Share

Foto Pernikahan

Bab 5

"Turun ranjang maksudmu?" George tak mengerti apa maksud dari menantunya yang tidak bisa diandalkan itu.

George melipat tangan di dada. Ia berpikir keras. "Itu memang bisa dilakukan jika kamu sudah tiada. Sudah mati,” tambahnya.

"Ya, anggap saja saya sudah mati," ucap Chiko. Ia berdiri dan sama sekali tak menghormati keberadaan orang tua Bella. Lalu ia pergi sambil mengangkat tangannya.

"Chiko ...," sebut Bella. Ia memanggil nama suaminya.

Bella sangat kecewa pada Chiko yang tidak mau memperjuangkan bahtera rumah tangganya.

"Enggak ada pilihan lain, Sayang. Menikahlah dengan Criss!" ucap George. Ia tak memaksa Chiko karena ia pun sudah sangat kecewa terhadapnya.

George segera menarik kerah baju Criss. Namun, Criss tak menampakkan rasa takut. Ia menatap tajam orang yang akan menjadi mertuanya.

“Aku akan menyerahkan anakku padamu. Tapi, jika kau membuat kesalahan dan membuat anakku bersedih seperti perlakuan Kakakmu, aku tak segan-segan akan menjebloskanmu ke penjara menyusul Ayah tirimu! Camkan itu!” ancam George. Ia lalu melepas cengkeramannya dan mengempaskan Criss ke lantai.

Bella menumpahkan air matanya lagi. "Kenapa aku harus menikah dengannya? Hatiku masih mengharapkan Chiko," batinnya meraung-raung.

***

Tak menunggu waktu lama, dua hari setelah perundingan itu, mereka pun mengadakan pesta pernikahan.

Raut wajah Bella tak mencerminkan sebagai pengantin yang bahagia. Dari pagi ia hanya cemberut dan tak mau memandang Criss.

Pernikahan yang dilakukan secara terpaksa ini sungguh sangat menyiksa batin Bella. Namun, kembali lagi, ia membutuhkan seorang ayah untuk anaknya. Ia tak mau jika sampai anaknya nanti menjadi bahan ejekan dan cemoohan teman-temannya karena tidak mempunyai seorang ayah.

Criss sudah mempersiapkan segalanya. Ia bahkan sudah menyiapkan rumah untuk hidup berdua dengan Bella karena tidak mungkin jika Bella tinggal di rumah Hena. Criss takut jika Bella dihantui rasa trauma.

"Kenapa kita enggak tinggal di rumah Papa aja?" tanya Bella yang baru mengeluarkan suaranya.

"Enggak. Kita harus belajar mandiri," sahut Criss yang sedang menyeret koper milik Bella.

Criss terus berjalan menuju ke sebuah ruangan. Bella mengekor di belakang dengan langkah malasnya. Mereka masuk ke dalam kamar.

"Aku enggak mau tinggal di sini.” Bella mengerucutkan bibirnya.

Criss menaruh koper Bella di dekat lemari. Tak lupa ia pun menyerahkan kunci kamar itu pada istrinya.

"Terserah," ucap Criss. Lalu ia keluar meninggalkan Bella sendirian di kamar.

Brak!

Bella membanting lampu tidur di sana. Lalu ia pun luruh di lantai dan menangis. "Kenapa Papah malah menikahkanku dengannya? Aku ... pasti enggak akan pernah bahagia." Ia lalu merayap menuju tempat tidur dan bersandar di sana sambil tak henti-hentinya menangis.

Bella meratapi nasibnya yang malang. Ia kemudian duduk di atas kasur sambil menenggelamkan kepala di antara kedua lututnya. Ia memegangi perutnya yang masih rata.

Criss dan Bella tidur di kamar yang berbeda. Criss tak mau memaksakan karena ia mengerti jika Bella masih butuh waktu untuk menerima kenyataan hidupnya yang rumit.

Namun, sebisa mungkin Criss mencoba agar Bella mau menerimanya. Pagi hari kini Criss berada di dapur. Memasak nasi goreng.

"Ka-kau bisa memasak?" tanya Bella yang menghirup aroma sedap hingga membuat tangisannya berhenti karena ia saat itu amat sangat kelaparan.

Criss menatap Bella yang masih dengan mata sembabnya itu. Criss agak ragu untuk memulai percakapan. Ia takut jika semua perkataannya akan menyakiti istrinya.

"Cobalah!" suruh Criss. Ia memasang senyum termanisnya.

"Enggak mau, pasti enggak enak," tolak Bella.

