Alarm berbunyi nyaring membangunkanku dari tidur. Dengan malas aku melirik jam, jam setengah lima. Aku harus segera bangun karena Mega akan sekolah hari ini. Hari pertama sekolah pasti sangat penting bagi seorang anak.
Setelah Salat Subuh, aku pergi ke dapur untuk menyiapkan bekal Mega. Untung Mbak Mur sempat menyetok ayam ungkep di kulkas. Mungkin aku akan menggorengnya sepotong atau dua potong.
Astaga! Aku hampir lupa menanak nasi. Cepat aku mencuci beras agar tak terlambat menyiapkan bekal. Mungkin sebaiknya aku menyuruh Mbak Mur membuat makanan cepat saji untuk aku simpan di kulkas agar aku tak repot setiap pagi. Ah, bisa juga nanti siang aku membeli roti. Mega suka sekali roti yang diolesi selai cokelat.
Aroma ayam goreng menguar di udara. Aku memasak air untuk menyeduh susu. Mega tak biasa sarapan berat. Segelas susu cokelat saja cukup bagi bocah itu. Sekalian aku membuat segelas teh tawar. Jarang-jarang aku bangun
Tidak seperti dugaanku, sesampainya di sekolah Mega malah merajuk dan tidak mau sekolah jika tidak aku temani. Padahal awalnya aku pikir akan aman meninggalkannya sebentar untuk service mobil ke bengkel.Mega merengek dengan wajah penuh air mata saat aku bilang aku akan meninggalkannya sebentar. Dia mengentakkan kaki ke lantai dan memeluk pinggangku erat.“Mega mau sama Mama. Mega enggak mau sekolah.” Teriakannya mengundang banyak mata memandang.“Iya, Nak. Iya. Mama di sini jagain Mega,” bujukku lembut.“Beneran, ya?” Akhirnya seulas senyum muncul di bibir gadisku.“Iya, dong! Mama kan enggak pernah bohong.”Aku membelai rambut cokelatnya. “Mama tunggu Mega di pendopo, ya. Kan Mega mau belajar, jadi Mama enggak mau ganggu.”Meskipun wajahnya tampak tidak rela, Mega mengangguk pe
25Aku berkeliling toko buku. Bagiku kini berburu novel kesukaan seperti hobi yang tak bisa aku tinggalkan. Aku membaca sekilas blurb beberapa novel sebelum memutuskan akan membeli yang mana.Setelah menemukan sepuluh buah novel, mataku kembali memindai seluruh sudut, mencari keberadaan mereka, Mega, Han, dan Arif—putra Handoko.Sebulan lebih Mega bersekolah, aku menjadi lebih dekat dengan Handoko. Seperti ABG labil yang sedang jatuh cinta, aku selalu berdandan lebih menor saat mengantar Mega sekolah. Bulan lalu, aku bangun subuh untuk memasak bekal Mega. Sekarang, aku bangun subuh dan menghabiskan seluruh waktu di depan meja rias. Memastikan lipstikku tidak norak tetapi cukup menarik. Bekal Mega aku serahkan sepenuhnya kepada asisten rumah tangga.Untuk pertama kalinya aku bersyukur memiliki Bang Asman yang sama sekali tak peduli kepadaku. Dia pasti tak bisa membaca perubahan sikapku. Aku
Hari libur selalu ditunggu oleh Mega sejak dia bersekolah. Seperti kali ini, dari semalam dia sudah merengek kepada Bang Asman agar meluangkan waktu untuk jalan-jalan. Aku hanya melihat dari sudut kamar melalui pintu yang terbuka, betapa Mega berusaha keras untuk membujuk ayahnya.“Pa, kita enggak pernah loh jalan-jalan bareng. Mega pengin ke Gramedia, terus nanti Papa bacain buku cerita kayak Om Han.”Bang Asman yang sedang menyesap kopi menghentikan gerakannya. Lelaki itu menatap Mega dengan sorot mata ingin tahu. Aku bergegas keluar. Mega terlalu polos untuk melindungiku dari kecurigaan Bang Asman. Lelaki itu memang aneh, dia tak pernah mencintaiku, tetapi memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap kehidupan pribadiku.“Siapa Om Han?” selidiknya.Aku menahan napas menunggu jawaban Mega. Tak mungkin aku nyeletuk seenaknya. Bisa-bisa Bang Asman makin curiga.
