Share

Menuntut Pertanggungjawaban

"Aku ... diceraikan Chiko. Katanya dia enggak mau nerima barang bekas," kata Bella sambil menunduk dan menyembunyikan wajahnya di antara rambutnya yang terurai. Malu. Air matanya terus mengalir deras.

"Biadab! Seenaknya mereka berkata itu pada putriku,” ucap sang papa.

George menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir dengan kelakuan keluarga yang sudah menjadi besannya itu.

"Tenanglah, Pa!" ucap Ana. Ia tak mau jika sampai terjadi yang tidak-tidak.

Ketika amarah George tak tertahankan, ia biasanya akan merusak beberapa barang di rumahnya. Ia juga akan melempar benda apa saja yang berada di dekatnya.

"Enggak bisa! Kita harus segera bertindak,” berang George.

"Sabar, Sayang! Kita tunggu aja besok. Kasihan Bella," ucap Ana sambil mengelus dada dan pundak suaminya.

George terdiam. Matanya sudah memerah. Namun, ia kembali menatap iba anak semata wayangnya yang malang itu.

“Bawa dia masuk!” suruh George sambil menjatuhkan kembali dirinya ke sofa dan menghela nafas panjang.

"Ayo, Nak! Mamah akan menemanimu tidur," ajak Ana memboyong putrinya yang sedang teramat sedih.

***

Pagi hari menyapa. Burung berkicau dan matahari menampakkan dirinya. Hari ini begitu cerah. Namun, hati Bella masih saja berselimut dengan kesedihan.

Bella tak mau bangun. Ana pun membiarkannya saja. “Dia pasti trauma,” pikirnya. Ia teramat mengkhawatirkan anaknya.

Di sinilah peran seorang ibu sangat dibutuhkan. Ana pun berusaha memberikan perhatian, kasih sayang dan pengertiannya. Ia segera menyuruh asisten rumah tangganya agar membuatkan sarapan untuk Bella. George kala itu sedang duduk sambil mengotak-atik ponselnya.

“Gimana Bella?” tanya George.

“Dia enggak mau bangun,” sahut Ana.

“Ya udah, kita aja yang berangkat ke rumah Hena.”

“Jangan! Nanti aja sama Bella. Kasihan dia, pasti belum siap ketemu mereka.”

“Terus, kapan? Masa mau marah harus ditunda-tunda?” George benar-benar sangat marah.

“Sabar, Sayang! Kita tunggu sampai Bella merasa tenang.” Ana membujuk suaminya agar mau mengerti dengan keadaan sang anak. Akhirnya George menuruti kemauan sang istri.

Seorang asisten rumah tangga membawakan makanan ke kamar Bella. Namun, Bella sama sekali tak menyentuhnya. Ia hanya menghabiskan harinya termenung di kamar sendirian. Dua sampai tiga hari Bella masih seperti itu dan membuat kedua orang tuanya sangat cemas.

“Si Hena bahkan enggak mau datang ke sini.” George berdiri di bibir pintu sambil mengepalkan kedua tangannya.

Jika tidak ditahan oleh istrinya, George rasanya ingin sekali datang ke rumah Hena dan menghajar Chiko. Saat ini ia merasa harga dirinya sedang diinjak-injak. Bahkan, Hena sendiri tidak berani datang sebagai tanda itikad baik.

"Aku kotor. Tidak suci ...!” teriak Bella yang tiba-tiba mengagetkan seisi penghuni rumah.

George dan Ana segera menghampiri kamar Bella. Akan tetapi, pintu kamar mandi itu terkunci dari dalam. Mereka berdua tak mampu berbuat banyak.

Bella berlari dan lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar mandi. Ia menangis di bawah guyuran air yang keluar dari shower. Bella bahkan menggosok-gosokkan sabun berulang kali. Ia berusaha menghapus noda yang ada pada dirinya. Ia sering mengamuk saat sabunnya habis.

Satu minggu sudah dilewati Bella dengan kesendiriannya di kamar. Mengurung diri saja. Ia hanya berteman sepi dan bersahabat kesedihan. Bermuram durja.