"Ya udah, terserah.” Criss menyuapi dirinya sendiri. "Yakin enggak mau?"

Criss menggoda Bella. Ia selalu ingat, jika seseorang sedang bersedih maka seseorang harus menghiburnya. Inilah kesempatan Criss untuk mulai mencoba mendekati Bella.

"Ya udah, sini!" ucap Bella yang tidak bisa menahan rasa laparnya lagi. Criss menyodorkan piring dan sendok bekasnya tadi.

"Be-bekasmu?" Bella agak jijik.

"Mau, enggak?" Criss mulai emosi.

Padahal dalam hatinya ia senang karena Bella mulai mau bercakap-cakap dengannya.

"Iya. Bawel!” gerutu Bella.

Dengan lahap ia memakan nasi goreng itu. Entah kenapa, ia merasa jika makanan buatan Criss tersebut sangat enak. Criss hanya menatap Bella.

"I-ini bawaan hamil," ucap Bella saat menyadari jika Criss sedari tadi memperhatikannya.

Criss menahan tawanya dan berpura-pura sibuk merapikan tata letak saus dan kecap di atas meja. Lalu ia merapikan penampilannya. Menaikkan sedikit posisi dasi hitam yang dipakainya dan kemudian menggunakan arloji berwarna kuning keemasan itu. 

"Ehem! Aku harus pergi ke kantor," ucap Criss malu-malu.

Bella menatap aneh pada Criss. "Ka-kau bekerja?" Ia terkejut.

"Lalu ... nanti dari mana kau bisa makan?" Criss menggoda Bella. Ia mencolek dagu istrinya.

"Ih, apa, sih?!” Bella menepis tangan suaminya. “Baguslah! Harusnya udah dari dulu. Akhirnya aku yang hanya bisa menyadarkanmu.”

"Terserah! Hati-hati di rumah," kata Criss.

"Terserah.” Bella menjulurkan lidahnya meledek.

Beberapa menit setelah Criss pergi, lalu terdengar suara bel yang ditekan.

"Tamu? Masa baru pindah langsung dapat tamu? Mengganggu saja,” dengkus Bella sambil menaruh sendok ke atas piring yang tinggal berisi setengah nasi goreng.

Bella berjalan dan mengintip terlebih dahulu. Ada seorang pria bertopi di luar. Sepertinya ia sama sekali tak mengenal orang itu.

"Siapa?" tanya Bella sambil sedikit membuka pintu. Ia masih sedikit takut menghadapi seorang pria apalagi orang itu adalah orang asing.

"Apa benar ini rumah dengan atas nama Tuan Cristhoper?"

"Eh, iya." Bella mengangguk.

"Jadi ... barangnya mau ditempel di mana?" tanya pria bertopi itu.

"Barang?" ulang Bella. Ia tak mengerti apa yang dimaksud pria itu.

"Maksud saya foto," sahut pria yang ternyata adalah petugas dari fotografer pernikahannya kemarin. 

Bella bingung karena Criss sebelumnya tak berkata jika akan ada yang datang untuk memasang foto pernikahannya. Mau tidak mau, akhirnya ia pun mengizinkan pria itu masuk.

"Oh ... mmm, masuk saja dulu! Sekalian pilih tempat yang cocok," kata Bella.

Bella masih berdiri sambil memegang pintu. Takut jika terjadi hal yang buruk. Ia sudah bersiap akan lari jika ada yang menyentuhnya saat itu juga.

"Terima kasih, Nona."

Foto pernikahan yang cukup besar itu dibawa masuk. Para petugas mencari dan memilih posisi paling bagus di rumah baru Bella. Akhirnya foto itu pun ditempel di dinding ruang tamu.

"Ah, apa tidak terlalu berlebihan?" Bella mengusap tengkuknya yang mulai terasa dingin karena terpaan angin. Cuaca kala itu memang agak sedikit tidak mendukung. Awan hitam seakan sudah bersiap untuk menurunkan bermilyar-milyar air hujan.

"Maaf, Nona. Kami pamit karena tugas kami sudah selesai," ucap pria bertopi tadi.

"Ah, iya. Terima kasih." Bella segera menutup dan mengunci pintu.

Lalu ia menatap tajam foto itu. Semakin lama, semakin tubuhnya merinding karena yang ia lihat wajah Criss berubah menjadi wajah Chiko.

Jedar!

Petir menyambar dan membuatnya tersentak. Jantungnya seakan mau copot. Ia tak berani menatap foto itu lagi dan malah berlari ke kamarnya.

