Aku terduduk lemas di lantai. Tulang di tubuhku seperti remuk. Andai tanah yang aku pijak terbelah dua, aku ingin tenggelam saat ini juga. Ya, Tuhan, mengapa Kau siksa aku seperti ini? Tak ada kebahagiaan yang tersisa sedikit pun untukku. Mengapa, Tuhan?
Aku tak kuasa menahan air mata yang terus berjatuhan. Tenggorokanku seperti ditusuk ribuan jarum. Hatiku apa lagi. Ibarat luka yang ditetesi cuka, kemudian dilumuri jeruk nipis. Sakitnya hingga merasuk ke setiap sel dalam tubuhku. Aku Istigfar berkali-kali. Menguatkan diri agar bisa berpikir jernih. Jika benar Emak tiada, aku harus pulang sekarang juga. Mustahil rasanya tak melihat wajah Emak untuk terakhir kalinya.
Aku mengangkat kepala dan menemukan Mega masih menatapku dengan wajah bingung. Terlalu banyak yang dia lihat pagi ini. Pasti Mega kecil kebingungan. Setelah melihat ayahnya mengamuk, dia harus melihat pula ibunya lunglai tak berdaya.
“Mama kenapa? Pipinya masih sakit?” t
“Pantaslah aku sangat ingin pulang. Ada yang mau membelot rupanya.” Asman turun dari mobil dengan gaya angkuh.Manusia berhati iblis itu mengangkat koperku tanpa basa-basi ke bagasi mobilnya. Dia menatapku dengan penuh kebencian sebelum menggendong Mega ke dalam pelukannya. Anak itu berontak saat sang ayah memaksanya naik ke mobil.“Mega mau sama Mama.” Teriakannya membuat hatiku ngilu.Asman tidak merespons ucapan Mega. Dia mendudukkan anakku di jok depan mobilnya. Lalu dia melirik sinis ke arahku.“Kalau kau mau pergi, jangan bawa anakku. Pergilah sendiri!” Dia berkata tegas.Dalam hati aku bersyukur karena seluruh uang dan perhiasan tidak aku letakkan di dalam koper itu. Jika memang itu permintaannya, aku akan pulang kampung sendiri. Dia pikir mudah mengurus anak berusia lima tahun sendiri.Aku kembali melangkah ke depan, menulikan telinga dari teriakan histeris Mega
"Kau bertemu Wina di mana?” tanya Bang Asman.Aku, yang sedang memasak mi instan karena kelaparan tengah malam, mengernyitkan kening. Sudah cukup lama kami perang dingin, mengapa malam ini mendadak dia berbicara kepadaku?“Di mal.”Sejujurnya sejak pertemuan hari itu, aku menjaga jarak dengan Handoko. Entah mengapa, aku merasa seperti dikhianati olehnya. Dia memang tak banyak bercerita mengenai keluarga, tetapi yang aku tangkap hubungannya tak harmonis dengan Wina. Kenyataan yang aku lihat malah sebaliknya. Mereka terlihat jelas bahagia. Aku merasa kehilangan teman sependeritaan.“Nah, pakai besok?”Bang Asman menyerahkan sebuah bungkusan.“Apa ini?” tanyaku tak acuh.“Seragam darma wanita.”Wah, kuat juga pengaruh si Wina terhadap suamiku. Bertahun-tah
Pukul satu siang aku memarkirkan mobil di garasi. Setelah pertemuan yang menguras banyak emosi dengan Handoko, tak ada hal yang ingin aku lakukan selain tidur. Mega terbiasa tidur siang sepulang sekolah, maka kali ini aku akan menemaninya. Tulang di tubuhku terasa tak berguna saat ini. Jika tak mengingat Mega, pasti tubuhku sudah rebah di kasur. “Makan dulu ya, Meg. Setelah itu kita tidur.” “Siap, Ma.” Mega berlari ke dalam. Sejak sekolah, Mega sudah cukup mandiri. Setiap pulang sekolah, dia melepas seragam dan mencuci tangan, kemudian makan. Mulut kecilnya akan berceloteh tentang apa saja selama makan. Terutama mengenai kejadian yang dia alami selama sekolah. Aku sering tertawa mendengar semua ceritanya. “Masa tadi April ngeledekin Mega, Ma.” Mega cekikikan saat menyuap ayam goreng ke mulutnya. “Ngeledekin apa?” tanyaku mengulum senyum. Aku selal
Sepanjang jalan menuju kantor Bang Asman kami membisu. Aku menatap ke luar jendela, enggan bercakap dengannya. Lelaki itu selalu menyulut api kemarahan dalam hatiku. Bang Asman sepertinya tak ada niat mengajakku berbicara. Dia menyetir sambil bersenandung, mengikuti lagu yang diputar radio. Aku dan pikiranku sibuk merencanakan bagaimana nanti aku harus bersikap di depan teman-teman kantor Bang Asman. Ini pertemuan kami yang pertama, dan tak mungkin aku bersikap seenaknya seperti di rumah. Mungkin aku harus menyalami mereka satu persatu, atau meminta Bang Asman mengenalkanku kepada seluruh peserta. Ah, persetan, aku tak perlu membuat siapa pun terkesan. Tak lama, mobil Bang Asman memasuki area kantor. Ternyata tidak jauh dari rumah. Aku sempat melirik arloji tadi, kami hanya menghabiskan tiga puluh menit di perjalanan. Jadi agak aneh memang kalau selama ini Bang Asman selalu pulang tengah malam. Seumur pernikahan kami, baru kali ini Bang Asma
