Bab 7
"Valdi, kapan uangnya kamu kirim? Ini bentar lagi kursiku nyampe,"Salma bicara dengan nada panik."Katanya hari ini kamu kasih uangnya. Ini udah siang tahu! Masih aja belum kamu transfer. Kamu gimana sih? Niat gak kirim uangnya? Cuman ngirim segitu ajah prosesnya lama banget." Di telepon, salma masih mengomel."Ntar, sabar dulu, Kak! Ini m-bankingku lagi bermasalah. Aku coba kirim lagi.""Lah kalau m-banking kamu bermasalah, kamu langsung aja ambil atau kirim uangnya langsung dari ATM. Apa susahnya. Begitu aja kok ribet kebangetan." Salma masih terdengar kesal."Iya Kak Tapi masalahnya sekarang aku lagi di kantor. Bisa ke mana-mana. Nggak enak sama bos." Valdi memberi alasan."Ya udah cepet buruan usahain ngirim duitnya, pinjem dulu pakai m-banking temen-temennya kek, kamu ganti uangnya. Atau gimana gitu. Aku malu ntar barang nyampe malah duitnya nggak ada. Taruh di mana mukaku ini kalau sampai kayak gitu.""Iya iya Kak, ini lagi aku usahain."Telepon seluler tersebut dimatikan."Gawat nih kenapa Rika belum juga ngirim uangnya? Keterlaluan nih, maunya diingetin terus."Cepat jari jemari Valdi mencari nomor telepon Rika.Namun berulang kali ia menghubungi nomor Rika tetap saja tidak bisa terhubung."Kemana aja sih nih orang? Orang lagi penting kayak gini malah nggak kunjung diangkat." Valdi mendengkus kesal.Karena tidak bisa menghubungi Rika Valdi memutuskan untuk mengirim pesan.[Rika, Kenapa kamu belum juga ngirimin uangnya? Tolong transfer sekarang!]Pesan tersebut hanya centang satu. Valdi semakin panik.Lima belas menit kemudian, ponself Fadi kembali berdering."Halo Kak Salma,""Valdii, kamu ini gimana Valdi? Ini orangnya yang anter kursi udah pada nyampe, kenapa belum kamu kirim juga uangnya? Mau ditaruh di mana muka kakak ini, haa?" Suara Salma di seberang sana terdengar sangat-sangat kesal dan marah."I ... Iya, Kak. Maaf, maaf. Aduh gimana ya?" Valdi kebingungan sendiri."Maaf, maaf, Maaf apanya? Astaga Valdi kamu ini emang sengaja mau bikin Kakak malu ya? Tega sekali kamu!" Ocehan Salma terus terdengar."Kak, bentar, aku usahain ya.""Dari tadi kamu ngomongnya usahain mulu, tapi uangnya nggak kunjung ada. Kalau kamu emang bener-bener pengen bikin Kakak malu ya nggak kayak gini juga caranya! Apa susahnya kamu ambil aja sendiri tuh uang di ATM atau ke bank langsung. Nggak usah plin-plan! Kamu kebayang nggak sih Jadi Kakak ini, barang datang uangnya nggak ada. Malu kali" Kekesalan Salma semakin menjadi."Maaf sekali Kak, aku jadi terlambat ngirimin uangnya. Bukan Aku sengaja, tapi karena uangnya kemarin udah terlanjur aku serahkan pada Rika, jadi aku harus minta uangnya dulu sama Rika. Ini keterlaluan banget si Rika, jam segini belum juga kasih uangnya ke aku. Padahal aku bilang aku butuh banget uangnya.""Apaaa? Kamu kasih uang ke Rika?" Mendengar penjelasan Valdi, Salma terkejut dan kembali marah."Iya Kak, soalnya aku pikir sesekali buat nitip uang sama dia." Jawab Valdi."Astaga kamu ini gimana, Valdi? Yang namanya uang nggak usah dikasih sama sembarangan orang. Aduh habislah aku ... Jangan-jangan uangnya udah dipake dihabisin sama Rika. Aduh gimana ini," Salma terdengar panik sendiri."Ya ampun ..! Ya Tuhan ..! Kenapa pula nggak dari tadi kamu ngomong kalau uangnya di tangan Rika! Kalo aku tahu begini, dari tadi udah aku minta langsung uangnya ke Rika! Kalo aku yang minta, dia nggak bakalan berani buat nahan-nahan uang kamu!" lanjut Salma dengan suara keras menahan amarah."Kak, kakak kasih penjelasan tuh sama yang jual, bilang kita akan bayar besok. Ntar aku akan ambil kembali uangku sama Rika." Valdi menenangkan sang kakak."Tapi kalau ternyata uangnya udah dipakai semua sama Rika gimana? Lagian ini orang yang jual nggak mau uangnya ditunda-tunda." Salma berdecak kesal."Atau
