Aku melongo tak percaya. Apa yang barusan kudengar benar-benar membuatku terkejut. Semudah itu ia berucap. Kami bahkan belum pisah.
"Mail, aku tuh kecewa tahu enggak? Apa sih yang kamu cari? Seorang suami tugasnya melindungi, mencintai, menyayangi istrinya, bukan menyakiti seperti kamu. Marina sangat menderita batin. Tega kamu sakiti wanita sebaik dia." Wanita yang tidak lain adalah Nessa, istri dari Ray ini terus berucap tanpa jeda.
Nessa sangat marah, aku tahu dari tatapannya dan dari nada suaranya. Ia bahkan mengatakan aku seorang suami yang tak berguna. Tidak layak untuk Marina.
Entah dari mana pula datangnya wanita satu ini? Datang menceramahi aku tidak seperti biasanya. Walau semua yang ia katakan memang benar, tapi aku risih. Apalagi ini di toko. Bagaimana kalau ada yang mendengar? Mau ditaruh di mana muka ini ya Allah? Meresahkan juga istri Ray ini.
"Nes, maaf tapi mungkin l
Aku masih berdiri di tempat dengan wajah memerah karena amarah, masih menguping pembicaraan Puspa dan ibunya."Maksudnya bagaimana?" Ibu Rosma bertanya.Dapat aku pastikan saat ini ia terkejut, karena yang diketahuinya Puspa sangat mencintaiku, tapi nyatanya tidak seperti yang diperkirakan."Bu, awalnya aku memang mencintai Mas Mail, tapi setelah aku tahu dia hanya ingin mempermainkan aku, rasa itu mendadak hilang. Aku ingin membalas. Pria seperti dia enggak pantas dicintai. Mungkin sekarang dia mencintai aku tulus, tapi enggak denganku. Akan aku balas!"Kalimat yang diucapkan Puspa nyaris membuatku mendobrak pintu. Untung saja tetap berusaha menahannya. Entah sejak kapan Puspa mengetahui niat aku sebelumnya."Baguslah. Tapi apa rencanamu?" Ibu Rosma kembali bertanya."Ada, deh. Hahaha," tawa Puspa usai bicara disusul gelak tawa ibunya seakan menertawak
Kuucek mata untuk memperjelas penglihatan, berharap yang kulihat dan kubaca itu tidak benar. Namun, semuanya hanya menyisakan luka yang mustahil akan sembuh. Hati sakit, sedih dan marah pada diri sendiri. Aku tidak ada harapan lagi. Semuanya terlambat sudah. Tiada satu pun mampu aku lakukan."Sudah aku bilang tinggalkan Puspa tapi kamu menolak. Ini akibatnya. Padahal aku sudah berbaik hati membujuk Marina untuk menerimamu kembali jika kamu berubah. Tapi apa? Bahkan kamu menangis darah pun, Marina enggak akan mau bersamamu lagi. Enggak akan!" tekan Nessa sedikit emosi.Entah apa yang membuatnya seyakin itu. Kutatap Nessa sambil berkata, "Sepertinya kamu tahu banyak tentang istriku. Marina tinggal di sini?""Iya. Marina pernah tinggal di sini, tapi dia pergi secara diam-diam. Mas Ray mencarinya hingga ketemu kembali. Awalnya Marina menolak pulang, tapi demi aku akhirnya dia mau dan sekarang dia tinggal di sini," jelas Marina. Ia mulai tersenyum seperti sedan
Aku menoleh dengan hati-hati. Punggungku benar-benar sangat sakit. Pukulannya keras padahal yang kulihat saat ini hanyalah seorang wanita berpenyakitan sedang memegang balok."Kamu pria enggak tahu malu! Marina enggak ingin bersamamu. Jika kamu mencintainya, kenapa kamu berkhianat dengan menjalin hubungan bersama sepupu suamiku? Kenapa?" ujar Nessa, marah seakan dirinyalah yang dikhianati.Sementara itu di belakangnya Marina sibuk menghubungi seseorang. Aku yakin dia mencoba menghubungi Ray. Ternyata nomor telepon Marina aktif saja. Itu artinya dia sudah mengganti nomor. Sebenci itukah dia hingga harus mengganti nomor telepon lantaran tidak ingin aku hubungi?Baiklah tidak mengapa. I'm fine.Kali ini Marina bisa bebas dariku karena pertolongan Nessa. Tapi lain kali jangan harap. Akan kubawa Marina pergi menjauh dari Jakarta. Kalau boleh aku akan membawanya pulang ke kampung halaman orangtuanya.Hidupku benar-benar menyedihkan. Sudah dip