Khafid mendekatiku. Senyum belum lepas dari bibir seksinya. Seksi? Iya, aku menilai bibir penuh berwarna merah jambu itu seksi. Astaga! Rasanya aku ingin memukul diri sendiri. Bisa-bisanya aku menilai seorang lelaki seksi. Jalang sekali. “Anggota baru?” Khafid bertanya dengan nada simpatik. “Istri Pak Asman, Pak.” “Wow. Pantaslah disembunyikan terus dalam lubang semut. Secantik ini ternyata. Hai, Bu, kenalin saya Khafid.” Pak Khafid mengulurkan tangannya kepadaku. Tak mungkin aku membiarkan tangan itu hampa di udara. Mau tak mau, aku menyambutnya. “Saya Era, Pak.” Pak Khafid tersenyum. “Sayang sekali kita telat ketemunya, Ra. Kalau aku duluan ketemu kamu, aku bisa pastikan kamu lebih milih aku daripada Asman.” Suara sorakan memenuhi gendang telingaku. Percakapan macam apa ini? Aku sungguh merasa murahan karena Pak Khafid bertindak seperti itu, tetapi aku tak punya cukup keberanian untuk
Wina membuka pintu berwarna cokelat yang tampak kokoh. Aroma Bang Asman memenuhi Indra penciumanku. Wajah tampannya sedang serius menghadap komputer. Beberapa lembar kertas terhampar di atas meja kerjanya. Sebenarnya, bekerja di bagian apa dia di kantor ini? Kami memang sudah lima tahun menikah, tetapi aku tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya. Aku lihat nama yang tertera di mejanya. Tengku Asman, SE Staff SDM Ruangan ini cukup besar, dan sepertinya bukan Bang Asman sendiri yang menghuni tempat ini. Aku perhatikan ada sekitar enam atau tujuh meja kosong. Wajar saja tempat ini sudah sepi. Matahari nyaris tenggelam di luar sana. Aku sedikit menggigil. Pendingin udara di ruangan ini sepertinya menyala maksimal. Bang Asman memang tak tahan panas. Setelah puas menyisir keseluruhan isi ruangan ini, mataku kembali menyusuri wajah
Sepanjang jalan tak ada lagi pembicaraan antara aku dan Khafid. Aku lebih banyak menoleh ke arah jendela. Menyaksikan pepohonan yang memenuhi sisi jalan protokol, sambil membayangkan kampung nun jauh di mata. Ada kerinduan yang tak pernah hilang dalam hatiku untuk menginjakkan kaki di Siak kembali. Paling tidak, melihat Emak.Aku menepis semua harapan. Bagiku, melihat kampung halaman kembali secara langsung adalah angan yang jauh dari kenyataan. Entah bagaimana bentuknya sekarang. Apakah masih ramai remaja yang menghabiskan waktu di pinggir sungai Siak? Atau jalanan tanah yang sering menyebabkan aku terjatuh mungkin sudah ditutup aspal. Entahlah.“Kita harus belok ke mana?” tanya Khafid.Aku menatap ke depan. Terkejut karena kami sudah sampai di persimpangan sebelum masuk jalan rumahku.“Kamu tahu rumahku?” Aku bertanya takjub. Bagaimana tidak, seluruh perjalanan ini aku habis
Waktu berlalu cepat. Tak terasa Mega sudah duduk di kelas dua sekolah dasar. Aku semakin tua. Ah, tetapi umur 27 rasanya belumlah terlalu tua. Andai aku bekerja, pastilah karierku sedang bagus-bagusnya. Sayang sekali, walaupun aku sudah mencari pekerjaan dengan mengandalkan staf Bang Asman, belum ada satu pun yang menerimaku.Untunglah Bang Asman masih seroyal yang dulu. Dia memberi uang gaji utuh untukku, ditambah penghasilan tambahan yang aku tak tahu dia dapatkan dari mana. Prinsipku, yang penting aku memiliki uang cukup untuk melakukan semua hal yang aku senangi. Hidupku sudah tidak bahagia, aku tak ingin terlalu menderita. Setidaknya ada satu hal yang membuatku tersenyum.Tak lupa aku menabung dengan memberi beberapa perhiasan setiap bulan. Aku tahu, karier Bang Asman tak akan selamanya. Suatu saat dia akan pensiun, dan dengan hubungan kami yang semakin lama semakin memburuk, tidak mungkin aku mengajaknya berdiskusi mengenai