Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
"Mas, uang sekolah Clara bulan ini belum dibayar," kucoba untuk bicara pada Mas Valdi."Bilang ajah tuh sama gurunya kita bayarnya ntar tanggal empat. Adek gajian kan tanggal tiga." jawabnya santai.Jawaban Mas Valdi sedikit membuatku menghela nafas panjang."Mas, listrik kita juga belum dibayar bulan ini," lanjutku."Iya, Mas tahu. Tunggu ajah sampai tanggal empat, Dek. Sekalian kamu bayarin uang sekolah Clara. Masa gaji kamu belum masuk tanggal empat nanti." jawabnya kembali.Jawaban yang sangat tidak aku harapkan. Aku berjalan perlahan mendekatinya."Mas, bukannya kemarin Mas gajian?" tanyaku."Mana ada, Dek. Uang gaji mas belum masuk ke rekening. Lagian kalo pun masuk jumlahnya nggak seberapa juga," lanjutnya.Setelah berbicara seperti itu, Mas Valdi langsung melangkahkan kaki menuju ke sepeda motornya. Lelaki yang berprofesi sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta tersebut pergi begitu saja.Aku mendengkus. Kesal pun percuma. lelaki itu pelit sekali mengeluarkan uangnya. Ter
"Rika, kamu nggak boleh perhitungan gitu dong sama keperluan rumah tangga kita. Wajarlah kalo kamu membeli apapun itu seputar kebutuhan. Nggak ada salahnya. Artinya kamu mampu. Anggap aja sebagai salah satu bentuk pengorbanan."Aku ingin tertawa mendengarnya bicara. Semudah itu dia berkata-kata."Mas bilang apa? Pengorbanan?" kilahku."Kalau gitu, apa bentuk pengorbanan kamu, Mas? Masa cuma aku doang yang harus berkorban?" aku melanjutkan kata-kataku."Dek, nanti kalo aku udah punya yang banyak, aku bakalan beliin rumah mewah buat kita. Sekarang uangnya lagi aku kumpulin kok.""Jujur aja, Mas! Selama ini kamu nggak tabung uang kamu, kan? Makanya kamu nggak ngebolehin aku liat buku tabunganmu." Sergahku. Tentu saja semua itu aku tahu dari pesan-pesannya pada mertuaku.[Ibu bangga kamu bisa selalu komitmen kasih gajimu sama ibu, Nak. Teruslah jadi anak berbakti.][Iya dong, Bu. Ibu kan wanita nomor satu yang paling berjasa, tentu aku akan berjuang buat ngebahagiain ibu]Begitulah sepen
Aku dan Clara memasuki sebuah resto yang sudah lama tak kukunjungi."Kita mau makan malam disini, Ma?" tanya anak perempuan semata wayangku.Aku mengangguk."Horeee ...!" Clara kegirangan.Sengaja kubebaskan Clara memilih menu kesukaannya. Sama sepertiku, anak ini paling suka dengan menu seafood yang kaya bumbu dan gurih.Tengah menunggu pesanan datang, kurasakan ponselku berdering.Mas Valdi rupanya."Halo, Mas!""Halo, kamu dimana, Dek?""Kenapa, Mas?""Kamu ini gimana? Tadi kan udah dikasih tahu kalo Kak Salma, Kak Mel, Dira, dan ibu mau makan malam di rumah kita. Tapi kok kamu nggak masak, Dek? Cuma ada ada ikan asin di atas meja."Dalam hati aku sedikit tergelak, makan tuh ikan asin. Itu hidangan spesial buat kalian."Lho, kalo nggak mau makan sama ikan asin, mereka bisa masak sendiri kan, Mas?" ucapku. "Mereka lagi kecapekan, Dek. Kasihan kalo harus masak.""Sama, Mas. Aku juga kecapekan abis seharian ini kerja. Maaf ya, Mas." balasku."Kak Salma udah cek kulkas, tapi kosong. K