Semalaman aku menyesali keputusan untuk meminta Lina mengantarku ke bandara. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak dengan perempuan itu. Dia sudah tahu terlalu banyak.
Aku tahu sebagai seseorang yang paling dekat denganku, merasa dirinya sebagai sahabatku, dia ingin menjagaku. Pun karena dia tahu aku sedang hamil muda. Lina mencemaskan janin dalam rahimku sebab dia sangat ingin punya anak. Namun, jika dia sudah ikut campur terlalu dalam seperti ini, bukankah aku berhak menjauh?
Pikiranku sarat sesal, juga kerinduan pada kampung halaman. Apakah Emak sehat? Siapa yang memasak di rumah kini? Emak sudah tua, fisiknya tak terlalu kuat untuk bekerja berat. Ditambah pukulan batin yang dia alami sejak Bah menikah lagi, kondisi kesehatan Emak semakin menurun.
Pukul satu malam aku masih terjaga. Mataku nyalang menatap dinding berwarna abu-abu yang menjadi batas antara kamarku dan ruangan lain di rumah ini. Rasa hampa menggerogoti hatiku. Sulit untuk bahagia dalam kondisi rumah tangga yang mengenaskan seperti ini.
Bang Asman belum pulang ke rumah sejak mengantarku tadi. Kadang aku bingung, mengapa dia menahanku pergi, sedangkan dia tak pernah peduli padaku.
Sesekali ingin rasanya aku menguntit Bang Asman, mencari tahu apa saja kegiatannya setelah pulang kerja. Apakah memang sangat sibuk sehingga tak bisa pulang lebih awal.
Tentu saja rencana itu hanya ada dalam pikiranku. Tak akan aku habiskan waktu untuk mencari tahu hal tersebut. Untuk apa? Hanya menambah pedih luka hati. Hanya membuat kekal tukak dalam dada.
Malam ini, aku memutuskan tak akan berharap apa pun lagi kepada lelaki yang berlabel suamiku itu. Aku akan menjalani hidup dengan caraku. Tak perlu aku peduli lagi kepadanya. Akan aku kubur dalam-dalam rasa haus akan kasih sayang dalam hati. Aku tak akan pernah berharap lagi padanya.
Paginya, aku sengaja keluar kamar sebelum dia berangkat kerja. Bukan hendak menyiapkan sarapan, tetapi aku ingin bicara empat mata padanya.
Bang Asman sedang meneguk kopi saat aku duduk di hadapannya. Wajahnya yang tampan tampak semakin bersinar pagi ini. Aku jadi menerka-nerka, apakah dia sedang jatuh cinta dengan perempuan lain? Atau semalaman dia memadu kasih dengan kekasihnya? Entahlah.
Mungkin karena mendengar suara pintu kamarku terbuka, tanpa melihat, lelaki itu berkata.
“Tumben kau sudah bangun.”
Tahu apa dia soal aku bangun jam berapa? Aku selalu bangun tiap subuh, tetapi aku tak ingin keluar kamar dan melihatnya tak peduli kepadaku.
Aku mengambil napas panjang sebelum berkata, “Dengarkan aku, Asman! Mulai sekarang, aku akan ikuti permainanmu. Aku tak akan lagi berharap banyak pada pernikahan kita.”
Dia melirikku dan tersenyum. “Harusnya dari awal kau sudah berpikiran sehat seperti itu, Ra. Tak ada gunanya menolak takdir.”
“Kau bilang akan membayar mahal kan untuk semua ini? Aku minta, seluruh gajimu untukku! Dan pemasukan lain kita bagi dua. Aku tak ingin menderita lebih banyak. Cukup jiwaku saja yang hampa, aku tak ingin hidup susah.”
“Tenang saja, istriku. Aku jamin kau tak akan pernah kekurangan uang.”
Bang Asman mengorek isi tas tangannya, dan menyerahkan sebuah kartu padaku.
“Peganglah ATM ini. Semua gajiku ditransfer ke rekening ini.”
Aku menerima kartu itu tanpa mengucapkan terima kasih. Sudah sewajarnya aku mengambil sikap seperti ini.
“Kalau kau kekurangan uang, beri tahu aku. Aku akan memberimu lebih. Asal kau jangan pernah lagi mencoba pergi, dan jangan banyak menuntut kepadaku.”