"Rik! Rika! Cepetan kemari! Tuh ada orang di depan lagi cari-cari kamu! Dia marah-marah kayak orang kesurupan gitu. Ngeri, coba liat! Ngeri banget liatnya!" Fia datang tergopoh menghampiri Rika yang tengah bersantap siang. Rika agak kaget. Ia pun tak kalah penasaran dengan siapa orang yang dimaksud oleh Fia. "Orang ngamuk? Siapa ya?" Dahinya mengernyit."Aku juga nggak tahu, Rik! Cepat samperin, lihat tuh udah banyak orang ngeliatin dia. Pakai teriak-teriak manggil kamu!""Oh baiklah, aku coba liat dulu." tanggap Rika.Rika berjalan menuju ke area depan kantor di mana keberadaan orang yang dimaksud oleh Fia tersebut."Jangan lupa hati-hati, Rik!"Rika mengangguk.Dari kejauhan Rika melihat beberapa orang bergerombol melihat seseorang yang tengah berteriak-teriak memanggil-manggil nama Rika. Seperti yang dikatakan oleh Fia, dari kamu merasa ia perlu berhati-hati siapa tahu orang tersebut berbahaya. Rika bertanya-tanya siapakah gerangan orang tersebut? Tapi dengan suara yang terdengar
Bab 10Salma duduk dengan wajahnya yang terlihat mengandung raut wajah kesedihan. Perempuan itu masih dengan perilaku Rika. Padahal semula niat Salma mendatangi kantor Rika adalah ingin membuka kedok adik iparnya itu di depan teman-teman sekantornya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Salmalah yang harus menanggung malu. Bagaimana Salma tidak kesal dengan itu.Melihat keadaan kakaknya, dengan wajah penuh rasa bersalah, Valdi baru saja pulang tersebut menghampiri kakaknya."Kak," tegur valdi.Salma menoleh."Kamu sudah pulang rupanya." tanggapnya."Kakak terlihat sedih. Kakak pasti sedih karena uang itu kan? Hmm ... Maafkan aku Kak, aku tidak menepati janji. Nanti aku akan ambil uangnya sama Rika, dan kasih uang itu ke kakak." Setetes dua tetes air mata jatuh di pipi Salma."Aku kecewa sama istrimu, Valdi! Keterlaluan sekali Rika! Tega dia" Valdi bingung melihat kakaknya yang tiba-tiba menangis sesenggukan."Kenapa kak? Kenapa tiba-tiba bicara soal Rika?" Dengan pelan-pelan Valdi
"Rika! Rikaaa!"Terdengar suara mas Valdi memanggil-manggil namaku. Belum sempat aku menghampiri, si empunya suara sudah menghampiriku lebih dulu. Kulihat raut muka Mas faldi menatapku dengan gurat wajah marah. Ada apa gerangan dengannya? "Ada apa, Mas?" Tanyaku."Apa-apaan yang udah kamu lakuin sama kak Salma siang tadi?" Suaranya yang membentak membuat keningku berkerut. Memang apa ya telah aku lakukan dengan kakaknya? Kurasa aku tidak melakukan sesuatu yang terlalu berlebihan. "Aku nggak ngelakuin apa-apa kok, Mas.""Kamu nggak usah bohong ya! Apa tujuan kamu menyuruh kak Salma ke kantor kamu kalau cuma buat dipermaluin sama teman-teman kamu? Nggak ngotak, nyadar nggak kalau Kak Salma itu kakak aku! Kalau kamu nggak ngehargain dia berarti kamu juga nggak ngehargain aku. Dia Kakak iparmu, harusnya kamu menghormati dia!"Terus terang saja aku heran dengan penjelasan Mas Valdi."Aku nggak pernah nyuruh kak sama ke kantor aku kok, Mas. Soal kenapa tadi dia bisa dateng ke kantor aku