Setiap malam ia terbangun dan menjerit. Ia bermimpi seolah kejadian tempo hari itu terulang setiap hari. Sungguh menyiksa diri. Mimpi buruk yang teramat mengerikan.

George berusaha keras untuk membawa anaknya keluar dari kamar.

"Bella, yuk jalan-jalan ke luar sama Papa!" George mencoba menyentuh pundak Bella. Namun, secepat kilat Bella malah menepis tangan George dan bahkan sampai menggigitnya.

George terkejut. Akan tetapi ia tak menarik tangannya kembali. Ia merelakan tangannya berdarah karena ia pikir rasa sakitnya tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya melihat penderitaan sang anak.

Setelah puas, Bella pun melepaskan gigitan itu. Ia lalu memegang kepala dengan kedua tangannya. Tatapan matanya kosong. Tubuhnya seperti menggigil. Ia akan menjerit dan berteriak saat ada seorang pria yang menghampirinya, termasuk Papanya.

"Enggak. Pergi! Pergi! Aaaa ...!" Bella menarik-narik rambutnya sendiri.

George meneteskan air matanya. Ia segera pergi keluar sebelum Bella sampai menyakiti dirinya sendiri. Ana dan seorang asisten rumah tangganya segera masuk dan memberi Bella obat penenang.

Ana sering menangis tatkala mendengar teriakan anaknya yang menggema di telinga dan seolah mengiris tipis hatinya. Terluka.

Kemudian Bella pun tertidur. Ana menyelimuti tubuh anaknya yang mulai terlihat kurus itu. Ia pun lalu keluar dan menemui suaminya yang masih berada di depan kamar.

"Bi, tolong ambilkan kotak P3K!" titah Ana.

"Baik, Nyonya." Asisten rumah tangga itu pun pergi mengambilkan barang yang diminta Ana.

"Ayo, Pa!" Ana mengajak George untuk duduk di sofa di ruang tengah. George hanya menundukkan kepalanya.

Selang beberapa menit, asisten rumah tangga tadi datang membawa kotak P3K. Lalu Ana mengambil kapas yang sebelumnya diberi alkohol untuk membersihkan darah pada luka suaminya agar tidak sampai infeksi.

"Enggak usah diobatin! Ini enggak parah, kok!" ujar George.

"Diem!" suruh Ana dengan nada yang seperti membentak.

George sedikit terkejut karena sebelumnya ia tak pernah mendengar istrinya itu mengeluarkan nada tinggi dengan penuh penekanan seperti tadi. Namun, ia pun mengerti jika sang istri sepertinya sangat kelelahan mengurus Bella. George tidak bisa melawan istrinya.

"Pa, kita enggak bisa biarin dia kaya gitu terus," kata Ana sambil memberikan iodin pada luka bekas gigitan di tangan suaminya. Bulir bening membasahi pipi Ana.

"Jangan menangis! Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya George sambil menyeka air mata istrinya.

Berulang kali mereka memikirkan solusi untuk mengatasi trauma anaknya. Namun, selalu jalan buntu yang mereka temui.

"Kita bawa dia saja ke psikiater," ucap Ana.

George malah menatap aneh pada istrinya. "Enggak. Jangan! Anakku enggak gila."

"Tapi, Pa. Apa Papa enggak lihat, kondisinya malah semakin memburuk? Pokoknya aku akan membawanya ke psikiater." Ana bangkit dari duduknya.

Tangan George dengan spontan menahan pergerakan sang istri. Ana terdiam. Ia tak mengerti apa yang sedang dipikirkan suaminya.

"Tunggu! Jangan bawa dia ke sana. Kau bawa saja psikiater itu ke rumah kita. Mengertilah! Aku ini seorang pimpinan perusahaan besar, aku tidak mau Bella sampai menjadi bahan perbincangan para bawahanku," tutur George.

Gengsi dan takut kehilangan pamor George yang selalu menghalangi pengobatan Bella. Ia merasa malu mempunyai anak yang menjadi seorang korban pelecehan hingga terganggu jiwanya.

"Iya." Ana pun mengangguk.

