Joylin tersentak kebelakang mendengar suara tembakan itu lalu menatap ke arah Erico sebelum akhirnya berlutut untuk mengecek kondisi pria itu. "Meninggal," batin Joylin dengan mata yang membelalak setelah memeriksa denyut nadi orang itu. Gadis itu menggeleng pelan, sorot matanya suram.
Tak ada denyut nadi. Melihat isyarat Joylin, Jayden seolah tak percaya. Padahal tinggal sedikit lagi dan sebuah fakta akan terkuak. Hal itu menyulut amarah Jayden. “Sial! Apa yang baru saja kau lakukan?! Kita hampir mengetahui siapa pengkhianatnya!” bentak Jayden menarik kerah baju Erico. Urat di dahinya cukup untuk menjelaskan seberapa murka dirinya saat ini. “Kalian terlalu membuang-buang waktu!” bentak Erico dengan pistol yang masih berasap di genggamannya melepaskan genggaman Jayden dengan kasar, lalu berjalan dengan santai menuju mobil. Jayden mengepalkan tinjunya dengan Erat hingga urat di tangannya timbul karena kejadian barusan. Baginya, tindakan Erico sangat mencurigakan. “Bedebah sialan! Apa sebenarnya yang kau khawatirkan?” batin Joylin melirik ke arah pria yang tertembak lalu menatap tajam ke arah Erico yang bersikap santai. Mereka bertiga kembali ke mobil dengan kesal, kecuali Erico yang bersikap seolah tidak ada sesuatu yang salah disini. “Bagaimana kalau setelah ini kita pergi berkencan, Joy?” tanya Erico memecah hening di mobil itu. “Jangan bermimpi,” balas Joylin singkat sambil melihat langit malam yang indah bertaburkan bintang-bintang dari jendela mobil. Erico tertawa kecil, “Baru kali ini ada wanita yang menolak ajakanku,” ujar Erico melirik ke arah Joylin melalui spion. Sesampainya di markas, mereka bertiga langsung menuju ke ruangan Edric untuk memberikan laporan. Hentakan dari sepatu mereka memecah keheningan dari koridor itu. Kini ketiga agen itu tiba di sebuah ruangan yang terkesan minimalis. Ruangan itu bersih dengan dominasi warna navy dan putih tak lupa dengan tanaman yang membuat ruangan tampak lebih segar. Namun, dibalik ruangan yang terlihat nyaman itu ada aura yang menekan siapapun yang masuk ke dalamnya. “Bagaimana? Apa kalian berhasil mendapatkan informasi? Jangan membuatku buang-buang waktu dengan informasi tidak berguna,” ucap Edric selaku Direktur dari NOX. Joylin menelan ludahnya dengan kasar, “Kami berhasil membawa dokumen itu kembali, Direktur,” balas Joylin sambil menyerahkan amplop berwarna coklat di tangannya. Wajah Edric terlihat sangat puas dengan kinerja mereka. “Seseorang dari kita telah menjual dokumen ini pada mereka,” lanjut Joylin tanpa ragu memberikan informasi. “Lalu? Kalian berhasil mengetahui pengkhianatnya?” tanya pria tua itu melemparkan tatapannya yang tajam pada tiga orang dihadapannya. Tatapan yang mengisyaratkan kalau ia tidak akan membiarkan ini begitu saja. “Tidak, Direktur. Erico menembaknya dan membuatnya terbunuh sebelum mengatakan yang sebenarnya,” ujar Jayden mengepal tinjunya dengan kuat berusaha menahan agar amarahnya tidak meledak di ruangan itu. “Mereka terlalu lama, Direktur,” ucap Erico dengan nada santai. “Aku hanya mempersingkat waktu saja,” lanjutnya dengan wajah yang tenang seolah tak melakukan sesuatu yang salah. Edric mengambil sebatang rokok dan membakarnya. Wajahnya tampak tak senang dengan apa yang baru saja ia dengar. “Aku belum mengizinkanmu untuk berbicara, Erico,” ujar Edric sambil menghembuskan asap dari mulutnya. "Baiklah, kalian boleh pergi. Aku yang akan mengurus sisanya,” lanjutnya lagi masih dengan sebatang rokok yang terselip di jemarinya. Setelah semuanya selesai, Jayden dan Joylin memutuskan untuk pulang ke apartemen mereka. Karena tak ingin terus merepotkan Nathan dan Sarah, mereka memutuskan untuk membeli apartemen dari tabungan orang tua mereka. Hana dan Ethan merupakan agen Elite yang sudah mengabdi cukup lama pada NOX sebelum mereka meninggal. Tabungan yang ditinggalkan untuk kakak beradik memiliki jumlah yang besar sehingga lebih dari cukup untuk mereka yang memiliki gaya hidup sederhana. “Selamat malam, Tuan Jay, Nona Joy. Lembur lagi seperti biasa?” tanya satpam apartemen mereka. Jayden