Malam gelap tanpa bintang, ada gamang yang mulai mengembang. Rania merasa rindunya mulai terusik sejak kedatangan Pak Wahyu dalam kehidupan nya. Pak Wahyu, sosok kebapakan yang berkali-kali menenangkan pikirannya, melukiskan harapan baru dalam kehidupannya. Pak Wahyu yang selalu mengajarkan Rania tentang pentingnya mendekap erat rasa syukur agar Tuhan menambah nikmatNya. Pak Wahyu yang selalu bilang bahwa dendam tidak akan menyelesaikan masalah.Rindunya berkejaran di antara belukar dan hutan rimba. Ada banyak sekali dedaunan kering juga hewan liar yang terkadang menakutinya dan memaksa Rania untuk menghentikan rindu. Andai saat ini dirinya sedang tertidur maka ia akan memilih untuk tetap tidur demi menuntaskan rindunya.
“Assalamualaikum, Bu Rani.” Suara dari sebrang terdengar, suara lembut dari pemilik suara, seorang yang baik hati namun tegas dalam prinsip. Dan Rania pun menjawab dengan suara tak kalah lembutnya.“Waalaikumsalam, apa kabar, Pak ?. Lama tak jumpa.”“Iya, banyak tugas kampus yang harus di kerjakan terutama penyampaian materi via zoom video benar-benar sangat menyita perhatian, menyita waktu dan butuh kesabaran. Belum lagi persiapan webminar.”“Saya juga mengalami nasib yang sama, Pak.”“Sedang dimana ?” masih tanya suara itu lagi.“Sedang di rumah, Pak.”
PANGGILAN DARI KAMPUSPagi yang indah ketika dunia menampakkan senyum indahnya. Rania sudah bangun sejak subuh tadi dan melanjutkan tulisannya di beberapa platform penulisan. Sesekali matanya menyipit lalu kadang melebar, seperti pusaran cinta yang kadang naik dan kadang turun. Rania mengikuti alur cerita yang ia buat dengan ekspresi wajahnya.Ia terkejut melihat handphonenya menyala, sebaris nama muncul disana. Nama yang selalu membuatnya tersenyum, menghadirkan inspirasi dalam tiap episode-episode novelnya. Nama itu yang menghadirkan letupan dalam hatinya. Nama itu juga yang membuatnya berpikir hal lain tentang sebuah dendam. Bahwa dirinya harus berhasil terlebih dahulu maka hal itu adalah pembalasan terbaik bagi seseorang yang ingin membalas dendam. Bahwa dendam itu bukan tentang melakukan hal buruk pada seseor
"Sudah di kampus ?" Ach, lelaki ini lagi. Lelaki dengan senyum manis yang selalu menghadiahkan energinya untuk Rania."Iya, sudah.""Alhamdulillah, tetap tenang dan baca sholawat ya.""Iya, terimakasih dukungannya"Hanya itu WhatsApp terakhir antara Rania dan Pak Wahyu pagi ini. Hingga Rania memutuskan untuk menuju ruang dekan.Rania melangkah tertatih, bukan karena tubuhnya sedang sakit atau karena lapar tetapi karena beberapa mata memandang dirinya, seolah dirinya adalah pemilik puncak kesalahan. Rania ingin menjelaskan pada mereka kronologi kejadian yang sesunggu
Rania menepikan mobilnya di dekat menara pandang. Suasana sedang riuh dengan banyak orang, terdapat penjual makanan di tepian sungai.Angin semilir menyapu wajah menghadirkan sensasi dingin dan indah. Rania merasakan sesuatu yang berbeda. Ia membuka pintu mobilnya.Ia melangkah menyusuri tepian sungai berharap menemukan tempat untuk duduk sejenak melepaskan kegundahan hatinya, hingga ia melihat sepasang kekasih meninggalkan bangku yang terbuat dari besi yang tadi mereka duduki.Rania duduk di tempat itu, sebotol air mineral berada dalam genggaman tangan nya di tambah dengan jagung rebus di plastik putih ia letakkan di sampingnya. Rania meminum airnya seteguk.
Rania menangis terisak ketika ia telah tiba di rumahnya, menghancurkan kebahagiaan rumah tangga wanita lain sama dengan mencabut nyawanya sendiri dan Rania tidak bisa melakukan itu. Rania tidak mungkin melakukanya, ia pasti akan terluka. Dirinya bukan penghancur rumah tangga orang lain.Tetapi, menerima kenyataan harus kehilangan seseorang yang selama ini memberikan semangat juga bukan hal yang mudah. Ia seperti kehilangan separoh dari nafas, dan itu sama saja rasa sakitnya.Memilih bahagia diatas penderitaan orang lain atau memilih mencari kebahagiaan lain ? Ini juga bukan hal yang mudah.Rania baru saja bahagia, namun ia kembali merasakan sakit. Ia bahkan telah rela menerima takdir menjadi ‘yang disembunyikan’ demi cinta dan rasa sayangnya pada Pak wahy
Rania belum selesai merapikan mukenahnya ketika ia mendapatkan kabar bahwa Pak Budiman dan Septia akan datang ke rumahnya. Rania makin heran mengapa Septia datang dengan Pak Budiman lagi ?Apakah mereka memang sudah saling menambatkan hati bersama ?Apakah Septia sudah tidak bersama Arifin lagi ?Apakah Pak Budiman sudah bercerita bahwa hubungannya dengan Rania hanya hubungan yang sengaja diciptakan ?Ach, Rania jadi pusing sendiri.Tapi biarlah apapun yang terjadi dengan mereka semoga saja hubungan mereka adalah hubungan yang baik dan tidak merugikan siapapun.“Jam berapa ke rumah ?” Tanya Rania.“Sebentar lagi kak, aku dengan Pak Budiman.” Begitu tulis Septia di pesan whatsappnya. Rania melirik jam kecil yang ada di meja riasnya, masih pukul enam waktu Indonesia Tengah.“Sepagi ini ?”“Iya, Kak.”“Ada apa ?’“Pak Budiman yang ngajak, ada berita penting katanya.”“Yo wes lah. Silahkan saja.”
Rania duduk di gazebo paling ujung dari kampus megah ini, ia menikmati setiap lantunan musik yang ia dengar dari bilik hatinya. Rania mengikuti liriknya, lirik sedih berisi secarik rindu.Akhirnya ia kini menjadi ‘janda’, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa senyuman pahit, tanpa mata penuh harap dan tanpa jabat tangan pnuh keharuan.Ya, Pak Leo akhirnyameloloskan keinginan Rania untuk bercerai tanpa Rania ketahui apa dasarnya. Mengapa ia yang kemarin kokoh mendadak mau meuliskan ikrar talak untuk Rania. Surat yang hanya dititipkan pada Pak Yudha kemudian diantar oleh beliau ke rumahnya.Rania menyandarkan kepalanya diantara tiang-tiang gazebo yang terbuat dari kayu jati, ada pohon pinus di hadapannya yang bergerak seiring semilir angin. Ia pernah menjadi wanita yang di manjakan di awal-awal pernikahannya bersama Pak Leo. Ia pernah menjadi wanita yang menikmati sentuhan lembut dan tatap mata kagum dari suaminya itu. Dulu, dulu sekali, sebelum tragedi perebutan