak ada yang berubah di kamar itu. Semuanya masih sama. Foto pernikahan Abyan dan Aleya masih tergantung manis di dinding. Sementara foto pernikahannya hanya teronggok di gudang. Terlupakan dan terabaikan. Nayla selalu berpikir, apa ia begitu tidak berarti di mata suaminya? Apa janji suci yang pernah Abyan ucapkan di hadapan penghulu itu tidak ada artinya? Mata Nayla mulai terasa panas. Namun, ia berusaha keras untuk menahan bulir bening itu agar tidak jatuh ke pipi. S
Suasana ruang tamu itu terasa mencekam. Nayla yang duduk di sofa panjang, terlihat seperti pesalah yang siap dijatuhi hukuman. Kepalanya tertunduk. Sama sekali tidak berani menatap wajah pria yang berdiri tegak di hadapannya. “Apa kau sadar, kesalahan apa yang telah kau lakukan hari ini?” Suara tegas Abyan menggema ke seluruh ruangan. Manik hitamnya menyorot tajam ke arah wanita yang tengah memakai baju dan perhiasan milik mendiang istrinya. “Apa kau tidak dengar apa yang aku tanyakan?” Abyan meninggikan suaranya karena wanita yang duduk di hadapannya itu tidak juga menyahut. Jantung Nayla memompa semakin kencang. Ia meremas-remas tangannya yang gemetaran dan terasa dingin. “Aku ... aku minta maaf, Mas,” ucapnya dengan gugup. Masih dengan kepala tertunduk memandang lantai yang terbuat dari granit putih. “Bukankah aku sudah pernah bilang padamu, jangan bawa mobil sendirian! Kenapa kau masih nekat? Sekarang lihat apa akibatnya!” Abyan menghela n