Aku terbangun pagi ini dengan pikiran lebih tenang. Rencana kabur itu membuat semangat hidupku menyala kembali. Aku yakin, Bang Asman tak akan mencariku. Malah mungkin dia senang karena aku tak akan lagi menjadi bebannya.
Aku melirik jam dinding. Sudah pukul lima subuh. Aku memaksa diri untuk bangun, walaupun kepalaku sedikit pusing. Menurut artikel yang aku baca, ibu hamil memang mengalami pusing pada kehamilan tiga bulan pertama.
Setelah ibadah subuh, aku menurunkan koper besar yang ada di atas lemari, membersihkan debu yang menempel di sana, lalu aku memasukkan semua baju ke dalamnya. Tak lupa perhiasan dan barang berharga lain aku kemas dalam tas kecil yang akan aku jinjing nanti.
Dadaku sesak dengan rasa bahagia. Meninggalkan Bang Asman dan semua duka di sini seperti sebuah tujuan dalam hidupku kini. Aku rasa, jauh dari kehidupan Bang Asman membuat hidupku lebih bahagia. Kasihan sekali bayi di dalam rahimku jika dia tumbuh dalam ketidakbahagiaan.
Suasana belum terang betul saat aku dengar Bang Asman memanaskan mobilnya. Aku mengintip dari balik gorden kamar, dia sudah siap mengenakan pakaian dinas.
Lama aku termenung menatap wajahnya. Sebenarnya wajah Bang Asman sangat tampan. Dengan kulit cokelat terang, rambut lurus yang senantiasa tersisir rapi ke belakang, dan tubuh tegap tanpa gangguan lemak sedikit pun. Andai dia mencintaiku, tentu tak sulit bagi diriku untuk membalas perasaannya. Sayang, dia memperlakukanku tak lebih sebagai pajangan belaka.
Kadang aku merasa dia bangga membawaku ke acara kantornya, memperkenalkanku kepada sejawatnya. Beberapa dari mereka memuji Bang Asman karena memiliki istri berwajah rupawan. Bahkan aku dapat menangkap tatapan iri para istri saat menatap diriku berdiri di samping Bang Asman.
Tak dapat aku mungkiri, wajahku tidaklah jelek. Menurut sebagian orang, wajah bulat dengan pipi berisi, dan kulit kuning langsat yang aku miliki, membuat beberapa lelaki mudah terpesona padaku. Rambut ikal yang aku biarkan tumbuh hingga menyentuh punggung menjadi daya tarik tersendiri. Ah, aku lupa bilang, sejak pindah ke ibu kota, aku melepas kerudung. Tak ada gunanya menurutku. Di sini aku jarang menemui perempuan muda menutup keindahan rambutnya. Beda dengan di kampungku, seluruh perempuan menutup rapat kepala mereka.
Aku tidak tahu, apakah wajahku ini terkesan lugu, atau malah tatapanku ini terlalu berani. Tak satu dua orang teman Bang Asman menggodaku di balik punggungnya. Jangan tanya bagaimana caranya, bahkan di antara mereka ada yang berani datang siang hari, karena yakin Bang Asman tidak ada di rumah saat itu.
Aku tahu, Bang Asman sering melihat buket bunga, atau sekotak kue di meja makan. Semua dari rekan-rekannya. Dia tak pernah bertanya dari siapa atau untuk siapa. Tak ada kecemburuan layaknya seorang suami.
Seorang istri tentu berharap dicintai sepenuh hati, dan salah satu tanda cinta adalah cemburu. Ah, bagaimana mungkin aku bisa bahagia jika dia tidak mencintaiku sedikit pun. Aku ingin dia cemburu akan perhatian lelaki lain padaku. Aku ingin dia menunjukkan rasa kepemilikan pada diriku. Aku ini istrinya, dan dia berhak memarahiku untuk setiap kesalahan yang aku lakukan.
Aku sadar aku salah saat membuka pintu untuk lelaki lain saat Bang Asman tak ada di rumah, tetapi bagaimana menepis rasa bahagia karena tatapan lelaki-lelaki yang mengagumiku itu? Hatiku hangat saat mereka datang sekadar mengantar buah tangan.
