Share

Penumpang misterius

Ibu : Kamu jadi berangkat nak? Hati-hati Bayu, pikirkan lagi keputusanmu. Tempat yang kamu tuju itu masih sangat pelosok, medannya masih sulit dijangkau.

Aku membaca sekilas pesan yang dikirimkan oleh ibu, lalu belum sempat ku balas, mataku begitu berat untuk ku buka, aku jatuh tertidur. Aku sangat ngantuk, aku juga merasa sangat lelah.

Tidurku kali ini terasa begitu nyenyak sekali, berbeda dengan kemarin atau bahkan hari-hari sebelumnya. Hingga tanpa terasa ketika aku bangun, hari sudah mulai sore.

Aku melihat banyak sekali panggilan tak terjawab dan pesan-pesan yang belum terbuka dari ibu.

Tak ingin membuatnya semakin khawatir, aku segera menghubunginya balik.

"Halo Bayu? Kamu ini di telfon berkali-kali kenapa sulit sekali sih? Ibu ini khawatir sama kamu."

"Ibu, baru diangkat sudah ngomel aja. Iya maaf bu, tadi Bayu ketiduran sampek nggak denger hp bunyi."

"Kamu jadi berangkat? Tujuan kamu itu medannya nggak mudah Bayu, apalagi kamu belum pernah kesana. Jarak rumah masih jauh, jalanan juga belum semuanya beraspal, listrik juga belum rata. Lagi pula itu kan nggak jelas, belum ada DP kan? Masak iya orang ngasih job di toilet?"

Aku menarik nafas panjang mendengar omelan ibu, ibu memang seperti itu, tapi aku yakin sekali kalau itu adalah bukti sayang dan perhatiannya untukku.

"Sudahlah bu, ibu percaya saja kalau Bayu pasti bisa jaga diri. Bayu cuma butuh doa ibu. Ini kan bukan pengalaman pertama Bayu mencari alamat dipelosok kampung. Lagi pula masak iya satu kampung nggak ada yang kenal, dan kebetulan juga tempatnya masih di kota yang sama dengan Bayu saat ini."

"Ya sudah kalau begitu, hati-hati. Kalau niat kamu sudah bulat, buruan berangkat sekarang juga, jangan surup surup, ndak becik. Dan yang paling penting adalah berdoa Bayu. Semoga apa yang kamu lakukan ini bisa membawa manfaat untuk orang lain."

"Aamiin bu, Terimakasih ya."

***

Barang-barangku sudah selesai ku bereskan, aku juga sudah siap. Keputusan ku sudah bulat untuk datang ke kampung alit dan mencari keberadaan Rahayu.

Aku berusaha berpikir positif, tujuanku kesana tentu saja bukan untuk memenuhi permintaan koko William untuk memenuhi undangan pernikahannya dengan Rahayu, itu hal yang tidak mungkin terjadi. Tapi aku yakin, pasti ada pesan tertentu yang ingin disampaikan.

Mungkin koko William ingin aku menyampaikan kepada Rahayu bahwa dia telah tiada, bahwa dia lebih memilih kematian dari pada harus mengkhianati cinta Rahayu.

***

Keluar dari hotel, sudah pukul tiga sore.

Meskipun tujuanku berada di kota yang sama, namun tetap saja tempatnya berada dipelosok desa terpencil yang cukup memakan waktu.

Aku segera memacu mobilku, sebab aku tidak ingin kemalaman ketika sampai di desanya Rahayu. Aku yakin sekali, jika aku kemalaman maka aku akan sulit menemukan tempat beristirahat. Terlebih kata ibu, penerangan di desa itu juga masih kurang.

Memasuki desa yang ku tuju, awan gelap mulai menyapu matahari sore. Pohon-pohon besar berjejer di pinggir jalan. Sebenarnya, desa ini akan terasa indah sekali di pagi atau siang hari, namun akan berubah mencekam ketika hari mulai gelap.