Aku mengangguk. Dalam hati bersumpah, tak akan pernah lagi berharap apa pun darinya, kecuali uang tentu saja.
“Pernikahan kita ini harusnya tak menambah masalah kau, Ra. Jadi, sebaiknya kau tak banyak berharap, tak banyak menuntut, dan tak menginginkan apa-apa.”
“Aku pastikan sejak hari ini aku tak akan berharap padamu, Man. Asal kau jangan kelewat batas. Jaga nama baik kita masing-masing. Mungkin kau tak mencintai aku, tetapi ingat anak yang ada dalam rahimku ini adalah anakmu.”
“Tentu saja, tentu. Aku akan selalu ingat anak itu.”
“Baiklah. Hanya itu yang mau aku katakan.”
Aku beranjak hendak masuk ke kamar kembali. Berlama-lama di depan Bang Asman hanya membuat suasana hatiku buruk.
“Tunggu, Ra.” Lelaki itu menyentuh bahuku.
“Apalagi? Jangan membuat suasana hatiku jadi tidak enak hari ini.”
“Terima kasih karena mau mengerti.” Lelaki itu tersenyum.
“Aku tak mengerti. Aku hanya ingin menyelamatkan kewarasanku, Asman. Sia-sia berharap mendapat cinta darimu, maka aku berkompromi dengan keadaan.”
“Apa pun namanya, apa pun itu menurutmu, aku tetap berterima kasih. Aku memang bukan lelaki yang sempurna, aku juga tak menjanjikan cinta atau perhatian. Aku ini lelaki yang senang kebebasan, Ra. Hanya itu yang aku minta darimu.”
“Kalau kau senang kebebasan, mengapa kau menikahiku?”
“Karena aku juga perlu status, Ra.”
“Kau tak kasihan denganku, Asman? Mungkin harusnya aku bisa bahagia dengan lelaki lain.”
Bang Asman menunduk, untuk pertama kalinya aku lihat ada rasa bersalah dalam matanya. Lelaki itu tampak salah tingkah, berkali-kali dia menyugar rambutnya.
“Entahlah. Hatiku memilihmu, Ra. Aku yakin kau memiliki pengertian yang luas untuk menerima segala kekuranganku.”
Aku membuang napas. Andai aku tahu semua ini dari awal, aku pasti akan menolak lamaran dari Tengku Asnawi. Sehebat apa pun keluarga mereka, tak ada gunanya jika batinku menderita.
“Sudahlah, Asman. Berbicara banyak denganmu hanya menumbuhkan beribu sesal dalam hatiku.”
“Era!”
Aku mengentakkan kaki ke lantai, kesal karena dia memanggilku lagi.
“Aku harap kau memaafkanku.”
“Tak mudah,” jawabku tanpa menoleh padanya. “Masa mudaku tergadai, hidupku menderita, dan aku jauh dari keluarga. Dalam kondisi seperti itu, kau masih berharap aku memaafkanku? Itu tak mudah, Asman!”
“Kau hanya perlu terbiasa, Ra.”
“Derita batin tak akan pernah membuat siapa pun terbiasa, Man. Kau harus paham. Tanyalah kepada kekasih-kekasihmu di luar sana, apakah mereka sanggup jika menjadi aku? Apakah mereka mampu jika menjalani hidup seperti diriku? Entah dosa apa yang aku lakukan di masa lalu sampai harus mendapat hukuman berjodoh denganmu.”
Asman tak berkata apa pun lagi, aku juga sudah merasa cukup mencurahkan isi hatiku pagi ini. Boleh saja aku tak berharap apa pun pada pernikahan kami, tetap paling tidak, dia tahu isi hatiku.
Aku berlalu. Mungkin memang sudah saatnya aku menerima segala takdir yang tertulis di langit. Beginilah jalan hidupku.
Setelah mengunci pintu kamar, air mataku tumpah tanpa dapat aku tahan lagi. Aku terisak sendiri, sampai dadaku mau pecah, sampai tenggorokanku rada hendak terbakar. Aku tak tahu aku menangis karena apa, yang jelas aku ingin menangis saja. Melepaskan semua sesak dalam hati.
Suara mobil Bang Asman menderu, tanda dia sudah siap berangkat. Hatiku semakin sakit, memang tidak ada kesempatan untuk berbahagia dalam hidupku.
