Share

Tersesat

"Wes yu, kancane mase yang di mobil itu ndak makan nasi, tapi sukanya makan kembang sama menyan. Dia juga nggak mau turun kalau tujuannya belum tercapai."

"Halah, pak Tris ini ngomong apa sih? Magrip-magrip lo, ngomongnya kok ngelantur. Kalau didenger barang seng nggak nggenah ngimana coba? Bapak ini namanya pak Sutris mas, sudah ndak usah didengerkan, orangnya memang suka begitu."

Namun apa yang diucapkan pak Tris telah merasuki pikiranku, kini aku mulai dicekam oleh rasa takut dan parno sendiri.

"Memangnya tujuan sampean itu sebenarnya mau kemana mas?"

"Saya mau mencari rumahnya mbak Rahayu pak, atau barangkali bapak atau ibunya tahu dimana alamatnya? Biar setelah ini saya langsung kesana dan pulang, soalnya saya juga nggak punya teman atau kerabat yang tinggal disini, pak, bu."

Terlihat si ibu warung mengerutkan kening seolah sedang berpikir.

"Rahayu? Rahayu siapa to pak Tris? Apa anaknya Nur? Tapi kan masih SD anak itu? Sampean barangkali tahu pak Tris?"

"Rahayu?"

Pak Tris tampak sedang serius berfikir, lalu bolak balik mengawasiku dengan kerutan semakin dalam dikeningnya.

"Saya sendiri terus terang juga belum pernah bertemu dengan mbak Rahayu ini, pak, bu. Saya hanya dapat titipan pesan yang harus disampaikan kepada mbak Rahayu, fotonya pun saya tidak punya. Tapi yang jelas, usia mbak Rahayu ini sekitar akhir dua puluhan atau pertengahan tiga puluhan pak."

"Mas, kampung ini memang luas, namun warganya sedikit. Meski rumah kita jaraknya berjauhan, tapi kami saling mengenal. Tapi kok, Rahayu yang mas cari ini saya sepertinya tidak kenal ya? Rahayu disini cuma ada satu mas, itu pun masih kecil."

"Yu, jangan-jangan yang mas nya cari ini, Rahayu..."

"Hust, mesti ngawur pak Tris ini. Gini saja mas, biar lebih jelas, mas nya ini tanya langsung saja ke rumahnya pak kamituwo, pak Wo pasti tahu semua data warga sini."

"Iya mas, sampean bisa bareng saya. Kebetulan rumah kita searah."

"Wah, pak Tris. Terimakasih sekali njih."

Aku sangat lega sekali dengan tawaran yang diberikan pak Tris, aku segera menyelesaikan makanku dan membayar semua pesananku termasuk pesanan pak Tris. Akhirnya, sebentar lagi perjalanan ini akan berakhir, Rahayu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, mungkin dengan begini ko Willi akan tenang.

Meskipun semasa hidup kami todak saling mengenal, tapi entah mengapa hatiku sangat tergerak untuk membantunya menyampaikan pesan-pesannya untuk Rahayu.

"Mas, sampean ikuti saya dari belakang ya? Karena jalanan menuju rumahnya pak Wo itu hanya bisa dilalui motor, nanti mobil sampean diparkir di depan gang saja."

Aku mengangguk, mengiyakan perintak pak Sutris.

Penerangan hanya mengandalkan dari cahaya lampu mobil, motor pak Sutris adalah motor rakitan sendiri yang lampunya hanya seadanya, bahkan sangat redup.

Awalnya semua berjalan lancar, aku mengikuti pak Tris hingga beberapa ratu meter kedepan. Beberapa kali pak Tris tampak seolah melampai, namun aku tidak tahu maksudnya.

Hingga pada sebuah pertigaan, entah hanya perasaanku atau memang begitu adanya. Tiba-tiba ku lihat pak Tris menjadi dua, yang satu tetap lurus, sedangkan yang satunya berbelok kekiri.