***

Keesokan harinya, Ana masuk ke kamar Bella bersama seorang psikiater wanita. Awalnya Bella melawan dan bahkan sempat mendorong psikiater itu.

Akan tetapi, sang psikiater begitu sabar dan berusaha terus untuk menenangkan Bella. Butuh waktu lama sampai Bella benar-benar mendapatkan kembali kepercayaan dirinya.

Dengan telaten, psikiater itu mengerjakan tugasnya. Bella pun perlahan mulai menerima keberadaannya. Nafsu makan Bella mulai meningkat hingga berat tubuhnya mulai kembali normal.

Secercah harapan datang, setelah sekitar satu bulan Bella mengurung diri, akhirnya ia mau diajak keluar. Meskipun hanya sekedar duduk di taman sambil merasakan semilir angin. Bella juga perlahan mulai membuka dinding penghalang antara dirinya dengan para pria terutama dengan sang papa.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi pada Bella. Ia berlari keluar-masuk kamar mandi.

"Perutku mual," katanya.

Bella merasa mual dan mengeluarkan isi perutnya. Hanya cairan berasa asam dan pahit.

Ana memijat tengkuk anaknya. Ia mulai khawatir dengan apa yang telah terjadi pada Bella. Ana dan sang Psikiater saling menatap. Lalu Ana menyuruh asisten rumah tangganya untuk membeli alat tes kehamilan. Sementara itu, George hanya bisa menunggu di luar sambil menguping percakapan mereka.

Awalnya Bella menolak untuk memakai alat tersebut. Namun, setelah ia berpikir cukup lama, ia pun menuruti perintah Ana. Ia pergi ke kamar mandi dan mencoba alat itu.

“Aaa ...!” teriak Bella.

Ana dan Psikiater itu segera berlari dan masuk ke dalam. Mereka melihat Bella sedang terduduk di sudut tembok. Alat itu tergeletak di lantai dan Ana pun segera mengambilnya.

Mata Ana terbelalak. Apa yang ditakutkannya pun terjadi. Dua garis biru terpampang nyata di sana. Ia lalu menghampiri Bella dan memeluk anaknya itu. Menangis bersama.

“Aku enggak mau punya anak,” kata Bella. Matanya semakin sembab. Apalagi ia kini kembali menangis. Hati Ana terasa tersayat-sayat melihat nasib anaknya.

“Benih haram ini harus mati sekarang juga,” kata Bella sambil mengepalkan kedua tangan dan memukuli perutnya.

Sang Psikiater segera bertindak. Ia menahan tangan Bella agar tak menyakiti dirinya sendiri. “Sadarlah! Sadar! Kamu enggak boleh nyakitin nyawa yang enggak berdosa!”

“Aku enggak mau. Aku enggak sudi mengandung anak ini,” kata Bella. Tangisnya tumpah ruah di sana.

Bella mengacak-acak rambutnya. Ia seperti seseorang yang telah hilang akal sehatnya. Kakinya dientak-entakkan ke lantai basah. Berulang kali ia mengusap wajahnya kasar.

Kemudian ia tarik shower yang menggantung dan segera menyiram tubuhnya. Frustrasi. Air matanya bercampur dengan air yang keluar dari shower.

Ana berusaha menahannya berulang kali. Hingga Bella pun melemah dan terduduk lemas.

“Udah! Jangan kaya gini!” Ana memeluk lagi Bella.

Seorang asisten rumah tangga yang menyaksikan kejadian itu langsung segera membantu. Dengan bantuan sang Psikiater juga, mereka pun memboyong Bella ke kamar karena di kamar mandi sangat dingin.

Setelah mengganti pakaian anaknya, Ana kemudian membaringkan tubuh lemah Bella di kasur. Tak lupa selimut pun ditariknya. Bella yang kelelahan pun tertidur.

“Bersabarlah, Nak!” ucap Ana sambil mengecup puncak kepala anaknya.

Sang Psikiater memegang erat kedua pundak Ana. Mencoba menguatkan diri sang Mama. George membuka pintu dan mengintip dengan mata sedihnya.