Sepanjang perjalanan, hanya satu dua kendaraan yang berpapasan denganku, suasanya begitu sunyi. Aku mulai khawatir tidak menemukan alamat yang ku cari, atau bahkan tidak bertemu dengan orang yang bisa ku mintai tolong untuk membantuku mencari alamat Rahayu.

Namun keraguanku terjawab, sebab tak lama kemudian, dikejauhan ku lihat pijar cahaya lampu yang seolah memberi harapan bagiku. Aku mulai mendekat, dan benar saja, ada sebuah warung yang dindingnya masih terbuat dari anyaman bambu. Aku bisa sedikit bernafas lega.

Aku mulai menepi dan menghentikan laju mobilku.

"Monggo mas, silahkan. Mau pesen apa?"

Baru masuk, aku sudah disapa oleh ibu warung yang tampak begitu ramah. Usianya mungkin sama dengan ibuku, rambutnya digelung rapi, dan masih menggunakan bawahan kain jarik.

"Kopi saja bu, sama indomie pakek telur ceplok njih."

"Walah mas, nggak ada. Adanya sayur lodeh, orek tempe, tahu goreng. Sampean mau yang mana?"

"Ya sudah bu, orek tempe saja. Sama minta air putihnya ya, bu."

Ibu warung tersebut mengangguk dan segera berlalu. Aku memperhatika keadaan didalam warung ini, lampu yang digunakan masih bola lamou berwarna kuning, sehingga tidak terlalu terang.

Selain aku, ada lagi seorang Bapak-bapak dengan sarung yang dikalungkan di leher seperti hendak ronda malam. Aku sadar, sejak tadi si bapak memperhatikanku dalam diam.

"Dari mana mas?"

"Saya dari malang pak."

"Ada perlu apa masnya datang kesini jauh-jauh? Saya yakin tujuannya bukan untuk main atau liburan. Disini bukan tempat yang tepat untuk berlibur, apalagi hanya main-main mas."

Lelaki tersebut menatapku penuh selidik, bahkan mengamatiku dengan teliti dari atas hingga bawah. Pertanyaannya sedikit membuatku gugup, apakah lelaki itu mencurigaiku akan berbuat yang tidak-tidak dikampungnya?

"Saya sedang mencari alamat... "

"Monggo mas, silahkan dimakan. Kalau mau tambah tahunya saya gorengkan dulu."

"Njih bu, terimakasih. Sepertinya ini sudah cukup."

Obrolanku dengan Bapak-bapak didepanku ini menjadi terpotong karena ibu pemilik warung yang tiba-tiba datang menyela.

"La itu temannya yang dimobil nggak sekalian diajak turun mas? Disini jauh lo mas kalau mau cari warung, ya maklum desa kami ini cukup terpencil."

Aku tersedak hebat karena kaget, bahkan air yang barusan ku minum hingga muncrat dari mulutku dan sebagian masuk hidung.

Siapa teman didalam mobil yang ibu warung ini maksud? sedangkan diriku hanya mengendarai mobilku sendiri.

"Ah enggak perlu bu, hmm... Anu... Tadi dia bilang mau istirahat, tadi barusan mabuk, ja-jadi mungkin masih lemas."

Tak ingin menambah pertanyaan dan pernyataam dari ibu warung, aku menjawab asal.

"La itu lo mas kasian, dari tadi lihatin kita, Saya buatkan teh panas barangkali mas? Atau saya bungkuskan nasi? Kasian kalau perutnya kosong nanti, disini nggak ada warung lagi lo mas."

Aku tersenyum kikuk, bingung mau menjawab apa, sedangkan di mataku mobilku kosong dan aku memang hanya sendiri datang ke desa ini.

"Wes yu, temane mase yang di mobil itu ndak makan nasi, tapi sukanya makan kembang sama menyan. Dia juga nggak mau turun kalau tujuannya belum tercapai."

Deg.

Serentak kami menoleh ke arah bapak-bapak di depanku yang masih bersikap santai dan mulai menyalakan rokoknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status