Mungkin aku cukup beruntung karena ada Lina yang menjadi tembok bagi diriku. Dia seolah tahu bahwa hilir-mudik teman-teman Bang Asman datang untuk menemuiku itu dengan maksud lain. Lina memang tak pernah melarangku secara terus terang untuk menolak semua hadiah yang datang, tetapi sikapnya yang defensif dan melindungi, membuatku sedikit membatasi diri.
Lamunanku buyar saat mendengar pintu rumah dikunci dari luar. Rumah tangga kami memang begini. Bang Asman memiliki kunci rumah sendiri, aku pun sama. Jadi kami tidak saling mengganggu. Jika dia pulang larut malam dan aku sudah tertidur, dia bisa masuk ke rumah tanpa harus membangunkanku.
Aku lihat lelaki itu sudah siap dengan tas tangan. Dia tak melihat sedikit pun ke jendela kamarku. Dia memang tak peduli sama sekali.
Setelah mobilnya hilang meninggalkan kepulan asap di halaman, aku mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa tiba di bandara pagi ini. Kampungku jauh, jadi sebaiknya memang aku berangkat pagi sekali. Setidaknya, hari masih terang ketika aku tiba di sana. Ah, tidak pun bisa tiba di sana hari ini, paling tidak aku sudah meninggalkan tempat ini.
Gegas aku membenahi koper dan semua benda yang akan aku bawa nanti. Setelah mandi, aku akan langsung ke bandara. Tak perlu pamit dengan siapa pun, bahkan dengan Lina aku tak akan meninggalkan pesan apa-apa. Jika perempuan itu tahu, besar kemungkinan dia akan mengadu pada Bang Asman.
Debar jantungku kian tak terkendali saat aku lirik jam di dinding di ruang tengah. Sudah pukul delapan. Sebaiknya aku segera berangkat.
Seperti anak murid yang hendak kabur saat jam pelajaran, aku terburu-buru menyeret koper berukuran besar ke depan. Otakku masih berpikir bagaimana caranya agar aku bisa tiba di bandara tepat waktu. Naik ojek jelas tidak mungkin. Akan menimbulkan kecurigaan bagi siapa saja yang melihatku.
Aku memang bodoh, bahkan untuk kabur saja aku tak menemukan jalan. Tak mungkin aku minta antar Lina, bisa hancur semua rencanaku jika dia tahu. Hei, tunggu. Aku bisa saja beralasan hendak melihat Emak yang sedang sakit. Namun, ah, aku tak berani. Berbohong itu, apa pun alasannya pasti akan mendapatkan bala.
Ah, aku ada ide. Aku saja bilang saja hendak melihat kakakku yang baru melahirkan. Bukankah aku tidak memiliki kakak? Jadi tak apalah aku berbohong seperti ini.
Segera aku mengetuk pintu rumah Lina, tentu saja setelah meyakinkan diri bahwa Mas Wibi sudah pergi. Wibi dan Bang Asman cukup dekat. Bisa saja dia menceritakan kepergianku kepada Bang Asman.
Lina melongo saat melihatku datang membawa koper besar. Belum sempat mengutarakan keheranannya, aku sudah nyerocos minta diantarkan ke bandara.
“Bang Asman enggak bisa?” tanyanya ragu.
“Ada rapat, Na. Tolong, dong. Kakakku lahiran, masa aku enggak datang.”
Dia mengangguk tanpa berkata ya. Keningnya mengernyit. Aku yakin dia masih enggan mengantarku. Maka bualan demi bualan cerita palsu mengenai kakakku, terlepas begitu saja. Aku memaksa Lina berganti pakaian dan mengantarku ke bandara.
Setelah menunggu lama, aku dan Lina sudah di perjalanan. Wajah Lina terlihat tidak tenang entah karena apa.
“Kamu yakin bisa pulang sendiri?” Lina terlihat masih ragu ketika kami sudah dalam perjalanan.
“Ya ampun, Na. Ini pulang ke rumahku, loh. Masa aku enggak bisa.”
Lina mengembuskan napas cukup keras. Aku tak peduli, asal bisa sampai di bandara tepat waktu, segala keluhan Lina tak berarti bagiku.
