Jangan lupa like, komen dan subscribe ya.. Dan jangan lupa beri rating bintang 5 buat novel ini. Biar makin semangat up nya.. Hapy reading dear....
*****Mas Bowo dan Anita pun pergi. Tapi tumben, pagi ini Mas Bowo pergi bekerja mengendarai mobil. Padahal biasanya dia lebih suka naik sepeda. Biar gak macet katanya, karena memang daerah tempat tinggalku sedikit macet kalau jam berangkat dan pulang kerja."Alhamdulillah, sudah ada uang 4 Juta, habis ini aku mau pergi ke bank. Biar uangku makin banyak." Ucapku dalam hatiYa memang itulah kebiasaan ku setelah mendapatkan uang dari hasil berjualan, ku kumpulkan terlebih dahulu, setelah itu baru aku setorkan ke bank, biar lebih aman saja.Memang, Mas Bowo tak pernah bertanya berapa keuntungan ku dari berjualan, bahkan diapun tak tahu kalau aku mempunyai tabungan yang cukup besar pula. Yang dia tau, pendapatkan ku dari jualan hanya menghasilkan uang yang sedikit meskipun ramai.Hari ini pesanan rotiku membludak, hingga aku membutuhkan bantuan dari dua orang tetanggaku. Dan biasanya memang mereka akan datang kerumah ku pukul 8 pagi setelah pekerjaan rumah mereka selesai."Assalamualaikum Bu Ida..." sayup-sayup terdengar suara didepan rumah"Waalaikumsalam bu, eh ayo masuk. Waduh maaf bahan-bahannya belum sempat aku siapin Bu." Ternyata Bu Dinidan Bu Rina sudah datang. Aku persilahkan mereka masuk, dan berjalan kearah dapur diikuti mereka berdua."Gak apa-apa Bu, semuanya masih di tempat yang sama kan ya?" Kujawab dengan anggukan "Oh ya, itu catatan kue apa saja yang akan kita buat hari ini, dan juga jumlahnya. Sekalian abis ini saya tinggal keluar dulu ya bu, ada kepentingan soalnya." Kataku kepada mereka berdua."Siap Bu Ida, tenang saja semua pasti beres." Jawab Bu RinaMereka berdua sudah mulai sibuk mengola bahan yang akan kami buat. Dan aku pun bersiap-siap untuk pergi ke bank"Saya izin pergi sebentar ya bu, sekalian beli cemilan." "Iya Bu Ida, hati-hati."Aku memang sudah biasa meninggalkan mereka di rumahku jika aku memiliki keperluan di luar. Segera ku pacu sepeda motorku ke arah bank berlogo biru yang memang jaraknya tak jauh dari rumahkuAkhirnya akupun sampai dan mulai mengantri. Hingga kini giliranku maju ke teller. Disapanya aku ramah, dan ditanya keperluannya. Setelah selesai urusanku di bank, aku pergi ke toko cemilan yang memang searah dengan jalan ku pulang. Kubeli beberapa cemilan yang akan menemani kita membuat kue. Dan setelah itu kembali pulang.*****"Assalamualaikum..." Sapa ku saat aku sudah kembali"Waalaikumsalam Bu, udah selesai keperluanya?" tanya Bu Dini"Iya sudah bu, oh iya ini jajan camilannya aku taruh sini, dimakan ya bu ibu.." kataku sambil meletakkan cemilannyaDdrrt... Drrt.... Drttt...Kulihat gawaiku bergetar, kuambil dan ku baca beberapa pesan pelanggan yang ingin memesan kue. Kubalas pesan mereka satu persatu, dan bagi yang sudah fix memesan, akan aku catat ke buku khusus pesanan.Tak lama kemudian, kulihat Lusi meneleponku, aku pun segera menjawabnya."Hallo mbak.." suara Lusi diseberang sana"Ya Lus, ada apa??" Balasku"Mbak buat bolu ga hari ini, Ibu lagi pingin bolu buatan mbak tuh. Kalau buat nanti kirim ke sini ya mbak. Kalau bisa sih, jangan lama-lama.""Iya..." Jawabku singkat kemudian mematikan sambungan teleponAku memang malas jika harus berlama-lama ngobrol dengan Lusi atau Ibu. Entah kenapa, aku merasakan kecewa kepada mereka. Setelah aku tau mereka memanfaatkan aku.Kembali aku membantu Bu Dini dan Bu Rina membuat kue. Kali ini, aku membuat adonan kue bolu pesanan ibu. Biar cepat matang dan mengirimnya ke sanaSatu jam kemudian bolu pesanan ibu sudah jadi ku buatkan. Aku kembali berpamitan dengan mereka untuk mengantarkan sebentar