"Nggak mungkin aku bisa semudah itu ngasih duit ke orang, Mas! Mas tahu, kebutuhan anakku jauh lebih penting daripada orang yang cuma bisa minta!" Aku menyanggah ucapan Mas Valdi."Anak, anak, anak terus yang kamu bicarain. Alesan! Clara itu masih kecil. Uang sebelas juta itu nggak seberapa kalo dibanding sama perngorbanan Kak Salma ke aku.""Kalo Mas anggap nggak seberapa kenapa nggak kamu aja yang kasih ke dia? Katamu Salma berkorban banyak untuk kamu, jadi tuntut aja balas budinya ke kamu, Mas! Jangan ke aku!" Aku menggelengkan kepala. Dia seorang lelaki yang pintar berperang kata. Apapun yang aku ucapkan, dia pasti bisa menemukan bantahan. Sekalipun bantahannya terdengar memaksa, tapi dia selalu menganggap pendapatnya benar. Kali ini, aku perlu untuk sedikit berkata jujur, agar bibirnya bisa bungkam sejenak."Rik, itu resiko kamu yang mau nikah sama aku! Kalo kakakku minta ke kamu itu adalah wajar. Kamu nyadar nggak sih, kalo uang yang aku dapat itu kamu yang nikmatin! Pendek kata
"Valdi, kenapa istrimu belum ngirimin duit ke ibu? Ini udah tanggal lima, istrimu kan gajian tanggal empat?" Ibuku bertanya."Tunggu aja, Bu. Ntar pasti di transferin kok sama dia./, Kayak biasanya." jawabku."Tapi kok lama ya, biasanya kan tanggal empat sore udah dikirimin sama dia." "Sabar dulu Bu, siapa tahu gajiannya emang agak lambat." Aku menghibur ibuku. "Kalau ntar siang belum juga, sebaiknya kamu tanyain deh sama Rika. Ibu mau bayar kuliah adikmu nih, plus tagihan bulanan juga udah nunggu jadwal buat dibayarin. Tolong bilang sama Rika jangan lambat-lambat amat.""Iya, Bu. Ntar aku bilangin.""Jangan iya-iya aja, Ibu lagi butuh banget sekarang. Lagian uang tiga juta yang kamu janjiin kemarin q/belum ada beritanya juga." Ibu terlihat cemberut.Astaga mungkin saja Ibu kecewa, maafkan aku, aku ingkar janji dengan uang-uang itu. Ish, Rika sih keterlaluan, mana dia janji akan mentransfer uang lima belas juta untukku, tapi kenyataannya sampai hari ini tidak kunjung sampai ke rekeni
Bab 14"Val, di umur segini sebaiknya kamu udah punya aset atau tabungan." Ucap Kak Mel, kakak keduaku.Aku menghela nafas panjang mendengar pertanyaan itu. "Sayangnya aku belum punya aset apapun untuk sekarang, Kak." Aku berkata jujur."Begini, Val. Kalau kamu pengen dengerin saran Kakak, gaji kamu udah sepuluh jutaan, akan jadi lebih baik kalo kamu mikirin buat beli rumah.""Iya sih, aku juga udah mikir ke arah sana, Kak. Bosan aku ngontrak melulu." Aku menanggapi."Kemarin kakak udah dapet informasi di mana ada perumahan yang cocok buat kamu beli. Angsuran bulanannya juga nggak seberapa, sekitar 2 juta. Lokasinya lumayan lah. Kalo nggak gitu, susah rasanya buat kamu bisa beli rumah. Tiap bulan gajimu bakalan habis mulu. Kamu udah tahu kan kalo Rika nggak pandai nyimpalen uang."Aku diam mencerna ucapan Kak Mel."Ntar bisa kita liat dulu, Kak." sahutku.Pikiranku mulai bercabang, baru-baru ini pengeluaranku lebih banyak. Ada angsuran mobil yang harus aku pikirkan, jatah bulanan bua
Hari ini sungguh hari yang sangat beruntung bagiku. Hari yang telah membawakanku untuk mengenal Vina kembali. Tak kusangka, hari ini aku bisa mengantarnya pulang. Tentu saja aku dengan senang hati melakukannya.Sesuai arahan Vina aku menghentikan laju mobilku di depan rumah berwarna hijau. Rumah itu tidak terlalu besar. Tapi terlihat amat rapi di mataku. "Makasih banyak ya, Mas. Udah anter kami pulang." ujar Vina sebelum turun. Aku mempersembahkan senyum terbaikku. Tadinya sebenarnya aku sangat berharap ia menawariku untuk mampir ke rumahnya. Tapi, ah sudahlah. Jika kali ini tidak, mungkin di waktu yang lain aku akan mampir ke sana sebagai kekasihnya. Bercita-cita itu tak salah, kan?Tak lupa aku bantu membukakan pintu mobil untuk Claudia, dan menggendong anak itu turun. "Makasih, Om." ujar Claudia."Sebentar, Claudia Sayang. Om ada sesuatu buat kamu."Dengan cepat aku merogoh dompet. Kukeluarkan lima lembar uang merah, lalu kuselipkan ke tangannya. "Aduuh, kok banyak banget, Ma