Debar di dadaku semakin kencang saat mobil memasuki area bandara. Ketakutan mendadak muncul mengingat diri ini belum pernah naik pesawat sendirian.
Hilir-mudik orang lalu-lalang, ditambah deru pesawat memenuhi gendang telinga, membuat keberanianku menguap entah ke mana. Lina memarkirkan mobil di tempat menurunkan calon penumpang pesawat.
“Sebenarnya aku pengin ngelarang kamu, Ra. Dalam kondisi hamil muda begini, bahaya banget pergi naik pesawat sendiri.” Lina menatapku dengan sorot mata cemas. Tangannya memegang tanganku.
Apakah benar perkataan Lina? Aku tak mau mengambil risiko kehilangan bayi di dalam kandungan, tetapi saat mengingat kehidupanku bersama Bang Asman yang bagai dalam neraka, aku membulatkan tekad.
“Enggak apa-apa, Na. Tenang aja. Aku kuat kok.”
“Kehamilanmu masih terlalu muda, Ra. Aku enggak yakin Bang Asman ngizinin. Kamu kabur?” selidiknya.
Tawaku pecah. Sebenarnya aku sangat kaget Lina bisa sampai pada kesimpulan seperti itu. Rasanya aku menutupi keadaan rumah tanggaku dengan sangat rapat. Namun, Lina bisa menebak hal yang sebenarnya dengan tepat.
“Ya enggaklah.” Aku menepiskan tangan ke udara, pura-pura santai mendengar tuduhan Lina.
“Aku enggak mau kehamilan kamu sampai kenapa-kenapa. Kamu tahu kan, betapa aku pengin punya anak juga. Kamu dapat rezeki duluan, ya dijagalah. Lagian, Ra, kita sama suami itu kudu banyak ngalah, jadi enggak usah pakai acara kabur segala.”
Aku menggelengkan kepala. Rasanya prasangka Lina terlalu jauh. Aku berhak diam. Maka, aku turun tanpa mengucapkan apa pun lagi. Persetan dengan semua tuduhannya. Apakah dia pernah berada dalam posisiku? Andai dia jadi aku, sebulan menikah sudah bunuh diri dia.
Setelah mengucapkan terima kasih pada Lina, aku turun dari mobil. Tak lupa aku mengambil koper yang berisi seluruh pakaian milikku.
“Makasih ya, Na.”
Aku melambaikan tangan pada Lina yang masih menunjukkan ekspresi tegang. Entah apa yang ada dalam benak perempuan itu. Aku tak pedul.
Aku memanggil seorang petugas untuk membantu membawakan koper. Padanya aku bertanya di mana aku dapat membeli tiket penerbangan ke Pekanbaru. Beruntung petugas itu sangat baik, dia berkenan mendampingiku. Di Jakarta ini jarang sekali berjumpa orang yang benar-benar baik. Terlebih jika menjumpai orang sepertiku yang tidak memiliki pengamalan apa-apa.
“Setelah ini tinggal check-in, Mbak.”
Aku mengangguk paham. Tak sulit ternyata.
Saat aku hendak mengantre untuk check-in, tanganku diraih oleh seseorang. Rasanya jantungku hendak melompat keluar. Apakah petugas tadi seorang penipu dan hendak merampokku? Namun, di sini sangat ramai, tidak mungkin dia berani berbuat macam-macam.
“Kau mau ke mana?” Sebuah suara yang aku kenal mendesis dekat telingaku. Ada amarah dalam nada suaranya.
“Bang Asman!” Aku berseru kaget. Mengapa dia tahu aku ada di sini? Pasti Lina yang berkhianat.
“Pulang!” Dia memeluk bahuku. “Pak, tolong koper istri saya dibawa ke mobil saya, ya. Ini dia lagi ngambek, makanya mau kabur.” Bang Asman tertawa kecil.
Petugas berseragam biru itu tertawa kecil. Tak dapat akal untuk mengelak, terpaksa aku mengikuti langkah Bang Asman.
“T-tapi, tiketnya.” Aku menunjukkan selembar tiket yang telah kubeli.
“Kasih saja sama Bapak ini, Dik. Nanti pasti dia bisa menjual dengan harga miring.” Bang Asaman mengelus pucuk kepalaku. “Pak, ambil saja tiket ini. Siapa tahu nanti ada yang butuh, bisa Bapak jual dengan harga murah.
Senyum semringah muncul di bibir lelaki itu. Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih pada Bang Asman, sambil sesekali tersenyum simpul ke arahku.