bolu ini kerumah mertua kuKulajukan kembali sepeda kerumah ibu. "Assalamualaikum..." Tak berapa lama kulihat Lusi membukakan pintu"Waalaikumsalam, masuk dulu mbak." Entah kenapa aku ingin masuk dan bertemu dengan ibu"Ibu mana Lus?" Tanyaku sambil memberikan kue bolunya"Diruang tengah mbak, nonton tv.""Gimana keadanya bu, sepertinya ibu sudah sehat. Sudah bisa jalan apa belum?""U-ummmm... Lumayan sih Da. Tapi yang bikin ibu sedih, ibu masih belum bisa jalan." katanya dengan mimik muka sedih"Mmm yang sabar bu, mungkin bentar lagi bisa jalan. Yang penting ibu jangan berbohong. Karna bohong itu dosa." kstaku menyindir"Bohong, bohong soal apa Da?" Tanyanya pura-pura polos"Yaa, barangkali aja ibu sudah bisa jalan tapi masih bohong, bilang kalau memang belum bisa jalan.""Mana mungkin ibu berbohong mbak, lagian apa untungnya juga buat ibu berbohong." Ucap Ida yang tiba-tiba keluar dari arah dapur membawa bolu yang sudah dipindah ke dalam piring"Ummm syukurlah kalau begitu. Takutnya nanti malah jadi kenyataan akibat azab dari allah."Uhuk uhuk uhuk... Ku lihat Ibu terbatuk saat mendengar ucapanku. Segera ku berikan minuman yang sudah ada dari tadi di meja."Ya sudah kalau gitu aku pamit pulang dulu. Di rumah lagi sibuk, soalnya pesanan lagi membeludak.""Iya makasih ya Da, sudah buatin ibu bolu." Akupun mengangguk dan menyalami tangan ibu. Kemudian keluar dan kembali pulangSetelah semua kejadian yang menimpa Lusi, awalnya dia begitu terpukul dan hampir depresi. Karena dia memang bakal tak bisa mempunyai anak untuk selamanya.Berkat kesabaran Ibunya, dan juga Bowo yang selalu memberi dukungan, perlahan Lusi mampu menerima takdirnya.Begitupula Dendi yang juga perhatian pada nya pasca kehilangan buah hati mereka. Tapi semenjak kehadiran Romi, mantan pacar Lusi dulu, hidupnya berubah. Terutama hubungan nya dengan Dendi.Rama, lelaki yang dulu mencintai Lusi sepenuh hati. Tapi karena dulu dia belum memiliki pekerjaan yang mapan, dia pun memilih untuk mundur. Apalagi waktu itu dia melihat Lusi yang juga sudah dekat dengan Dendi yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan besar.Hingga akhirnya, dia pun memilih untuk merantau. Bekerja jadi kontraktor disebuah tambang."Lus...!" Sapa Rama saat mereka bertemu membeli martabak disebuah sentra PKL bersama Narendra."Rama....!" Balas Lusi yang juga tak kalah bahagia dan mereka pun bersalaman."Anak kam
Hallo Mas!" Sapanya begitu lembut saat mengangkat telepon ku."Lagi apa Ras?""Nih, lagi santai sama calon anak kamu. Oh iya, uda makan belum?" Tanya nya.Aaah, Laras benar-benar perhatian sekali. Bahkan Lusi pun jarang menanyakan hal sekecil ini tapi mampu membuat ku merasa dipedulikan. Tak seperti Lusi yang hanya lebih sering menanyakan uang dan uang.Untung saja aku cinta. Kalau tidak, mungkin aku sduah meninggalkan nya."Sudah kok. Kamu juga sudah makan apa belum? Jangan sampai telat makan ya?" "Iya Enggak Mas." Jawab nya seraya tersenyum."Oh iya Ras, mobil yang kujanjikan pada Lusi sudah datang hari ini. Ku rasa dia begitu bahagia!" Ucapku.Tapi Laras tak menanggapi ucapan ku."Halo Ras kamu masih disana?" Tanya ku.Karena memang seketika suasana jadi hening. Hanya terdengar suara helaan napas yang berat keluar dari mulutnya."Iya masih Mas. Tapi aku ngantuk mau tidur dulu. Capek!" Jawab nya seketika cuek."Oh yasudah kalau gitu, kamu istirahat dulu gih. Met tidur ya sayang dan