Aku menggesek-gesekkan kedua telapak tangan sesekali meniupnya. Rasanya tidak sabar menunggu kemunculan Puspa dan meminum kopi itu. Ingin sekali melihat dirinya terkulai lemas di sofa. Mulutnya berbusa, matanya melotot melihatku dan air matanya jatuh seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tak mampu.Membayangkannya saja aku begitu senang. Apalagi jika itu benar terjadi. Mungkin dunia berasa hanya milikku seorang.Ini Puspa yang mulai. Dia yang menyimpan racun di kopi itu. Kalau dia meninggal, siapa yang disalahkan coba? Ya, dirinya sendiri. Anggap saja bunuh diri."Mas, kok senyum-senyum gitu, sih? Diminum dong kopinya." Puspa tiba-tiba muncul, langsung duduk di sampingku. Kaki kiri ia naikkan di atas paha kanannya. Terlihat anggun sekali."Mau tahu kenapa mas senyum-senyum begini?" Aku menatapnya, masih dengan senyuman yang tak pudar-pudar.Dalam hati berkata, 'Enggak lama lagi kamu akan menghembuskan napas terakhir Puspa.' Rasanya ingin
POV 3Mail menyingkirkan tangan Ray dari kerah bajunya, ia berusaha berdiri. Tentu dengan perasaan amarah yang besar. Tampak giginya bergeletuk, tangannya mengepal. Bahkan urat-urat tangannya tampak mengeras. Ia melangkah, maju hendak membalas Ray, tetapi secepat kilat ditangkis pria berjas itu.Lantas keduanya saling beradu pandang, tidak ada yang mau mengalah. Dan tibalah saatnya Mail kembali melayangkan kepalan tangannya pada arah wajah Ray, tetapi sekali lagi gerakan lincah dari tangan Ray menangkis sehingga ketampanan wajahnya tak lecet sedikitpun."Aku peringatkan sekali lagi, jangan pernah mengganggu Marina atau kamu akan tahu akibatnya!" ancam Ray, mengangkat telunjuk di depan Mail."Kamu pikir aku takut?" Telunjuk Ray malah dihempas kasar oleh Mail."Kamu bukan siapa-siapanya Marina. Sedangkan aku ... aku masih suaminya. Berhak atas dirinya. Kamu mau apa? Bahkan ka
Seorang wanita berdiri sambil tersenyum miris. Raut wajahnya menampakkan kebahagiaan luar biasa tatkala mengetahui Nessa menghembuskan napas terakhir. Akan tetapi, wajah itu berubah seketika saat menyadari keberadaan Marina dalam kamar. Dia, Puspa mengepalkan tangan.'Selanjutnya kamu Marina. Sebenarnya kamu enggak salah apa-apa, tapi suamimu yang membuatku seperti ini. Aku tahu Mas Mail sangat mencintaimu, dia akan sakit jika kamu terluka.' Dalam hati Puspa bicara. Setiap kata ia tekan penuh makna.Tak lama kemudian Puspa melangkah pelan, masuk dan pura-pura terkejut."Astaghfirullah, Nessa? Apa yang terjadi? Ray, ada apa dengan Nessa? Kenapa dia seperti ini?" Beberapa pertanyaan ia tujukan pada Ray yang tengah duduk memangku kepala istrinya di lantai.Semua mata memandang ke arah Puspa, tak terkecuali Aura yang sudah sangat lemah melihat mamanya. Sekilas menatap tantenya lalu ke
Pria itu memanggil satpam untuk mendekat. Satpam yang tak merasa curiga pun langsung saja mendekat dan pada saat itu juga pria tersebut menyemprotkan sesuatu di depan satpam hingga jatuh pingsan di dekat pagar besi. Itu mempermudah pria tersebut mengambil kunci yang tergantung di tali pinggang satpam. Ia kemudian membuka pagar dan langsung masuk."Semudah itu?" Sambil tersenyum miris, pria itu berjalan santai ke teras.Berdiri seperti sedang memikirkan sesuatu. Matanya fokus menatap ke arah pintu."Masuknya gimana, yah?" gumamnya. Tidak lama kemudian, ia tersenyum simpul seperti mendapatkan ide secara tiba-tiba.
Mungkin karena terlalu sedih, ditambah lagi belum menemukan sosok pemberi air minum itu hingga mengakibatkan kematian istrinya, kebanyakan mikir akhirnya Ray jadi pingsan. Pria yang sedikit bercambang tersebut terlentang di lantai. Dinginnya keramik tak ia rasa.Marina berusaha menyadarkannya dengan mempercikkan air di wajah. Akan tetapi, Ray tak juga kunjung sadar. Matanya tertutup rapat."Kasih ini Mbak siapa tahu Pak Ray-nya cepat sadar." Sebuah botol minyak kayu putih Bi Jumi sodorkan. Langsung diterima Marina dan selanjutnya membuka tutupan minyak kayu putih tersebut. Mendekatkan ke hidung Ray, bermaksud supaya Ray bisa sadar ketika menghidu aroma minyak tersebut."Bangun, dong Pak. Ya Allah ...," keluh Marina, khawatir.Akhir-akhir ini ada banyak masalah yang dihadapi keluarga Ray dan Marina merasa bahwa semua itu terjadi karena dirinya. Seketika jatuh air mata Marina.