Share

AIRIN TAMPAK BODOH!

"Sesuai janjiku tadi buat ngajak kamu makan siang yuk ke kantin," ajaknya padaku.

Belum menjawab ajakannya tersebut ia langsung menggandeng tanganku dan mengajakku berlari kecil.

'Widih baru kenal main gandeng tangan orang!' gumamku dalam hati.

Setelah sampai di kantin aku memesan makanan yang cukup lumayan banyak. Sengaja untuk mengerjai si kembaran Yuta ini. 

'Aku buat dia ilfeel sama aku biar nggak deketin lagi,' bergumam dalam hati dengan sedikit tersenyum lebar dengan memainkan bola mata.

"Apa kamu habis makan segini banyaknya?" 

tuturnya ketika melihatku memesan banyak makanan. Ia melihat dengan terheran-heran.

Aku tak begitu mempedulikan perkataannya itu, Aku pun langsung menyantapnya. Suapan demi suapan masuk ke mulutku. Tak ada rasa malu dan canggung ketika makan dengannya.

"Laper ya neng?" ucapnya heran melihat betapa lahapnya aku makan. Lagi-lagi aku tak mempedulikan pertanyaannya itu.

"Bodo amat deh!"

"Kamu makannya banyak banget ya kayak nggak pernah makan."

Sontak aku menyemburkan makanan yang berada di dalam mulutku. Terkejut mendengar ucapannya seperti itu.

"Astaga kena mental aku!" aku terus bergumam dalam hati.

Aku terdiam seketika dan mengelap pinggiran mulut yang tercecer mayonaise karena menyantap chicken spicy wings.

"Kenapa jadi aku yang ilfeel sama diriku sendiri sih!" aku membenturkan kepala pelan di atas meja serta meringis malu di hadapannya.

Kemudian aku menyeruput jus jeruk milikku dengan pelan. 

Sedang asik menghabiskan beberapa sayap ayam, Aku melirik Stefan yang sedari tadi menatapku dengan heran.

"Kenapa? kenapa ngeliatin!" 

"Heran aja sama kamu yang makannya banyak," memberikan senyuman lebarnya.

"Lagi-lagi diomong! Gusti nu agung salah apa aku!" 

Kemudian aku segera menelan makanan yang berada di mulut dan menghentikan kunyahanku dan menyeruput minuman yang telah dipesan tadi.

Setelah selesai makan, kemudian aku mengalihkan pikirannya dengan mengambil ponsel yang berada di dalam tasku melihat isi galeri kemudian menyodorkan layar ponselku ke arah wajahnya.

"Kamu tau ini siapa?" 

"Siapa? kok mirip aku yah? apa dia pacarmu? jadi kamu udah punya pacar?" ia bertanya beruntun padaku.

"Pede banget sih cowo satu ini! emangnya dia nggak bisa bedain muka dia sama muka cowo yang di foto ini! wah gila juga aku lama-lama." aku terus bergumam membicarakannya.

"Yuta namanya, aku juga heran kenapa kamu mirip dia. Bukan." jawabku agak sok cuek.

"Mungkin itu aku, tapiii aku nggak punya hoodie kayak gitu deh!" serunya agak kebingungan.

"Ya berarti itu bukan kamu!" sahutku dengan nada tinggi. Stefan hanya tersenyum meringis dan menggaruk kepala bagian belakang yang sepertinya tidak gatal itu.

"Jam kuliah kita hampir dimulai, kayaknya kita harus cabut sekarang nih!" ucapku dengan melihat jam di layar ponselku.

Ia mengangguk dan segera membayar makanan kami. 

Kami menaiki lorong tangga kampus dan sedang asik mengobrol. 

"Stef, apa aku tadi makannya banyak?" aku bertanya pada Stefan yang berjalan disampingku. 

"Iya, porsi makan kamu…"

Tiba-tiba kami berdua berpapasan dengan Mas Gunawan.