Saat tiba di mobil, lelaki berseragam itu menaikkan koper besarku ke dalam bagasi. Bang Asman dengan penuh kasih sayang menuntunku masuk ke mobil. Sempat aku melihat Bang Asman menyelipkan uang ke tangannya.
Munafik!
Bang Asman masuk dengan wajah gusar. Jelas sekali amarahnya belum hilang.
“Kau mau melempar kotoran ke wajahku?” bentaknya. “Apa kau tak bisa memikirkan apa yang akan terjadi kalau keluargaku sampai tahu kau kabur! Bodoh!”
Aku menghapus air mata yang menetes di pipi. Di depan orang lain sikapnya begitu manis padaku. Selalu seperti ini. Aku bosan dengan sandiwara ini.
“Kau pakai otak sedikit, Ra. Rumah tangga kita ya seperti ini”
“Aku tidak mau rumah tangga begini. Aku ingin rumah tangga normal. Aku ingin dicintai.”
Bang Asman menekan pedal gas dalam-dalam. Wajahnya merah hingga ke telinga.
“Cinta? Kau kenyang makan cinta? Kau puas dengan kasih sayang? Tidak ada yang bisa membahagiakan kita selain uang!”
Tangisku makin kencang. Tak dapat aku mungkiri, uang memang bisa memudahkan banyak urusan, tetapi ada kebutuhan dalam batinku. Sebagai perempuan aku juga butuh sosok yang mencintaiku.
“Aku sudah bilang, jangan menuntut banyak, karena kau pun tak memberi banyak.”
“Aku memberi hidupku! Menggadaikan masa depanku demi status sebagai istrimu! Lalu kau minta apa lagi, Asman!”
“Ingat, aku membayarmu untuk itu! Hidupmu enak bersamaku. Kalau kau masih di kampung, paling-paling jodohmu orang sana yang tidak memiliki apa-apa.”
Aku bungkam. Percuma aku bilang bahwa ada Fahmi, lelaki yang mencintaiku sepenuh hati. Dia bukan orang sembarangan, keluarganya pun cukup terpandang, statusnya sebagai petugas kepolisian jelas tak bisa dianggap sepele.
“Siapa yang memberi tahumu aku mau pergi?”
Bang Asman tertawa. “Tentu saja sahabatmu yang bodoh itu. Dia menelepon suaminya tadi pagi, dan mengabari kalau kau hendak pergi ke kampung.”
“Lina!” Aku menggeram.
“Wibi langsung menghubungiku. Katanya, Lina mencemaskan kehamilanmu.”
Aku menangis tersedu-sedu. Untuk pergi dari lelaki ini saja Tuhan tak mengizinkan. Kejam sekali takdir yang tertulis untukku.
“Kau ingat, Ra. Apa kata orang kampung sana kalau kau kabur dariku? Dosa Bah pasti akan diungkit lagi.”
Entah telingaku yang salah, atau memang benar Bang Asman merasa puas saat mengatakan hal tersebut.
“Jangan kau bawa-bawa Bah!”
“Lalu? Orang sana pasti akan mengasihaniku, Ra. Mereka iba karena aku memilihmu sebagai istri. Di tubuhmu mengalir darah peselingkuh.”
“Astaga! Kau tahu kan, dalam rumah tangga kita kau yang salah! Kau tak memedulikanku! Kau berselingkuh di luar sana.” Aku kehilangan kesabaran.
Bang Asman masih mengemudi dengan tenang. Dia tertawa melihat reaksiku.
“Kau pikir mereka sependapat denganmu? Mereka hanya melihat apa yang ada di depan mata, dan mereka hanya menilai berdasarkan apa yang ada dalam kepala mereka. Bagi mereka, keluarga Tengku Asnawi adalah panutan, tak mungkin berbuat salah. Sedangkan keluarga kau, Bah saja sudah selingkuh. Abang-abangmu apakah ada yang sukses? Tak ada!” Suara tawa Asman sangat sumbang. “Jadi, kau jangan berpikir untuk meninggalkanku.”
“Kau munafik!”
“Apa bedanya denganmu? Kau pikir aku tak tahu banyak lelaki yang datang ke rumah saat aku tak ada? Sudahlah, Ra. Kita ini sama, hanya kesempatan saja yang tak ada pada dirimu. Andai tak ada Lina, aku yakin kau bisa berbuat lebih dari sekadar melempar senyum kepada lelaki-lelaki itu.”