Bella menutup pintu kamar dan bersandarlah ia di sana. "Seandainya dia enggak mengacuhkanku, mungkin aku sudah bahagia bersamanya.”

Baru saja ia hendak duduk di ranjangnya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu.

"Siapa lagi? Kapan aku bakal dapat ketenangan? Huft!" keluhnya.

Bella tak mau diganggu dan ia tak menghiraukan suara ketukan pintu itu. Akan tetapi, suara ketukan pintu itu semakin lama malah semakin keras terdengar.

“Duh, siapa, sih?! Enggak sabaran banget!” gerutunya.

Dengan berjalan terburu-buru, ia pun memegang gagang pintu. Ia sampai lupa untuk mengintipnya terlebih dahulu dari jendela.

Ceklek!

Saat pintu dibuka, begitu terkejutnya ia mendapati sosok yang sedang dipikirkannya.

"Chiko?"

"Hai!" Chiko melambaikan tangan sambil tersenyum.

Bella tak percaya dengan kehadiran Chiko. Ia terus menggosok-gosok matanya. Chiko masih memasang senyumnya di sana.

"Suamimu udah pergi?" tanya Chiko.

"U-udah," jawab Bella dengan terbata-bata. Ia sangat gugup. Tak ayal, senyum Chiko selalu membuatnya salah tingkah.

"Jangan salah paham! Aku datang kemari cuman pengen ngasih ini.” Chiko memberikan sebuah berkas dengan map kepada Bella.

Berkas itu di terima Bella dengan tangannya yang gemetar. Perlahan ia buka dan baca tulisan apa yang tertera di sana.

"Akta cerai," ucap Bella. Rasanya ia ingin menangis mendapatkan surat tersebut.

"Ya. Rasanya kurang sopan jika menitipkannya pada orang lain,” kata Chiko.

Bella menatap sang mantan suami dengan mata yang berbinar. Hatinya sungguh masih tak bisa melepas Chiko. Ia sangat berharap jika ada keajaiban untuk mengubah hati Chiko yang sekeras batu itu. Bella tak mengerti kenapa hatinya tak bisa melupakan Chiko setelah perlakuan kasar yang telah diterimanya dulu.

"Mmm ... jadi, apa enggak akan pernah ada kesempatan buatku?" tanyanya. "Kenapa kamu sangat membenciku?" selidiknya.

"Udahlah, jangan ngarep!” Chiko melipat tangan di dada. “Tapi ... kalau aku boleh tahu, kenapa kamu sangat mencintaiku?"

Bella menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entahlah. Tapi ... hatiku selalu menginginkan keberadaanmu di sisiku," katanya.

"Benarkah?" Chiko tak percaya.

Bella mengangguk. Chiko perlahan mendekatkan wajahnya dan mendaratkan bibirnya. Jantung Bella berdegup kencang. Rasa senang, takut dan sedih berkecamuk di dalam hatinya. Chiko memperdalam pautannya. Ia bahkan sampai menutup mata seakan merasakan kerinduan yang begitu dalam.

"Kenapa?" tanya Bella sesaat setelah terputusnya pautan itu.

"Enggak. Udahlah, aku pamit," kata Chiko.

"Apa kamu enggak bisa jujur dengan perasaanmu?" teriak Bella. Chiko tak menggubris pertanyaan Bella. Ia menutup pintu dan langsung pergi dengan mobil sport-nya yang mahal.

Bella masih berdiri mematung di bibir pintu. Ia meremas pakaiannya dengan kuat. "Jangan siksa aku seperti ini! Apa maksudmu sebenarnya?"

***

Chiko melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia menutup matanya yang berkaca-kaca dengan kaca mata hitam.

Drrt! Drrt! Drrt!

Suara getar ponsel mengalihkan perhatiannya yang fokus pada jalanan. Chiko lalu meraih ponselnya yang berada di jok mobil. Ternyata pesan tersebut dikirim oleh Criss.

“Kamu di mana? Meeting bentar lagi mau dimulai.”

Begitulah kira-kira isi pesan tersebut. Hari ini adalah hari yang sangat penting. Status Chiko sebagai Wakil Direktur sedang dipertaruhkan. Ia yang kehilangan Bella akan secara otomatis turun jabatan. Akan tetapi, ia berharap Criss tak sampai melakukan itu.

Rapat dimulai sesaat setelah kedatangan Chiko. Ia tak bisa berbuat apa-apa ketika George menunjuk Criss sebagai Wakil Direktur baru yang menggantikannya.

“Apa dia bakal nerima jabatan itu?” pikir Chiko cemas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status