Minggu pagi yang cerah ini aku berjalan-jalan seorang diri di sekitar rumah. Menurut Bu Bidan, jalan pagi itu penting untuk mempermudah proses persalinan nanti. Kehamilanku sudah memasuki bulan ke sembilan. Jika benar perkiraan bidan, aku akan melahirkan pertengahan bulan ini.Beberapa kali aku berselisih jalan dengan tetangga yang sedang olahraga pagi. Seperti biasa, mereka menanyakan suamiku. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Mungkin aneh bagi sebagian orang, sebab perempuan hamil pada umumnya jalan pagi bersama suami.Setelah mengeluarkan cukup banyak keringat, aku memutuskan untuk pulang. Tak lupa membeli nasi uduk untuk sarapan di rumah.Sejak hamil aku memang lebih santai. Bang Asman membayar seorang asisten rumah tangga untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Mbak Mur hanya bertugas mencuci dan menyetrika.Sesampainya di rumah, aku melihat sebuah mobil pickup baru saja meninggalkan hal
Persalinanku mungkin adalah persalinan paling menyakitkan. Perempuan lain melahirkan didampingi suami, atau paling tidak ibu mereka. Sedangkan aku, menderita di ruang bersalin itu seorang diri. Sakit yang mengalir di tubuhku, tak lebih sakit dari luka dalam hatiku.Lina sudah pulang sejak tadi, sedangkan suamiku entah berada di mana. Saat bidan memeriksa pembukaan jalan lahir, air mata menganak sungai di pipi.“Sudah pembukaan delapan, Ra. Kuat, ya.”Aku meringis menahan sakit luar biasa yang setiap sebentar timbul. Tubuhku terbaring di ranjang beralas kain putih ini seorang diri. Dalam hati nelangsa karena harus menghadapi proses antara hidup dan mati ini sendiri.Rasanya setiap rasa sakit itu datang, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Luar biasa rasanya. Seperti tubuhku dipatah-patahkan. Belum pernah aku merasa sakit yang sesakit ini.Bu Bidan baik hati itu setia me
Aku pikir Bang Asman akan berubah setelah kami memiliki Mega. Ternyata tidak. Dia tetap dengan tabiat lamanya. Pergi subuh buta, pulang tengah malam. Sedikit saja yang berubah, dia lebih rajin masuk kamarku dan bercanda dengan Mega kecil. Bayi mungil itu sudah bisa merespons jika diajak bergurau oleh ayahnya.Seperti hari ini, Sabtu pagi yang cerah Bang Asman terbaring di ranjang kamarku. Bercengkerama dengan Mega. Bayi berumur tujuh hari itu memang menggemaskan.“Ibu pasti senang kalau melihat Mega secantik ini,” ujarku. Aku sengaja memancing reaksinya. Tujuanku jelas saja, agar dia mengajakku pulang kampung. Rinduku pada kampung halaman sudah tak tertahan lagi. Bahkan aku sering kali bermimpi berjumpa dengan Emak. Apa kabar wanitaku itu? Sehatkah dia di sana?“Pastinya, Ra.” Bang Asman menjawab. “Aku sudah mengabari ke kampung kita bahwa kau telah melahirkan. Pasti tak lama lagi banyak kad
Gadis kecil yang aku lahirkan lima tahun lalu kini sudah masuk TK. Mega sangat cantik dengan gaun merah berenda melekat di tubuhnya. Rambut ikalnya aku kepang dua dengan menyisakan sedikit poni di bagian kanan dan kiri. Kulit Mega mewarisi kulitku, kuning langsat. Hanya itu dari diriku yang ada padanya. Selebihnya Mega adalah Bang Asman versi perempuan.Aku mengajaknya mendaftar sekolah hari ini. Gadis cilik bertubuh tinggi itu senang sekali. Dia berlari ke sana dan kemari. Memainkan semua mainan yang ada di halaman. Bertanya ini dan itu kepada ibu guru. Aku bangga sebab begitu banyak mata yang mengagumi Mega.“Pintarnya.” Ibu guru memuji saat Mega berhasil menyebutkan nama lengkapnya.Mega tersenyum senang. Anak itu memang senang sekali dipuji. Ah, bukankah semua anak-anak begitu?Sekolah yang aku pilih tergolong mahal. Tak apalah, pikirku. Toh Mega anak semata wayang kami. Dan sepertinya mustahil aku bisa memberinya adik. Sejak M