Debar di dadaku semakin kencang saat mobil memasuki area bandara. Ketakutan mendadak muncul mengingat diri ini belum pernah naik pesawat sendirian.Hilir-mudik orang lalu-lalang, ditambah deru pesawat memenuhi gendang telinga, membuat keberanianku menguap entah ke mana. Lina memarkirkan mobil di tempat menurunkan calon penumpang pesawat.“Sebenarnya aku pengin ngelarang kamu, Ra. Dalam kondisi hamil muda begini, bahaya banget pergi naik pesawat sendiri.” Lina menatapku dengan sorot mata cemas. Tangannya memegang tanganku.Apakah benar perkataan Lina? Aku tak mau mengambil risiko kehilangan bayi di dalam kandungan, tetapi saat mengingat kehidupanku bersama Bang Asman yang bagai dalam neraka, aku membulatkan tekad.“Enggak apa-apa, Na. Tenang aja. Aku kuat kok.”“Kehamilanmu masih terlalu muda, Ra. Aku enggak yakin Bang Asman ngizinin. Kamu kabur?&rdqu
Semalaman aku menyesali keputusan untuk meminta Lina mengantarku ke bandara. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak dengan perempuan itu. Dia sudah tahu terlalu banyak.Aku tahu sebagai seseorang yang paling dekat denganku, merasa dirinya sebagai sahabatku, dia ingin menjagaku. Pun karena dia tahu aku sedang hamil muda. Lina mencemaskan janin dalam rahimku sebab dia sangat ingin punya anak. Namun, jika dia sudah ikut campur terlalu dalam seperti ini, bukankah aku berhak menjauh?Pikiranku sarat sesal, juga kerinduan pada kampung halaman. Apakah Emak sehat? Siapa yang memasak di rumah kini? Emak sudah tua, fisiknya tak terlalu kuat untuk bekerja berat. Ditambah pukulan batin yang dia alami sejak Bah menikah lagi, kondisi kesehatan Emak semakin menurun.Pukul satu malam aku masih terjaga. Mataku nyalang menatap dinding berwarna abu-abu yang menjadi batas antara kamarku dan ruangan lain di rumah ini. Rasa hampa menggerogoti
Minggu pagi yang cerah ini aku berjalan-jalan seorang diri di sekitar rumah. Menurut Bu Bidan, jalan pagi itu penting untuk mempermudah proses persalinan nanti. Kehamilanku sudah memasuki bulan ke sembilan. Jika benar perkiraan bidan, aku akan melahirkan pertengahan bulan ini.Beberapa kali aku berselisih jalan dengan tetangga yang sedang olahraga pagi. Seperti biasa, mereka menanyakan suamiku. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Mungkin aneh bagi sebagian orang, sebab perempuan hamil pada umumnya jalan pagi bersama suami.Setelah mengeluarkan cukup banyak keringat, aku memutuskan untuk pulang. Tak lupa membeli nasi uduk untuk sarapan di rumah.Sejak hamil aku memang lebih santai. Bang Asman membayar seorang asisten rumah tangga untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Mbak Mur hanya bertugas mencuci dan menyetrika.Sesampainya di rumah, aku melihat sebuah mobil pickup baru saja meninggalkan hal
Persalinanku mungkin adalah persalinan paling menyakitkan. Perempuan lain melahirkan didampingi suami, atau paling tidak ibu mereka. Sedangkan aku, menderita di ruang bersalin itu seorang diri. Sakit yang mengalir di tubuhku, tak lebih sakit dari luka dalam hatiku.Lina sudah pulang sejak tadi, sedangkan suamiku entah berada di mana. Saat bidan memeriksa pembukaan jalan lahir, air mata menganak sungai di pipi.“Sudah pembukaan delapan, Ra. Kuat, ya.”Aku meringis menahan sakit luar biasa yang setiap sebentar timbul. Tubuhku terbaring di ranjang beralas kain putih ini seorang diri. Dalam hati nelangsa karena harus menghadapi proses antara hidup dan mati ini sendiri.Rasanya setiap rasa sakit itu datang, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Luar biasa rasanya. Seperti tubuhku dipatah-patahkan. Belum pernah aku merasa sakit yang sesakit ini.Bu Bidan baik hati itu setia me
