Share

Pergi

Aku terbangun pagi ini dengan pikiran lebih tenang. Rencana kabur itu membuat semangat hidupku menyala kembali. Aku yakin, Bang Asman tak akan mencariku. Malah mungkin dia senang karena aku tak akan lagi menjadi bebannya.

Aku melirik jam dinding. Sudah pukul lima subuh. Aku memaksa diri untuk bangun, walaupun kepalaku sedikit pusing. Menurut artikel yang aku baca, ibu hamil memang mengalami pusing pada kehamilan tiga bulan pertama.

Setelah ibadah subuh, aku menurunkan koper besar yang ada di atas lemari, membersihkan debu yang menempel di sana, lalu aku memasukkan semua baju ke dalamnya. Tak lupa perhiasan dan barang berharga lain aku kemas dalam tas kecil yang akan aku jinjing nanti.

Dadaku sesak dengan rasa bahagia. Meninggalkan Bang Asman dan semua duka di sini seperti sebuah tujuan dalam hidupku kini. Aku rasa, jauh dari kehidupan Bang Asman membuat hidupku lebih bahagia. Kasihan sekali bayi di dalam rahimku jika dia tumbuh dalam ketidakbahagiaan.

Suasana belum terang betul saat aku dengar Bang Asman memanaskan mobilnya. Aku mengintip dari balik gorden kamar, dia sudah siap mengenakan pakaian dinas.

Lama aku termenung menatap wajahnya. Sebenarnya wajah Bang Asman sangat tampan. Dengan kulit cokelat terang, rambut lurus yang senantiasa tersisir rapi ke belakang, dan tubuh tegap tanpa gangguan lemak sedikit pun. Andai dia mencintaiku, tentu tak sulit bagi diriku untuk membalas perasaannya. Sayang, dia memperlakukanku tak lebih sebagai pajangan belaka.

Kadang aku merasa dia bangga membawaku ke acara kantornya, memperkenalkanku kepada sejawatnya. Beberapa dari mereka memuji Bang Asman karena memiliki istri berwajah rupawan. Bahkan aku dapat menangkap tatapan iri para istri saat menatap diriku berdiri di samping Bang Asman.

Tak dapat aku mungkiri, wajahku tidaklah jelek. Menurut sebagian orang, wajah bulat dengan pipi berisi, dan kulit kuning langsat yang aku miliki, membuat beberapa lelaki mudah terpesona padaku. Rambut ikal yang aku biarkan tumbuh hingga menyentuh punggung menjadi daya tarik tersendiri. Ah, aku lupa bilang, sejak pindah ke ibu kota, aku melepas kerudung. Tak ada gunanya menurutku. Di sini aku jarang menemui perempuan muda menutup keindahan rambutnya. Beda dengan di kampungku, seluruh perempuan menutup rapat kepala mereka.

Aku tidak tahu, apakah wajahku ini terkesan lugu, atau malah tatapanku ini terlalu berani. Tak satu dua orang teman Bang Asman menggodaku di balik punggungnya. Jangan tanya bagaimana caranya, bahkan di antara mereka ada yang berani datang siang hari, karena yakin Bang Asman tidak ada di rumah saat itu.

Aku tahu, Bang Asman sering melihat buket bunga, atau sekotak kue di meja makan. Semua dari rekan-rekannya. Dia tak pernah bertanya dari siapa atau untuk siapa. Tak ada kecemburuan layaknya seorang suami.

Seorang istri tentu berharap dicintai sepenuh hati, dan salah satu tanda cinta adalah cemburu. Ah, bagaimana mungkin aku bisa bahagia jika dia tidak mencintaiku sedikit pun. Aku ingin dia cemburu akan perhatian lelaki lain padaku. Aku ingin dia menunjukkan rasa kepemilikan pada diriku. Aku ini istrinya, dan dia berhak memarahiku untuk setiap kesalahan yang aku lakukan.

Aku sadar aku salah saat membuka pintu untuk lelaki lain saat Bang Asman tak ada di rumah, tetapi bagaimana menepis rasa bahagia karena tatapan lelaki-lelaki yang mengagumiku itu? Hatiku hangat saat mereka datang sekadar mengantar buah tangan.