Aku dulu memang sangat mencintai Lusi. Apapun yang dia inginkan, sebisa mungkin bakal aku turutin.Tak ada kata penolakan yang bakal keluar dari mulutku ini, semua ucapannya pasti ku iyakan. Tapi ada satu hal yang mengganjal hatiku. Aku ingin keturunan. Sudah hampir lima tahunan aku dan Lusi menjalin rumah tangga, tapi kami belum juga dikarunia i seorang anak.Lantas aku harus bagaimana? Apakah aku harus menunggu terus dengan sabar? Tapi sampai kapan? Aku juga tak tau kapan umurku akan berakhir. Tapi setidaknya sebelum umur ku usai, aku sudah memiliki seorang penerus.Semakin hari aku semakin bimbang. Ingin rasanya menyudahi hubungan ku dengan nya, tapi aku masih terlalu cinta."Ini pesanan nya ya Pak!" Ucap seorang pelayan restoran saat kapalku sedang bersandar dan kami makan malam disuatu kota.Aku melihat gadis ini begitu manis, dengan postur tubuh yang aduhai menggoda iman. Ku lirik name tag nya, dan kulihat nama yang tertera disana "Laras".Aku pun tersenyum manis padanya, dan di
Drrrt... Drrrt... Drrrt...Aku jadi terbangun kala hp ku berdering karena sebuah panggilan masuk. Setelah ketahuan hamil, Ibu menyuruhku untuk lebih banyak istirahat. Karena kata Ibu, kehamilan ku ini sedikit rewel. Apalagi ini masih trimester pertama yang pastinya masih teler-telernya. Kuraih hp yang tergeletak tak jauh dari tempat ku berbaring, kemudian melihatnya. Ternyata Mas Dendi lah yang sedang menelponku.Dengan semangat 45, aku pun langsung mengangkat panggilan darinya. Dan sudah pasti, senyum ku pun memgembang."Hallo, iya Mas!" Ucapku "Lus, kamu beneran kan? Kamu gak bohong kan?" Pertanyaa Mas Dendi langsung memberondong ku."Iya Mas, masa' iya aku bohong sih sama kamu Mas?" "Alhamdulillah... Ya Allah Lus, kamu tau aku begitu bahagia. Hiks!" Dari nada suaranya, Mas Dendi begitu terharu."Mas nangis?" "Mas cuman bahagia Lus, Mas gak nyangka akhirnya kamu hamil juga. Tapi....!" Ucapanya terhenti.Tapi aku paham maksut dari ucapan Mas Dendi ini. Tapi dia juga sudah mengham
Karena perjanjian ku dengan Mas Dendi inilah, sekarang aku bisa hidup lebih bahagia. Apalagi dengan harta yang lebih bergemilang. Walau aku harus berbagi suami dengan wanita sialan itu.Tiga hari lagi Mas Dendi juga akan pulang. Dan dia berniat ingin bersama ku nantinya. Jujur saja, aku sudah kehilangan hasrat bersama Mas Dendi. Tapi, mau tak mau aku harus tetap melayani nya.Toh aku juga dapat imbalan yang setimpal. Apapun yang aku ingin kan, Mas Dendi selalu menuruti apapin yang aku ingin kan.Yang terpenting saat ini, aku harus bersiap dan merias diri secantik mungkin. Agar nanti saat Mas Dendi datang, dia terkesima dengan penampilan ku.Tok tok tok!!!"Lus...?" Sapa Mas Bowo didepan kamar ku"Hmm, ada apa Mas? Masuk aja, gak ku kunci kok." UcapkuMas Bowo pun masuk, dan mengeluarkan uamg lembaran merah sebanyak lima biji."Nih...!" Ucapnya sambil meneyerah kan pada ku."Ooh, uda gajian toh. Oke, aku terima." Ku ambil uang ity dari tangan Mas Bowo. Dan memasukkanya kedalam kantong
Menempuh waktu hampir dua jam lebih, bagiku terasa sangat begitu lama. Tapi aku bersikap biasa saja dihadapan Mas Fero. Aku takut, jika dia melihat ku khawatir, dia bakal ngebut, dan justru malah membahayakan kita sendiri.Padahal dalam hati ini, sudah tak karuan lagi. Campur aduk rasanya, apalagi memang kondisi Bapak yang sudah terlalu lemah beberapa hari ini.Tapi memang saat ini Mas Fero berkendara lebih cepat dari pada saat kami berangkat ke kosan Anita. Untung nya juga, jalanan tak seberapa padat, mungkin karena masih siang juga, dan tak bertepatan dengan jam pulang kerja.Tujuan kita saat ini pun langsung ke rumah sakit Medika. Aku melirik Anita dari kaca spion dalam mobil, terlihat tak tenang juga. Terlihat juga Anita tak lepas dari doa, sama seperti ku saat ini.Sesampainya dirumah sakit, Mas Fero langsung memarkirikan mobilnya, setelah itu, kami langsung berjalan. Menuju ruang ICU, dimana Emak sudah menunggu disana."Mak...!" Sapa ku saat melihat wanita paruh baya itu duduk s