Aku sempat berhenti dan memperhatikan keduanya, namun tidak ada yang slaah dengan penglihatanku, pak Sutris benar-benar ada dua. Lantas mana yang benar dan harus ku ikuti?

Aku baca bismilah dalam hati, lalu memutuskan untuk maju terus mengikuti sosok yang aku yakini itu adalah pak Tris yang sebenarnya.

Namun setelah cukup jauh, dan ternyata belum sampai juga di rumah pak Kamituwo, aku tak lagi melihat oak Tris didepanku, sosoknya menghilang begitu saja.

Sebenarnya aku sudah siap jika hal seperti ini terjadi diperjalananku untuk mencari Rahayu, namun tetap saja, aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri bahwa saat ini aku sedang ketakutan.

Jalanan yang ku lewati semakin terjal, disisi kiri dan kanan banyak sekali rumah-rumah yang terbuat dari kayu, didepan rumah-rumah itu ada obor sebagai penerangan, tak ada lampu apalagi keramaian. Padahal aku yakin ini masih sore, mungkin masih sekitar setengah tujuh, namun suasana seolah sudah tengah malam.

Aku meraba-raba, kiranya dimana sekarang ini aku berada. Aku menepi untuk melihat ponselku, mungkin akan sedikit mengurangi rasa gugupku, namun sialnya batrei ku sudah berwarna merah, dan lagi signal juga sama sekali tidak ada. Aku bagai kembali terlempar diperadapan lama.

Tiba-tiba saja, bau bunga melati begitu menyengat tercium di indra penciumanku. Padahal semua kaca telah tertutup rapat, aku juga menggunakan aroma buah untuk parfum mobilku, lalu dari mana asalnya bau ini.

Aku segera memacu kembali mobilku dengan badan yang merinding, dan parno yang semakin menjadi-jadi. Hingga hal yang tidak ku duga, saad ku lirik di spion, ada sosok yang melayang dibelakang mobilku, sontak saja aku terkejut.

Aku membaca doa sebisaku, namun entah mengapa justru tawa melengking yang ku dengar seolah memecah gendang telingaku. Padahal sosok itu ada diluar, namun suaranya seolah begitu dekat.

Hingga kemudian, dikejauhan ku lihat ada sosok lelaki tua yang sedang duduk di teras rumahnya. Tanpa berpikir panjang, aku segera menepi dan menghampirinya. Anehnya, sosok kuntilanak yang terbang di belakang mobilku tiba-tiba menghilang begitu saja.

"Permisi mbah, nyuwun sewu, mau numpang nanya."

Aku menghampiri lelaki tua yang menatapku dengan pandangan aneh itu.

"Anak manusia, mau ada perlu apa kamu sampai ketempat ini?"

Suara yang begitu berat, lelaki itu bahkan sampai berdiri dan menatapku dengan tajam.

"Ngapunten mbah, sepertinya saya tersesat. Saya tadi mau ke kempung alit, mau nyari alamat, Tapi malah muter-muter disekitar sini. Kalau saya mau kembali ke jalan utama, saya harus lewat mana ya mbah?"

Lelaki itu masih menatapku, kini pandangannya berubah menjadi iba. Lalu dia sodorkan kepadaku sebuah batu berwarna hitam.

"Bawa batu ini, dan jangan sampai hilang. Kamu putar balik dan lewati jalan tadi, lurus saja sampai bertemu dengan jembatan yang diapit dua pohon besar. Jangan menoleh ataupun berhenti apapun yang kamu lihat, jangan tergoda dengan apapun yang kamu temui."

"Tapi mbah, sepanjang perjalanan tadi, saya tidak melewati jembatan."

"Sudahlah, cepat turuti perintahku. Atau kamu tidak akan bisa keluar selamanya dari tempat ini."

Aku mengangguk, mengucap terimakasih dan buru-buru kembali ke mobil.

Namun saat mobilku sudah melaju, pemandangan didepan mataku seolah tidak bisa kupercaya dengan akal sehatku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status