Aku pikir Bang Asman akan berubah setelah kami memiliki Mega. Ternyata tidak. Dia tetap dengan tabiat lamanya. Pergi subuh buta, pulang tengah malam. Sedikit saja yang berubah, dia lebih rajin masuk kamarku dan bercanda dengan Mega kecil. Bayi mungil itu sudah bisa merespons jika diajak bergurau oleh ayahnya.Seperti hari ini, Sabtu pagi yang cerah Bang Asman terbaring di ranjang kamarku. Bercengkerama dengan Mega. Bayi berumur tujuh hari itu memang menggemaskan.“Ibu pasti senang kalau melihat Mega secantik ini,” ujarku. Aku sengaja memancing reaksinya. Tujuanku jelas saja, agar dia mengajakku pulang kampung. Rinduku pada kampung halaman sudah tak tertahan lagi. Bahkan aku sering kali bermimpi berjumpa dengan Emak. Apa kabar wanitaku itu? Sehatkah dia di sana?“Pastinya, Ra.” Bang Asman menjawab. “Aku sudah mengabari ke kampung kita bahwa kau telah melahirkan. Pasti tak lama lagi banyak kad
Gadis kecil yang aku lahirkan lima tahun lalu kini sudah masuk TK. Mega sangat cantik dengan gaun merah berenda melekat di tubuhnya. Rambut ikalnya aku kepang dua dengan menyisakan sedikit poni di bagian kanan dan kiri. Kulit Mega mewarisi kulitku, kuning langsat. Hanya itu dari diriku yang ada padanya. Selebihnya Mega adalah Bang Asman versi perempuan.Aku mengajaknya mendaftar sekolah hari ini. Gadis cilik bertubuh tinggi itu senang sekali. Dia berlari ke sana dan kemari. Memainkan semua mainan yang ada di halaman. Bertanya ini dan itu kepada ibu guru. Aku bangga sebab begitu banyak mata yang mengagumi Mega.“Pintarnya.” Ibu guru memuji saat Mega berhasil menyebutkan nama lengkapnya.Mega tersenyum senang. Anak itu memang senang sekali dipuji. Ah, bukankah semua anak-anak begitu?Sekolah yang aku pilih tergolong mahal. Tak apalah, pikirku. Toh Mega anak semata wayang kami. Dan sepertinya mustahil aku bisa memberinya adik. Sejak M
Malam ini aku sengaja menunggui Bang Asman pulang. Malam sudah larut, tetapi suara mobilnya belum juga terdengar memasuki halaman. Seharusnya aku cemburu sebab lelakiku pergi hingga tengah malam tanpa aku tahu ke mana tujuannya. Namun, rasa itu sudah lama menguap dari dalam hatiku.Aku menarik napas lamat-lamat. Mengisi paru-paru dengan oksigen. Duduk di ruang tengah berukuran besar ini seorang diri, terasa kekosongan dalam hati. Ah, sudah sejak lama memang jiwaku hampa. Bang Asman tak mampu mengisinya, tak bisa menambal ruang-ruang kosong yang semakin luas sejak Bah tiada. Lelaki itu malah menambah lebar kehampaan dalam dada.Jarak kami semakin renggang seiring semakin besarnya rumah ini. Bang Asman suka sekali menambah ruangan, padahal aku lebih suka rumah yang kecil tetapi terasa hangat. Seperti rumah Emak di kampung. Rumah yang awalnya memiliki tiga kamar, kini membesar menjadi lima kamar. Ada pula ruangan khusus untuk perpustakaan priba
Alarm berbunyi nyaring membangunkanku dari tidur. Dengan malas aku melirik jam, jam setengah lima. Aku harus segera bangun karena Mega akan sekolah hari ini. Hari pertama sekolah pasti sangat penting bagi seorang anak.Setelah Salat Subuh, aku pergi ke dapur untuk menyiapkan bekal Mega. Untung Mbak Mur sempat menyetok ayam ungkep di kulkas. Mungkin aku akan menggorengnya sepotong atau dua potong.Astaga! Aku hampir lupa menanak nasi. Cepat aku mencuci beras agar tak terlambat menyiapkan bekal. Mungkin sebaiknya aku menyuruh Mbak Mur membuat makanan cepat saji untuk aku simpan di kulkas agar aku tak repot setiap pagi. Ah, bisa juga nanti siang aku membeli roti. Mega suka sekali roti yang diolesi selai cokelat.Aroma ayam goreng menguar di udara. Aku memasak air untuk menyeduh susu. Mega tak biasa sarapan berat. Segelas susu cokelat saja cukup bagi bocah itu. Sekalian aku membuat segelas teh tawar. Jarang-jarang aku bangun