Malam ini aku sengaja menunggui Bang Asman pulang. Malam sudah larut, tetapi suara mobilnya belum juga terdengar memasuki halaman. Seharusnya aku cemburu sebab lelakiku pergi hingga tengah malam tanpa aku tahu ke mana tujuannya. Namun, rasa itu sudah lama menguap dari dalam hatiku.Aku menarik napas lamat-lamat. Mengisi paru-paru dengan oksigen. Duduk di ruang tengah berukuran besar ini seorang diri, terasa kekosongan dalam hati. Ah, sudah sejak lama memang jiwaku hampa. Bang Asman tak mampu mengisinya, tak bisa menambal ruang-ruang kosong yang semakin luas sejak Bah tiada. Lelaki itu malah menambah lebar kehampaan dalam dada.Jarak kami semakin renggang seiring semakin besarnya rumah ini. Bang Asman suka sekali menambah ruangan, padahal aku lebih suka rumah yang kecil tetapi terasa hangat. Seperti rumah Emak di kampung. Rumah yang awalnya memiliki tiga kamar, kini membesar menjadi lima kamar. Ada pula ruangan khusus untuk perpustakaan priba
Alarm berbunyi nyaring membangunkanku dari tidur. Dengan malas aku melirik jam, jam setengah lima. Aku harus segera bangun karena Mega akan sekolah hari ini. Hari pertama sekolah pasti sangat penting bagi seorang anak.Setelah Salat Subuh, aku pergi ke dapur untuk menyiapkan bekal Mega. Untung Mbak Mur sempat menyetok ayam ungkep di kulkas. Mungkin aku akan menggorengnya sepotong atau dua potong.Astaga! Aku hampir lupa menanak nasi. Cepat aku mencuci beras agar tak terlambat menyiapkan bekal. Mungkin sebaiknya aku menyuruh Mbak Mur membuat makanan cepat saji untuk aku simpan di kulkas agar aku tak repot setiap pagi. Ah, bisa juga nanti siang aku membeli roti. Mega suka sekali roti yang diolesi selai cokelat.Aroma ayam goreng menguar di udara. Aku memasak air untuk menyeduh susu. Mega tak biasa sarapan berat. Segelas susu cokelat saja cukup bagi bocah itu. Sekalian aku membuat segelas teh tawar. Jarang-jarang aku bangun
Tidak seperti dugaanku, sesampainya di sekolah Mega malah merajuk dan tidak mau sekolah jika tidak aku temani. Padahal awalnya aku pikir akan aman meninggalkannya sebentar untuk service mobil ke bengkel.Mega merengek dengan wajah penuh air mata saat aku bilang aku akan meninggalkannya sebentar. Dia mengentakkan kaki ke lantai dan memeluk pinggangku erat.“Mega mau sama Mama. Mega enggak mau sekolah.” Teriakannya mengundang banyak mata memandang.“Iya, Nak. Iya. Mama di sini jagain Mega,” bujukku lembut.“Beneran, ya?” Akhirnya seulas senyum muncul di bibir gadisku.“Iya, dong! Mama kan enggak pernah bohong.”Aku membelai rambut cokelatnya. “Mama tunggu Mega di pendopo, ya. Kan Mega mau belajar, jadi Mama enggak mau ganggu.”Meskipun wajahnya tampak tidak rela, Mega mengangguk pe
25Aku berkeliling toko buku. Bagiku kini berburu novel kesukaan seperti hobi yang tak bisa aku tinggalkan. Aku membaca sekilas blurb beberapa novel sebelum memutuskan akan membeli yang mana.Setelah menemukan sepuluh buah novel, mataku kembali memindai seluruh sudut, mencari keberadaan mereka, Mega, Han, dan Arif—putra Handoko.Sebulan lebih Mega bersekolah, aku menjadi lebih dekat dengan Handoko. Seperti ABG labil yang sedang jatuh cinta, aku selalu berdandan lebih menor saat mengantar Mega sekolah. Bulan lalu, aku bangun subuh untuk memasak bekal Mega. Sekarang, aku bangun subuh dan menghabiskan seluruh waktu di depan meja rias. Memastikan lipstikku tidak norak tetapi cukup menarik. Bekal Mega aku serahkan sepenuhnya kepada asisten rumah tangga.Untuk pertama kalinya aku bersyukur memiliki Bang Asman yang sama sekali tak peduli kepadaku. Dia pasti tak bisa membaca perubahan sikapku. Aku