Aku terduduk lemas di lantai. Tulang di tubuhku seperti remuk. Andai tanah yang aku pijak terbelah dua, aku ingin tenggelam saat ini juga. Ya, Tuhan, mengapa Kau siksa aku seperti ini? Tak ada kebahagiaan yang tersisa sedikit pun untukku. Mengapa, Tuhan?Aku tak kuasa menahan air mata yang terus berjatuhan. Tenggorokanku seperti ditusuk ribuan jarum. Hatiku apa lagi. Ibarat luka yang ditetesi cuka, kemudian dilumuri jeruk nipis. Sakitnya hingga merasuk ke setiap sel dalam tubuhku. Aku Istigfar berkali-kali. Menguatkan diri agar bisa berpikir jernih. Jika benar Emak tiada, aku harus pulang sekarang juga. Mustahil rasanya tak melihat wajah Emak untuk terakhir kalinya.Aku mengangkat kepala dan menemukan Mega masih menatapku dengan wajah bingung. Terlalu banyak yang dia lihat pagi ini. Pasti Mega kecil kebingungan. Setelah melihat ayahnya mengamuk, dia harus melihat pula ibunya lunglai tak berdaya.“Mama kenapa? Pipinya masih sakit?” t
“Pantaslah aku sangat ingin pulang. Ada yang mau membelot rupanya.” Asman turun dari mobil dengan gaya angkuh.Manusia berhati iblis itu mengangkat koperku tanpa basa-basi ke bagasi mobilnya. Dia menatapku dengan penuh kebencian sebelum menggendong Mega ke dalam pelukannya. Anak itu berontak saat sang ayah memaksanya naik ke mobil.“Mega mau sama Mama.” Teriakannya membuat hatiku ngilu.Asman tidak merespons ucapan Mega. Dia mendudukkan anakku di jok depan mobilnya. Lalu dia melirik sinis ke arahku.“Kalau kau mau pergi, jangan bawa anakku. Pergilah sendiri!” Dia berkata tegas.Dalam hati aku bersyukur karena seluruh uang dan perhiasan tidak aku letakkan di dalam koper itu. Jika memang itu permintaannya, aku akan pulang kampung sendiri. Dia pikir mudah mengurus anak berusia lima tahun sendiri.Aku kembali melangkah ke depan, menulikan telinga dari teriakan histeris Mega
"Kau bertemu Wina di mana?” tanya Bang Asman.Aku, yang sedang memasak mi instan karena kelaparan tengah malam, mengernyitkan kening. Sudah cukup lama kami perang dingin, mengapa malam ini mendadak dia berbicara kepadaku?“Di mal.”Sejujurnya sejak pertemuan hari itu, aku menjaga jarak dengan Handoko. Entah mengapa, aku merasa seperti dikhianati olehnya. Dia memang tak banyak bercerita mengenai keluarga, tetapi yang aku tangkap hubungannya tak harmonis dengan Wina. Kenyataan yang aku lihat malah sebaliknya. Mereka terlihat jelas bahagia. Aku merasa kehilangan teman sependeritaan.“Nah, pakai besok?”Bang Asman menyerahkan sebuah bungkusan.“Apa ini?” tanyaku tak acuh.“Seragam darma wanita.”Wah, kuat juga pengaruh si Wina terhadap suamiku. Bertahun-tah
Pukul satu siang aku memarkirkan mobil di garasi. Setelah pertemuan yang menguras banyak emosi dengan Handoko, tak ada hal yang ingin aku lakukan selain tidur. Mega terbiasa tidur siang sepulang sekolah, maka kali ini aku akan menemaninya. Tulang di tubuhku terasa tak berguna saat ini. Jika tak mengingat Mega, pasti tubuhku sudah rebah di kasur. “Makan dulu ya, Meg. Setelah itu kita tidur.” “Siap, Ma.” Mega berlari ke dalam. Sejak sekolah, Mega sudah cukup mandiri. Setiap pulang sekolah, dia melepas seragam dan mencuci tangan, kemudian makan. Mulut kecilnya akan berceloteh tentang apa saja selama makan. Terutama mengenai kejadian yang dia alami selama sekolah. Aku sering tertawa mendengar semua ceritanya. “Masa tadi April ngeledekin Mega, Ma.” Mega cekikikan saat menyuap ayam goreng ke mulutnya. “Ngeledekin apa?” tanyaku mengulum senyum. Aku selal
Sepanjang jalan menuju kantor Bang Asman kami membisu. Aku menatap ke luar jendela, enggan bercakap dengannya. Lelaki itu selalu menyulut api kemarahan dalam hatiku. Bang Asman sepertinya tak ada niat mengajakku berbicara. Dia menyetir sambil bersenandung, mengikuti lagu yang diputar radio. Aku dan pikiranku sibuk merencanakan bagaimana nanti aku harus bersikap di depan teman-teman kantor Bang Asman. Ini pertemuan kami yang pertama, dan tak mungkin aku bersikap seenaknya seperti di rumah. Mungkin aku harus menyalami mereka satu persatu, atau meminta Bang Asman mengenalkanku kepada seluruh peserta. Ah, persetan, aku tak perlu membuat siapa pun terkesan. Tak lama, mobil Bang Asman memasuki area kantor. Ternyata tidak jauh dari rumah. Aku sempat melirik arloji tadi, kami hanya menghabiskan tiga puluh menit di perjalanan. Jadi agak aneh memang kalau selama ini Bang Asman selalu pulang tengah malam. Seumur pernikahan kami, baru kali ini Bang Asma