sudah menyiapkan kopi seperti biasa untuk diberikan kepada para satpam. “Kopi? Wah! Terima kasih banyak. Kali ini juga dibawakan, haha!” lanjutnya sambil tertawa bahagia menerima kopi dari Jayden. “Kebetulan coffee shop langgananku masih buka jam segini. Kami permisi dulu,” balas Jayden sedikit berbasa-basi lalu pamit. Joylin masih bingung kenapa Kakaknya selalu mentraktir kopi para satpam. “Dengan cara itu kita bisa membangun kepercayaan dari satpam agar mereka tidak curiga kita sering keluar-masuk di jam-jam aneh,” sahut Jayden tiba-tiba seperti mengetahui isi pikiran Joylin. "Ternyata kau jenius juga, Jay," ujar Joylin terkesan sambil menyikut lengan saudaranya. Cara ini bahkan tidak pernah terpikirkan olehnya. Sementara itu Edric masih duduk di kantornya sambil mengisap sebatang rokok. Ditengah lamunannya, ia dikejutkan dengan suara ketukkan pintu. Pria tua itu memberikan izin untuk masuk, “Dokumen yang anda minta sudah siap, Direktur,” ucap seseorang yang membawa sebuah dokumen untuk diperlihatkan. Wajahnya tampak puas dengan senyuman yang merekah setelah membaca dokumen hasil tes DNA milik Jayden dan Joylin. Matanya menelusuri setiap detail yang ada dalam dokumen itu hingga menemukan kesimpulan yang tidak dapat dibantah bahwa mereka berdua adalah anak dari Hana dan Ethan. “Terima kasih, kau boleh pergi. ini imbalan mu,” ucap Edric memberikan beberapa ribu dolar pada pria itu. Pria itu kemudian keluar dari ruang Edric dengan senyuman yang merekah setelah menerima bayaran. “Hah. Kalian bersusah payah menyembunyikan mereka, tapi kedua anak bodoh ini malah muncul ke permukaan dengan sendirinya,” dengus Edric menyeringai sambil menggelengkan kepalanya. "Aku akan mempertemukan kalian lagi," gumam Edric meraih korek api yang berada tak jauh darinya. "Tapi sebelum itu, mereka akan menjadi pion ku terlebih dahulu untuk operasi rahasia yang telah lama ku siapkan," tambahnya. senyumnya mereka memperlihatkan deretan gigi. Edric menyalakan korek api di tangannya, lalu membakar dokumen itu hingga menjadi abu seolah ingin menghilangkan jejak.Beberapa jam sebelum keberangkatan Joylin“Aiden, kau menyukainya, kan?” tanya Luna menyandarkan tubuhnya pada dinding ruangan tempat mereka melakukan rapat terakhir kali. Aiden yang sedang menyiapkan beberapa barang langsung menghentikan aktivitasnya, “Apa maksudmu, Luna?” tanya pemuda itu refleks menoleh pada Luna.“Joylin. Aku tahu kau punya perasaan padanya. Dia gadis yang melanggar misinya demi menyelamatkanmu, kan?” tanya Luna menyorot Aiden dengan tatapan yang menenangkan.Aiden tidak langsung memberikan jawaban, namun Luna seolah dapat menebak apa isi hati rekannya. “Aku benar, ya? Mengubur perasaanmu dalam-dalam hanya akan membuatmu menyesal, Aiden,” tambah gadis itu, lalu berjalan ke arah Aiden dan menyentuh bahunya.“Sebaiknya kita segera berangkat,” balas Aiden datar, mencoba untuk mengabaikan perkataan Luna. Namun di dalam hatinya, ia membenarkan apa yang Luna katakan. Samar-samar sudut bibirnya terangkat, tak dapat menyembunyikan perasaan aneh yang menggelayuti hatinya
Keduanya saling pandang beberapa saat, lalu mengangguk yakin. “Kami siap menerima konsekuensinya, Paman,” ucap Jayden, sorot matanya penuh dengan keyakinan.Nathan menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. “Maaf, tapi paman tidak sanggup kalau harus kehilangan kalian berdua,” balas Nathan menutpi mata dengan jemarinya. Pria itu tertunduk, bahunya sedikit turun kali ini.Joylin berdiri dari duduknya, berjalan ke arah Nathan dan berjongkok tepat di hadapan pamannya. “Paman … Terima kasih sudah menerima kami menjadi bagian dari keluargamu dan maaf kalau kami sangat egois,” ujar Joylin menyunggingkan senyum tipis yang menenangkan.“Dulu paman pernah bilang, begitu masuk ke dunia ini kami tidak bisa mundur begitu saja. Ingat, kan?” tanya Jayden, berjalan dengan tenang mendekati Nathan yang masih tertunduk lesu. “Kami janji, akan pulang dengan selamat,” tambahnya di ikuti oleh anggukan Joylin di sampingnya.Nathan mengangkat kepalanya perlahan, matanya merah seperti menahan ta
