Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
"Mas, uang sekolah Clara bulan ini belum dibayar," kucoba untuk bicara pada Mas Valdi."Bilang ajah tuh sama gurunya kita bayarnya ntar tanggal empat. Adek gajian kan tanggal tiga." jawabnya santai.Jawaban Mas Valdi sedikit membuatku menghela nafas panjang."Mas, listrik kita juga belum dibayar bulan ini," lanjutku."Iya, Mas tahu. Tunggu ajah sampai tanggal empat, Dek. Sekalian kamu bayarin uang sekolah Clara. Masa gaji kamu belum masuk tanggal empat nanti." jawabnya kembali.Jawaban yang sangat tidak aku harapkan. Aku berjalan perlahan mendekatinya."Mas, bukannya kemarin Mas gajian?" tanyaku."Mana ada, Dek. Uang gaji mas belum masuk ke rekening. Lagian kalo pun masuk jumlahnya nggak seberapa juga," lanjutnya.Setelah berbicara seperti itu, Mas Valdi langsung melangkahkan kaki menuju ke sepeda motornya. Lelaki yang berprofesi sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta tersebut pergi begitu saja.Aku mendengkus. Kesal pun percuma. lelaki itu pelit sekali mengeluarkan uangnya. Ter
"Rika, kamu nggak boleh perhitungan gitu dong sama keperluan rumah tangga kita. Wajarlah kalo kamu membeli apapun itu seputar kebutuhan. Nggak ada salahnya. Artinya kamu mampu. Anggap aja sebagai salah satu bentuk pengorbanan."Aku ingin tertawa mendengarnya bicara. Semudah itu dia berkata-kata."Mas bilang apa? Pengorbanan?" kilahku."Kalau gitu, apa bentuk pengorbanan kamu, Mas? Masa cuma aku doang yang harus berkorban?" aku melanjutkan kata-kataku."Dek, nanti kalo aku udah punya yang banyak, aku bakalan beliin rumah mewah buat kita. Sekarang uangnya lagi aku kumpulin kok.""Jujur aja, Mas! Selama ini kamu nggak tabung uang kamu, kan? Makanya kamu nggak ngebolehin aku liat buku tabunganmu." Sergahku. Tentu saja semua itu aku tahu dari pesan-pesannya pada mertuaku.[Ibu bangga kamu bisa selalu komitmen kasih gajimu sama ibu, Nak. Teruslah jadi anak berbakti.][Iya dong, Bu. Ibu kan wanita nomor satu yang paling berjasa, tentu aku akan berjuang buat ngebahagiain ibu]Begitulah sepen
Aku dan Clara memasuki sebuah resto yang sudah lama tak kukunjungi."Kita mau makan malam disini, Ma?" tanya anak perempuan semata wayangku.Aku mengangguk."Horeee ...!" Clara kegirangan.Sengaja kubebaskan Clara memilih menu kesukaannya. Sama sepertiku, anak ini paling suka dengan menu seafood yang kaya bumbu dan gurih.Tengah menunggu pesanan datang, kurasakan ponselku berdering.Mas Valdi rupanya."Halo, Mas!""Halo, kamu dimana, Dek?""Kenapa, Mas?""Kamu ini gimana? Tadi kan udah dikasih tahu kalo Kak Salma, Kak Mel, Dira, dan ibu mau makan malam di rumah kita. Tapi kok kamu nggak masak, Dek? Cuma ada ada ikan asin di atas meja."Dalam hati aku sedikit tergelak, makan tuh ikan asin. Itu hidangan spesial buat kalian."Lho, kalo nggak mau makan sama ikan asin, mereka bisa masak sendiri kan, Mas?" ucapku. "Mereka lagi kecapekan, Dek. Kasihan kalo harus masak.""Sama, Mas. Aku juga kecapekan abis seharian ini kerja. Maaf ya, Mas." balasku."Kak Salma udah cek kulkas, tapi kosong. K