Mungkin aku cukup beruntung karena ada Lina yang menjadi tembok bagi diriku. Dia seolah tahu bahwa hilir-mudik teman-teman Bang Asman datang untuk menemuiku itu dengan maksud lain. Lina memang tak pernah melarangku secara terus terang untuk menolak semua hadiah yang datang, tetapi sikapnya yang defensif dan melindungi, membuatku sedikit membatasi diri.

Lamunanku buyar saat mendengar pintu rumah dikunci dari luar. Rumah tangga kami memang begini. Bang Asman memiliki kunci rumah sendiri, aku pun sama. Jadi kami tidak saling mengganggu. Jika dia pulang larut malam dan aku sudah tertidur, dia bisa masuk ke rumah tanpa harus membangunkanku.

Aku lihat lelaki itu sudah siap dengan tas tangan. Dia tak melihat sedikit pun ke jendela kamarku. Dia memang tak peduli sama sekali.

Setelah mobilnya hilang meninggalkan kepulan asap di halaman, aku mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa tiba di bandara pagi ini. Kampungku jauh, jadi sebaiknya memang aku berangkat pagi sekali. Setidaknya, hari masih terang ketika aku tiba di sana. Ah, tidak pun bisa tiba di sana hari ini, paling tidak aku sudah meninggalkan tempat ini.

Gegas aku membenahi koper dan semua benda yang akan aku bawa nanti. Setelah mandi, aku akan langsung ke bandara. Tak perlu pamit dengan siapa pun, bahkan dengan Lina aku tak akan meninggalkan pesan apa-apa. Jika perempuan itu tahu, besar kemungkinan dia akan mengadu pada Bang Asman.

Debar jantungku kian tak terkendali saat aku lirik jam di dinding di ruang tengah. Sudah pukul delapan. Sebaiknya aku segera berangkat.

Seperti anak murid yang hendak kabur saat jam pelajaran, aku terburu-buru menyeret koper berukuran besar ke depan. Otakku masih berpikir bagaimana caranya agar aku bisa tiba di bandara tepat waktu. Naik ojek jelas tidak mungkin. Akan menimbulkan kecurigaan bagi siapa saja yang melihatku.

Aku memang bodoh, bahkan untuk kabur saja aku tak menemukan jalan. Tak mungkin aku minta antar Lina, bisa hancur semua rencanaku jika dia tahu. Hei, tunggu. Aku bisa saja beralasan hendak melihat Emak yang sedang sakit. Namun, ah, aku tak berani. Berbohong itu, apa pun alasannya pasti akan mendapatkan bala.

Ah, aku ada ide. Aku saja bilang saja hendak melihat kakakku yang baru melahirkan. Bukankah aku tidak memiliki kakak? Jadi tak apalah aku berbohong seperti ini.

Segera aku mengetuk pintu rumah Lina, tentu saja setelah meyakinkan diri bahwa Mas Wibi sudah pergi. Wibi dan Bang Asman cukup dekat. Bisa saja dia menceritakan kepergianku kepada Bang Asman.

Lina melongo saat melihatku datang membawa koper besar. Belum sempat mengutarakan keheranannya, aku sudah nyerocos minta diantarkan ke bandara.

“Bang Asman enggak bisa?” tanyanya ragu.

“Ada rapat, Na. Tolong, dong. Kakakku lahiran, masa aku enggak datang.”

Dia mengangguk tanpa berkata ya. Keningnya mengernyit. Aku yakin dia masih enggan mengantarku. Maka bualan demi bualan cerita palsu mengenai kakakku, terlepas begitu saja. Aku memaksa Lina berganti pakaian dan mengantarku ke bandara.

Setelah menunggu lama, aku dan Lina sudah di perjalanan. Wajah Lina terlihat tidak tenang entah karena apa.

“Kamu yakin bisa pulang sendiri?” Lina terlihat masih ragu ketika kami sudah dalam perjalanan.

“Ya ampun, Na. Ini pulang ke rumahku, loh. Masa aku enggak bisa.”

Lina mengembuskan napas cukup keras. Aku tak peduli, asal bisa sampai di bandara tepat waktu, segala keluhan Lina tak berarti bagiku.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status