"Sayang, kita belum bulan madu loh," rayu Nayya. Wanita cantik yang menyandang gelar sebagai nyonya Rayyan itu bergelayut manja di tangan suaminya. Rayyan sedikit risih. Perlahan ia mengibaskan tangan lalu menghindar.
"Mau kemana? Aku masih sibuk, belum dapat cuti."
Nayya mengerucutkan bibirnya. Usaha pertama memang gagal, ia akan usaha untuk kedua kalinya.
"Aku mau ke Maldives. Teman arisan habis liburan ke sana. Please..." Nayya semakin merengek. Rayyan kembali tidak fokus pada pekerjaannya. Ia melirik arloji sekilas. Satu jam lagi waktunya pulang.
"Berapa hari?"
"Satu Minggu." Nayya menunjukkan jari telunjuknya lalu menyeringai menampilkan deretan giginya yang putih.
"Aku usahakan bulan depan. Tapi aku enggak janji," jawab Rayyan tak percaya diri. Nayya mengerutkan dahinya.
"Kenapa?"
Keduanya diam, Abi dan Bagas tak banyak bicara semnejak mereka tiba di sebuah taman kecil di pinggiran Jakarta. Awalnya mereka akan bertemu di restoran biasa, tapi suasananya tak mendukung.Bagas menarik napasnya perlahan. Tatapannya datar ke atas langit menantikan pembicaraan yang dimaksud oleh Abi. Kalau ini berkaitan dengan Lily, apakah ini juga berkaitan dengan anak yang sedang dikandungnya?"Kamu keceplosan bilang kalau Lily sedang hamil?" tanya Bagas membuka percakapan. Abi menggeleng. "Lalu kenapa?""Justru itu. Mantan ayah mertua Lily sedang sibuk mencari keberadaan dia. Rapat pemegang saham akan dilaksanakan dua bulan lagi sedangkan calon pengganti tidak ada. Satu-satunya adalah Lily, dia yang berhak."Bagas tak sengaja membuka lebar mulutnya lalu mengatupnya lagi. Apa ia tak salah dengar? Lily calon pewaris perusahaan?"Bukannya itu jabatan kamu?" Abi mengan
Tak biasanya di pagi yang masih sepenuhnya matahari belum menampakkan sinarnya, tuan Ardiwira datang mengunjungi kantornya. Sudah lama ia tidak berkunjung. Dulu, lima tahun lalu kantor ini di bawah kepemimpinannya. Sempat berpindah ke orang luar dan kembali ke tangannya lalu akhirnya sekarang dipimpin oleh keponakannya.Ardiwira memang mempunyai anak laki-laki satu-satunya yang diisukan akan menjadi pengganti Abi kelak. Tapi itu hanya isu.Ardiwira masuk ke dalam ruangan Rayyan dan duduk nyaman di dalamnya. Ia melipat tangannya di atas meja dan matanya berkeliling memindai ruangan yang tak berubah sedikitpun."Ruangan yang nyaman," gumamnya.Ardiwira pun berdiri. Ia berjalan ke arah jendela, matanya terpusat pada lemari besar di hadapannya. Ada banyak buku tebal dan piagam serta bingkai foto Rayyan beserta keluarga besarnya. Ardiwira menyentuh bingkai itu. Bingkai yang berusia
Bagas menutup pintu ruangan yang masih terbuka sedikit lalu duduk di sofa diikuti oleh Tia yang membawa minuman dingin untuk mereka. Keduanya masih penuh dengan tanda tanya di kepala, apa rencana Rayyan selanjutnya? Pria itu sudah berhasil menemui Tia, bukan tidak mungkin suatu hari nanti ia akan menemukan Lily.Bagas menggigit bibir bawahnya sembari mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Sedangkan Tia, ia lebih santai sambil memainkan gadget sambil sesekali melirik ke arah Bagas."Bagaimana kalau Lily aku bawa ke Bandung?" suara Bagas mengagetkan Tia yang sedang fokus dengan ponselnya. Ia mendengus kesal karena permainan game onlinenya harus terhenti karena ulah pria di sebelahnya."Nanti siapa yang akan merawat dia? Lily itu sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang belum pernah ia lihat," ketus Tia yang masih kesal dengan Bagas."Kan ada mama aku. Lagipula, Lily pernah tin
Apa yang ada di pikiran orang-orang jika mendengar kata ibu hamil, single parent? Lemah, tak berdaya dan pastinya merepotkan orang lain. Tidak bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri dan sulit untuk beraktivitas. Ah, itu sudah biasa. Bukankah stigma masyarakat memang seperti itu? Buruk dalam memandang orang yang tak pantas untuk mereka pandang, walau itu tak semuanya.Karena hal itulah, kini Lily berinisiatif untuk menghubungi kembali semua kolega ayahnya demi membangun kembali kerajaan bisnis ayahnya yang diwariskan padanya selaku anak semata wayang.Mula-mula Lily menghubungi mantan sekretaris ayahnya yang bernama, Rahman. Dia adalah sekretaris yang terpercaya dan sering membantu sang ayah saat sedang dalam posisi sulit. Kabarnya, ia sekarang bekerja menjadi asisten pribadi Ardiwira."Semoga dia tak mengadu pada tuan Ardiwira," gumam Lily.KlekkLily te