"Valdi, kamu bisa bantuin kakak nggak? Kalo bisa pinjemin aku uang, Val. nggak terlalu banyak, cuma sekitar sepuluh juta saja." Kudengar kak Salma bicara di ruang keluarga."Cuma sepuluh juta, Kak? kalo cuma segitu mah aman. Kirim ajah rekening kakak, ntar aku transfer uangnya," Mas Valdi berkata begitu percaya diri.Hmm, aku agak heran. Darimana dia mendapatkan uang senilai sepuluh juta? Apa mungkin dia benar-benar punya tabungan? "Beneran, Val?" "Ya beneranlah, Kak. Kayak biasanya, mana ada aku bohong.? Lagi pula kalo cuma uang segitu tidak mungkin aku minta dibalikin," lagi-lagi kudengar Mas Valdi bicara. Waduh, dia mau memberi uang tersebut secara cuma-cuma? Jika menang benar, kenapa tak dikondisikan? Dia mau memberi uang dengan nominal yang tak sedikit pada kakaknya, sedangkan aku dibiarkan berjuang sendirian? Suara mereka terdengar jelas. Di kamar, aku yang sedari tadi berpura-pura telah terlelap membuat mereka tak ragu bicara tanpa takut terdengar olehku."Apa kamu nggak
"Rikaaa! Rikaaa! Bangun! Udah siang nih! Masakin sarapan sana!" Suara menggelegar dari luar kamar. Itu suara Kak Mel.Berisik sekali. Kulirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Jam 05.30 pagi. Jika dibanding dengan hari-hari biasanya, aku memang kesiangan, tapi tidak dengan hari ini.Sebentar kemudian pintu kamarku terbuka. Kak Salma nyelonong masuk begitu saja. Sangat tidak sopan sama sekali."Rika, hari ini kami libur aja kerja ya! Gajimu juga nggak seberapa, kan? Kamu asuh Lia sama Farel aja. Aku ada perjalanan," ujarnya cepat. Enak sekali memberi perintah. Emang aku babby sitter?Belum sempat aku menjawab dia telah beranjak. Kupikir dia akan keluar kamar. Tapi ternyata tidak. Ia berjalan menuju lemari."Eh ini pintu lemari kok nggak bisa dibuka? Sengaja kamu kunci ya, Rik? Cepetan bukain ini lemarinya! Aku mau cari baju buat kupake keluar nanti! Lagian kenapa pake dikunci-kunciin segala sih? Bikin kesel aja!" Ocehnya seraya menarik-narik paksa pintu lemari.Lho
Bab 6 Bu Ratih sambil menggerutu membuka kulkas."Mau apa, Bu?" Valdi mendekati bu Ratih."Ibu nggak usah repot-repot. Aku udah memesankan cukup porsi untuk kita semua." Lanjut Valdi."Beneran?"Valdi mengangguk."Seandainya aja kalau istrimu bukan pemalas, tentu kamu nggak usah repot-repot ngeluarin duit buat beli beli kayak gitu. Uangnya bisa dikumpulin. Ini jatuhnya malah boros. Buat apa punya istri kalau apa-apa masih beli." Bu Ratih mengomel."Bu, nanti siang aku ada diskon buat ibu." ujar Valdi."Diskon apaan?""Alhamdulillah aku ada kelebihan rezeki, jadi rencana Aku mau kasih ibu sekitar tiga juta." ucap Valdi.Bu Ratih tampak senang sekali."Kamu mau kasih ibu tiga juta lagi?""Iya, Bu.""Alhamdulillah, makasih banyak ya, Nak. Pas banget. Rencana ibu mau ajak adikmu ke mall besok. Katanya mau beli jam tangan baru. Syukur sekali, ini rezeki adikmu, Val." Bu Ratih semakin sumringah."Alhamdulillah, Bu. Semua berkat do'a kalian, sekarang gajiku udah bisa mencapai tujuh jutaan.