Joylin melangkah keluar dari ruangan Edric dengan cepat, seakan ingin menjauh dari semua yang menyulut emosinya. Tangannya menggenggam dokumen yang Edric berikan, sementara tangan yang lain sibuk mengutak-atik ponselnya.Joylin: Dimana?Jayden: Di depan gedung, syukurlah kau sudah sadar. Tunggu di ruangan.Joylin: Terlambat. Aku sudah di lobi, aku segera kesa—Langkahnya terhenti ketika mendapati Erico sudah menghalangi jalannya. Gadis itu memutus sambungan telepon, lalu menatap Erico dengan tajam.“Hei, kau kelihatan terburu-buru. Bagaimana kalau kita sarapan bersama terlebih dahulu?” tanya Erico mencoba basa-basi dengan senyum memuakkan terukir di wajahnya.Joylin tidak mengatakan sepatah kata pun dan terus melangkah— tapi Erico terus menghalangi jalannya. “Minggir,” desis Joylin dingin, alisnya bertaut.“Lihat wajahmu ini, sebenarnya apa yang terj—” tangan pria itu bergerak, hendak menyentuh wajah Joylin yang masih pucat namun dihentikan oleh seseorang.“Edric menunggumu di ruang
Mata Luna membelalak, mulutnya sedikit terbuka berusaha mengeluarkan kata-kata yang tertahan di tenggorokannya. “Apa maksudmu, Jay?” “Saat di rooftop tadi aku mendengarmu menggumam,” balas Jayden. Luna terdiam, gadis itu terlihat menelan ludahnya dengan kasar. Pemuda itu mendecak, “Maaf. Lupakan saja,” ucap Jayden, lalu masuk ke dalam mobil disusul oleh Luna. “Jay, maaf sudah merepotkan,” ucap Luna, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi yang dingin. Hari ini benar-benar melelahkan. “Tidak masalah,” balas Jayden singkat. Ia menunduk, lagi-lagi pria itu tanpa sadar melakukan kebiasaannya dengan Joylin— memasangkan sabuk pengaman pada Luna. Gadis itu refleks menoleh membuat wajah mereka nyaris bersentuhan. Pipinya memerah seketika, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya. “Aku bisa memakainya sendiri,” ucap Luna tergugup sambil memainkan ujung baju dengan jemarinya. Jayden yang tersadar langsung memperbaiki duduknya secepat kilat. “Ah! Haha, kita jalan sekarang. Tunjukkan jalan
Jayden tertegun, “Dia? Siapa yang dimaksud Luna?” batinnya bertanya-tanya. “Luna?” sahut Jayden pelan, dengan ragu-ragu ia mendekati Luna yang tengah terhanyut dalam lamunannya. Malam begitu tenang, hanya dihiasi oleh desir angin menambah hening dan tekanan diantara mereka.Luna menoleh perlahan, matanya masih basah oleh air mata yang ia coba sembunyikan. Suara Jayden yang lembut membuat jantungnya berdebar.Dengan tangan yang gemetar, Luna segera menghapus air matanya dengan terburu-buru, berharap Jayden tak melihat sisi lemahnya.Jayden menatap Luna, sorot matanya tak pernah lepas dari gadis di hadapannya. Dia bisa melihat adanya kesedihan yang terselubung meski gadis itu berusaha menyembunyikannya.“Kau menangis?” tanya Jayden dengan nada yang lebih lembut, seolah memberikan Luna kesempatan untuk membuka diri padanya.“Ah, sepertinya ada sesuatu yang masuk ke mataku. Haha,” ujar Luna mengucek kedua matanya seolah berusaha meyakinkan Jayden kalau dirinya baik-baik saja, kemudian te
Ketika mendapat laporan dari Joylin bahwa target telah berhasil dieksekusi Jayden dan Aiden langsung menghela napas lega, seolah segala beban yang ada di bahu mereka terangkat. Keduanya bergegas menuju ke titik kumpul dengan senyum samar di wajahnya.“Jay, Aiden … Joy, dia tidak sadarkan diri,” ucap Luna terdengar panik melalui earpice di telinganya. Senyumnya memudar, kegelisahan yang tadinya bersarang di hati Jayden yang perlahan hilang kini tergantikan oleh panik dan khawatir ketika mendengar ucapan Luna.Detak jantungnya tak beraturan, Jayden berusaha untuk tetap tenang. “Apa yang harus ku lakukan? Membawanya ke rumah sakit?” pikir Jayden sambil mencengkeram erat setir mobil.“Tidak. Itu terlalu berisiko, terlebih Joylin baru saja menyelesaikan misi. Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi sendirian,” batinnya terus bergemuruh, penyesalan mulai menggerogoti hatinya, membentuk luka baru di antara rasa bersalah yang ia pendam.“Jay, Luna, tenangkan diri kalian. Bergegaslah ke marka