Aku terdiam. Kali ini, terpaksa aku mengakui kebenaran ucapan Bang Asman.
Semalaman aku menyesali keputusan untuk meminta Lina mengantarku ke bandara. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak dengan perempuan itu. Dia sudah tahu terlalu banyak.Aku tahu sebagai seseorang yang paling dekat denganku, merasa dirinya sebagai sahabatku, dia ingin menjagaku. Pun karena dia tahu aku sedang hamil muda. Lina mencemaskan janin dalam rahimku sebab dia sangat ingin punya anak. Namun, jika dia sudah ikut campur terlalu dalam seperti ini, bukankah aku berhak menjauh?Pikiranku sarat sesal, juga kerinduan pada kampung halaman. Apakah Emak sehat? Siapa yang memasak di rumah kini? Emak sudah tua, fisiknya tak terlalu kuat untuk bekerja berat. Ditambah pukulan batin yang dia alami sejak Bah menikah lagi, kondisi kesehatan Emak semakin menurun.Pukul satu malam aku masih terjaga. Mataku nyalang menatap dinding berwarna abu-abu yang menjadi batas antara kamarku dan ruangan lain di rumah ini. Rasa hampa menggerogoti
Minggu pagi yang cerah ini aku berjalan-jalan seorang diri di sekitar rumah. Menurut Bu Bidan, jalan pagi itu penting untuk mempermudah proses persalinan nanti. Kehamilanku sudah memasuki bulan ke sembilan. Jika benar perkiraan bidan, aku akan melahirkan pertengahan bulan ini.Beberapa kali aku berselisih jalan dengan tetangga yang sedang olahraga pagi. Seperti biasa, mereka menanyakan suamiku. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Mungkin aneh bagi sebagian orang, sebab perempuan hamil pada umumnya jalan pagi bersama suami.Setelah mengeluarkan cukup banyak keringat, aku memutuskan untuk pulang. Tak lupa membeli nasi uduk untuk sarapan di rumah.Sejak hamil aku memang lebih santai. Bang Asman membayar seorang asisten rumah tangga untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Mbak Mur hanya bertugas mencuci dan menyetrika.Sesampainya di rumah, aku melihat sebuah mobil pickup baru saja meninggalkan hal
Persalinanku mungkin adalah persalinan paling menyakitkan. Perempuan lain melahirkan didampingi suami, atau paling tidak ibu mereka. Sedangkan aku, menderita di ruang bersalin itu seorang diri. Sakit yang mengalir di tubuhku, tak lebih sakit dari luka dalam hatiku.Lina sudah pulang sejak tadi, sedangkan suamiku entah berada di mana. Saat bidan memeriksa pembukaan jalan lahir, air mata menganak sungai di pipi.“Sudah pembukaan delapan, Ra. Kuat, ya.”Aku meringis menahan sakit luar biasa yang setiap sebentar timbul. Tubuhku terbaring di ranjang beralas kain putih ini seorang diri. Dalam hati nelangsa karena harus menghadapi proses antara hidup dan mati ini sendiri.Rasanya setiap rasa sakit itu datang, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Luar biasa rasanya. Seperti tubuhku dipatah-patahkan. Belum pernah aku merasa sakit yang sesakit ini.Bu Bidan baik hati itu setia me
Aku pikir Bang Asman akan berubah setelah kami memiliki Mega. Ternyata tidak. Dia tetap dengan tabiat lamanya. Pergi subuh buta, pulang tengah malam. Sedikit saja yang berubah, dia lebih rajin masuk kamarku dan bercanda dengan Mega kecil. Bayi mungil itu sudah bisa merespons jika diajak bergurau oleh ayahnya.Seperti hari ini, Sabtu pagi yang cerah Bang Asman terbaring di ranjang kamarku. Bercengkerama dengan Mega. Bayi berumur tujuh hari itu memang menggemaskan.“Ibu pasti senang kalau melihat Mega secantik ini,” ujarku. Aku sengaja memancing reaksinya. Tujuanku jelas saja, agar dia mengajakku pulang kampung. Rinduku pada kampung halaman sudah tak tertahan lagi. Bahkan aku sering kali bermimpi berjumpa dengan Emak. Apa kabar wanitaku itu? Sehatkah dia di sana?“Pastinya, Ra.” Bang Asman menjawab. “Aku sudah mengabari ke kampung kita bahwa kau telah melahirkan. Pasti tak lama lagi banyak kad