Aku terkejut dan termenung diam sejenak. Aku takut jika Mas Gunawan mengira aneh-aneh padaku, padahal kami hanya sekedar berbincang saja. Mas Gunawan menatapku lama membuatku semakin gugup. Tapi itu tak berlangsung lama. Kemudian ia bertanya pada Stefan.

"Kamu mahasiswa pindahan dari Jerman kan?" tanyanya sambil menunjuk jari ke arah Stefan.

"Iya pak. Kebetulan kami berdua sekelas." dengan melirikku yang terlihat diam di tempat dan tampak gugup.

"Kalo ada kesulitan kamu tanya mahasiswa lain saja!" ucapnya dengan penuh wibawa sebagai dosen.

Stefan mengangguk dan tersenyum lebar pada Mas Gunawan. Aku dan Stefan segera kembali ke kelas dan akan segera tiba.

Sampai di depan pintu kelas aku menyuruh Stefan untuk masuk duluan.

"Kamu duluan Stef, nanti kalo kita barengan masuk dikira ada apa lagi!" ucapku.

Ia pun menyetujui dan masuk duluan kemudian aku segera masuk.

Di kelas Stefan disambut hangat para mahasiswi lainnya, mungkin saja para ciwi-ciwi ini mengagumi ketampanannya yang seperti Yuta ini.

Mas Gunawan dengan mendadak langsung memasuki kelas. Aku tersentak pelan kaget.

Mas Gunawan memberikan materi di kelas, tapi aku melamun dan tidak memperhatikan dirinya yang sedang memberikan beberapa materi. Tiba-tiba ia menggertakkan meja.

Aku sontak terkejut dan menggebrakkan meja.

"Kenapa Airin? lagi mikirin apa?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Mas Gunawan.

Aku mulai salah tingkah dan gugup. Menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Nggak papa Mas, cuma…"

Upssss, aku memanggilnya "Mas."

Aku keceplosan memanggilnya seperti itu. 

"Eh maksud aku Pak," ucapku meringis menahan malu.

Kemudian aku menundukkan kepalaku di meja. 

Sesekali membenturkan kepalaku pelan, "Ahh betapa bodohnya aku?" aku berbicara lirih agar tak ada yang mendengar perkataanku.

Jam kuliahku pun telah usai, Mas Gunawan pun segera meninggalkan ruangan.

Aku pun segera menggendong tas dan pergi.

Tiba-tiba Ira teman sekelasku menghalangi jalanku dan berkata, "Rin kok kamu bisa sih manggil dosen pake Mas?" 

Aku gugup ketika akan menjawab pertanyaannya itu, "A-aku kebiasaan ka-kalo manggil laki-laki yang le-lebih tua dari aku itu Mas." dengan terbata-bata menjawab pertanyaannya.

Ia diam tetapi tatapannya penuh dengan pertanyaan. Aku pun segera pergi untuk menghindari pertanyaan lainnya.

Saking terbirit-biritnya aku menabrak seseorang dan hampir jatuh tersungkur di lantai. Aku melihat tangannya yang menangkap tubuhku itu, seperti tak asing bagiku. Kemudian aku menatap dan mendongak ke arah wajahnya.

Ternyata ia lah Mas Gunawan yang telah menangkap tubuhku.

Aku segera berdiri. Aku menunduk di hadapannya. 

"Maaf, aku nggak sengaja," ucapku dengan meminta maaf.

Mas Gunawan mengerutkan dahinya, "Memangnya ada yang salah? kenapa kamu buru-buru gitu?" 

"Si Ira tanya soal aku manggil kamu Mas tadi." dengan menjelaskan kenapa aku berlari terburu-buru.

Ia hanya tersenyum, aku terkejut melihatnya. Sepertinya dia tidak mempermasalahkan kejadian tadi ketika aku berjalan dengan Stefan. Raut mukanya tak menunjukkan kekesalan maupun kecemburuan.

Kami berada di lorong tangga kampus, jarang yang melewatinya. Kami berdiri berhadapan dengan dekat, ia mengusap setiap helai rambutku.

"Boleh Mas main ke apartemen?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status