“Tuhan ... kenapa Engkau menguji anak hamba dengan cobaan yang berat seperti ini? Tuhan ... hamba harap, semoga setelah ini akan ada kebahagiaan baginya.” Hati Ana menjerit.

***

Tepat pukul delapan pagi, George sudah bersiap. Selain berpakaian rapi, ia pun sudah mempersiapkan amarahnya yang akan meledak. George menyewa beberapa bodyguard untuk mengawal keluarganya.

"Kamu yakin mau ikut, Sayang?" tanya Ana.

"Iya, Ma.” Bella mencoba tegar. Ia memegang tangan Mamanya dengan erat.

Semua perkataan dan masukan sang Psikiater mampu membuat pikiran Bella sadar. Ia yakin dengan keputusannya demi anak yang sedang dikandungnya.

Mobil melaju dengan cepat karena George sudah tak sabar ingin segera memberi perhitungan kepada keluarga Chiko.

Sesampainya di sana, salah seorang bodyguard dengan sengaja menendang pintu agar terbuka.

Brak!

Suara pintu yang membentur tembok membuat semua orang yang berada di dalam terkejut. Kala itu mereka sedang menikmati sarapannya.

"Hena!" teriak George dengan suara yang begitu menggelegar. Ia mengangguk kepada para bodyguard-nya seakan memberi isyarat untuk menangkap ketiga orang yang sedang menatap aneh di meja makan tersebut.

Para bodyguard menangkap Hena, Chiko dan Criss. Mereka membuat ketiganya agar berlutut di hadapan keluarga George. Keluarga Hena tak memberi perlawanan.

"Tuan, maafkan kami ....” Hena memohon. Ia menangkup kedua tangannya, berharap belas kasih.

"Tidak semudah itu, Hena!" teriak George sambil melempar guci antik yang ia ambil tepat berada di sampingnya.

Brak!

Hena menjerit. Sementara itu, Ana masih berpegangan erat dengan Bella. Pecahan guci pun bertebaran di lantai. Beberapa pecahannya mengenai tangan Hena. Menggores sampai mengeluarkan zat merah yang segar dan berbau khas.

"Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Hena dengan ketakutan yang teramat sangat. Ia sampai tak berani menatap besannya. Rasa sakit akibat goresan pecahan guci sama sekali tak ia hiraukan.

"Anakku hamil," kata George dengan lantangnya.

"Hamil?" ulang Ibu dan kedua anaknya yang sedang berlutut itu.

Sejenak hening. Chiko menatap Bella. Suasana tampak tegang kala itu. Semua orang seakan merapatkan bibir mereka masing-masing. 

"Biar aku ... biar aku yang bertanggung jawab," teriak Criss memecah keheningan. Pria bertato itu mengepalkan tangan di atas lututnya. Ia terlihat sangat yakin dengan keputusannya.

George melirik anaknya. Bella hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Enggak. Aku enggak mau nikah sama berandalan," ucap Bella.

"Bella ... anak itu sekarang butuh Ayah," bisik Ana.

"Tapi ...," ucap Bella tak selesai. Ia menangis.

"Chiko! Kamu yang harus bertanggungjawab!" kata George yang tak menghiraukan perkataan Criss.

"Maaf, Tuan. Baru kemarin saya menjatuhkan talak padanya.” Chiko tak bisa apa-apa.

“Kalian bisa rujuk,” ucap George. Bella sebenarnya masih berharap pada Chiko, tapi dilihatnya Chiko malah menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bella ...," panggil Chiko.

Bella mengangkat wajahnya dan menatap lurus pada Chiko. Ia menaruh harapan besar pada suaminya agar bisa menerima dan kembali menjalani bahtera rumah tangganya yang baru seumur jagung.

"Menikahlah dengan Criss!" sambung Chiko.

Bagai disambar petir siang bolong. Bella sangat terkejut dengan keputusan suaminya. Ia meremas pakaiannya kuat-kuat. Menahan sesak di dada.

“Chiko ...,” sebut Bella. Lututnya melemas hingga ia harus berpegangan kuat pada tembok.

"Turun ranjang maksudmu?" George tak mengerti apa maksud dari menantunya yang tidak bisa diandalkan itu.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status