"Apa? Kamu menginginkan anak? Oh tidak, bukankah kamu sudah berjanji akan menunggu aku selesai kontrak?" ketus Nayya.Rayyan tadi sore memaksanya untuk memberikan satu anak untuk keluarga Ardiwira tapi Nayya menolak. Katanya, ia sudah terlanjur menandatangani kontrak dengan salah satu brand hingga dua tahun lamanya. Selama itu pula ia dilarang hamil dengan harapan tubuhnya selalu terjaga.Rayyan mendengus kesal. Pasalnya, jika ia tak bisa memenuhi target dari ayahnya ia bisa saja diusir dari rumah mewah yang ia tempati sekarang. Salahnya, mengapa saat mengusir Lily ia tak melihat dulu bukti kepemilikan rumah ini."Nay, aku mohon. Bantu aku." Rayyan duduk bersimpuh di depan Nayya dengan posisi memohon. Kedua tangannya ditangkup berharap Nayya mau mengubah keputusannya."Rayyan. Kamu mau ganti rugi?" bentak Nayya. Tak peduli dengan keadaan Rayyan, ia tetap tak beranjak dari temp
"Baru pulang? Jam berapa ini?" tegur Rayyan pada Nayya yang baru saja masuk ke dalam kamar dengan cara mengendap-endap. Sepertinya sedang menghindari dirinya. Nayya berbalik. Dilihatnya wajah marah Rayyan yang tetap menawan di balik kacamata bulatnya. Ia menyeringai. Jarinya menggoda lengan Rayyan, mengusap-usap hingga mengarah ke dadanya. Rayyan menampiknya. Ia kini terlihat dingin dan lelah dengan semua kelakuan Nayya. Pria itu kini memilih diam. "Sayang, aku tuh tadi syuting untuk acara bulan depan. Hari ini saja, kok. Besok aku di rumah melayani kamu seharian," rayunya. Nayya mendorong tubuh Rayyan hingga jatuh ke atas ranjang empuk mereka. "Aku tidak suka kamu beradegan aneh atau berbicara sesuatu yang bisa merusak reputasi aku dan kamu," pesan Rayyan. "Aku tidak berbuat yang macam-macam, kok. Kamu tenang saja, ya. Aku tetap akan me menjaga nama baik kita berdua." Nayya mengecup sekilas bibir Rayyan dan tak lupa mematikan lampu kamar. Ia ikut merebahkan diri di samping suami
Dua bulan kemudian Lily terus memegangi perutnya yang sedari malam terus merasakan kontraksi yang berlebihan. Teriakannya yang terakhir membuat Tya, sahabatnya terbangun. Ia berlari masuk ke dalam kamar Lily. Matanya membelalak melihat air ketuban yang keluar dan melewati kaki Lily. "Tya, aku mau melahirkan," rengek Lily mengaduh kesakitan. Tya membantu menenangkan Lily dan memanggil Bagas melalui ponselnya. Tak sampai lima belas menit, Bagas datang dan langsung menggendong Lily masuk ke dalam mobilnya. Sementara Tya duduk di samping Lily sambil terus memegangi tangannya. "Tahan ya. Sebentar lagi sampai rumah sakit," bisik Tya. Lily mengangguk. Bibirnya digigit untuk menahan sakit yang menguat. Rasanya, tulangnya bagaikan dipatahkan ribuan kali. Sesampainya di rumah sakit, Lily langsung dibawa ke ruangan bersalin. Tya dan Bagas berharap-harap cemas. Keduanya duduk sambil menunduk dan berdoa dalam hati masing-masing untuk Lily yang sedang berjuang di dalam sana. "Aku belum pernah
Rayyan masuk tanpa permisi ke dalam ruangan kerja Abi. Matanya memandang sekeliling ruangan sebelum berhenti tepat pada sosok Abi yang sedang sibuk bekerja. Abi mengangkat wajahnya, menatap bingung pada sepupunya yang nampak diam tanpa kata. Dia pun bertanya,"Kamu kenapa?" "Aku bertemu dengan Bagas di rumah sakit," ujar Rayyan dengan tatapan bingung. Abi hampir mendelik kaget. Untung saja ia segera mengubahnya datar. Ia ingat, tadi pagi Bagas mengirimkan kabar bahwa Lily baru saja melahirkan. Tentunya hanya dirinya saja yang tahu. "Oh, ya? Lalu?" tanya Abi berpura-pura tidak tahu. Ia melanjutkan lagi pekerjaannya sambil mendengarkan ocehan Rayyan. "Dia masuk ke ruangan bersalin. Dia membawa perlengkapan bayi. Aku hampir saja memergokinya kalau saja papa tidak menghubungiku," sesal Rayyan. Abi bernapas lega. Perlahan ia melirik Rayyan yang masih berdiri di hadapannya dan mengusap dagunya. Nampaknya ia masih penasaran dengan apa yang tadi dilihatnya di rumah sakit. Rayyan itu licik,