Gadis kecil yang aku lahirkan lima tahun lalu kini sudah masuk TK. Mega sangat cantik dengan gaun merah berenda melekat di tubuhnya. Rambut ikalnya aku kepang dua dengan menyisakan sedikit poni di bagian kanan dan kiri. Kulit Mega mewarisi kulitku, kuning langsat. Hanya itu dari diriku yang ada padanya. Selebihnya Mega adalah Bang Asman versi perempuan.Aku mengajaknya mendaftar sekolah hari ini. Gadis cilik bertubuh tinggi itu senang sekali. Dia berlari ke sana dan kemari. Memainkan semua mainan yang ada di halaman. Bertanya ini dan itu kepada ibu guru. Aku bangga sebab begitu banyak mata yang mengagumi Mega.“Pintarnya.” Ibu guru memuji saat Mega berhasil menyebutkan nama lengkapnya.Mega tersenyum senang. Anak itu memang senang sekali dipuji. Ah, bukankah semua anak-anak begitu?Sekolah yang aku pilih tergolong mahal. Tak apalah, pikirku. Toh Mega anak semata wayang kami. Dan sepertinya mustahil aku bisa memberinya adik. Sejak M
Malam ini aku sengaja menunggui Bang Asman pulang. Malam sudah larut, tetapi suara mobilnya belum juga terdengar memasuki halaman. Seharusnya aku cemburu sebab lelakiku pergi hingga tengah malam tanpa aku tahu ke mana tujuannya. Namun, rasa itu sudah lama menguap dari dalam hatiku.Aku menarik napas lamat-lamat. Mengisi paru-paru dengan oksigen. Duduk di ruang tengah berukuran besar ini seorang diri, terasa kekosongan dalam hati. Ah, sudah sejak lama memang jiwaku hampa. Bang Asman tak mampu mengisinya, tak bisa menambal ruang-ruang kosong yang semakin luas sejak Bah tiada. Lelaki itu malah menambah lebar kehampaan dalam dada.Jarak kami semakin renggang seiring semakin besarnya rumah ini. Bang Asman suka sekali menambah ruangan, padahal aku lebih suka rumah yang kecil tetapi terasa hangat. Seperti rumah Emak di kampung. Rumah yang awalnya memiliki tiga kamar, kini membesar menjadi lima kamar. Ada pula ruangan khusus untuk perpustakaan priba
Alarm berbunyi nyaring membangunkanku dari tidur. Dengan malas aku melirik jam, jam setengah lima. Aku harus segera bangun karena Mega akan sekolah hari ini. Hari pertama sekolah pasti sangat penting bagi seorang anak.Setelah Salat Subuh, aku pergi ke dapur untuk menyiapkan bekal Mega. Untung Mbak Mur sempat menyetok ayam ungkep di kulkas. Mungkin aku akan menggorengnya sepotong atau dua potong.Astaga! Aku hampir lupa menanak nasi. Cepat aku mencuci beras agar tak terlambat menyiapkan bekal. Mungkin sebaiknya aku menyuruh Mbak Mur membuat makanan cepat saji untuk aku simpan di kulkas agar aku tak repot setiap pagi. Ah, bisa juga nanti siang aku membeli roti. Mega suka sekali roti yang diolesi selai cokelat.Aroma ayam goreng menguar di udara. Aku memasak air untuk menyeduh susu. Mega tak biasa sarapan berat. Segelas susu cokelat saja cukup bagi bocah itu. Sekalian aku membuat segelas teh tawar. Jarang-jarang aku bangun
Tidak seperti dugaanku, sesampainya di sekolah Mega malah merajuk dan tidak mau sekolah jika tidak aku temani. Padahal awalnya aku pikir akan aman meninggalkannya sebentar untuk service mobil ke bengkel.Mega merengek dengan wajah penuh air mata saat aku bilang aku akan meninggalkannya sebentar. Dia mengentakkan kaki ke lantai dan memeluk pinggangku erat.“Mega mau sama Mama. Mega enggak mau sekolah.” Teriakannya mengundang banyak mata memandang.“Iya, Nak. Iya. Mama di sini jagain Mega,” bujukku lembut.“Beneran, ya?” Akhirnya seulas senyum muncul di bibir gadisku.“Iya, dong! Mama kan enggak pernah bohong.”Aku membelai rambut cokelatnya. “Mama tunggu Mega di pendopo, ya. Kan Mega mau belajar, jadi Mama enggak mau ganggu.”Meskipun wajahnya tampak tidak rela, Mega mengangguk pe