Share

Ikhlas

Semalaman aku menyesali keputusan untuk meminta Lina mengantarku ke bandara. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak dengan perempuan itu. Dia sudah tahu terlalu banyak.

Aku tahu sebagai seseorang yang paling dekat denganku, merasa dirinya sebagai sahabatku, dia ingin menjagaku. Pun karena dia tahu aku sedang hamil muda. Lina mencemaskan janin dalam rahimku sebab dia sangat ingin punya anak. Namun, jika dia sudah ikut campur terlalu dalam seperti ini, bukankah aku berhak menjauh?

Pikiranku sarat sesal, juga kerinduan pada kampung halaman. Apakah Emak sehat? Siapa yang memasak di rumah kini? Emak sudah tua, fisiknya tak terlalu kuat untuk bekerja berat. Ditambah pukulan batin yang dia alami sejak Bah menikah lagi, kondisi kesehatan Emak semakin menurun.

Pukul satu malam aku masih terjaga. Mataku nyalang menatap dinding berwarna abu-abu yang menjadi batas antara kamarku dan ruangan lain di rumah ini. Rasa hampa menggerogoti hatiku. Sulit untuk bahagia dalam kondisi rumah tangga yang mengenaskan seperti ini.

Bang Asman belum pulang ke rumah sejak mengantarku tadi. Kadang aku bingung, mengapa dia menahanku pergi, sedangkan dia tak pernah peduli padaku.

Sesekali ingin rasanya aku menguntit Bang Asman, mencari tahu apa saja kegiatannya setelah pulang kerja. Apakah memang sangat sibuk sehingga tak bisa pulang lebih awal.

Tentu saja rencana itu hanya ada dalam pikiranku. Tak akan aku habiskan waktu untuk mencari tahu hal tersebut. Untuk apa? Hanya menambah pedih luka hati. Hanya membuat kekal tukak dalam dada.

Malam ini, aku memutuskan tak akan berharap apa pun lagi kepada lelaki yang berlabel suamiku itu. Aku akan menjalani hidup dengan caraku. Tak perlu aku peduli lagi kepadanya. Akan aku kubur dalam-dalam rasa haus akan kasih sayang dalam hati. Aku tak akan pernah berharap lagi padanya.

Paginya, aku sengaja keluar kamar sebelum dia berangkat kerja. Bukan hendak menyiapkan sarapan, tetapi aku ingin bicara empat mata padanya.

Bang Asman sedang meneguk kopi saat aku duduk di hadapannya. Wajahnya yang tampan tampak semakin bersinar pagi ini. Aku jadi menerka-nerka, apakah dia sedang jatuh cinta dengan perempuan lain? Atau semalaman dia memadu kasih dengan kekasihnya? Entahlah.

Mungkin karena mendengar suara pintu kamarku terbuka, tanpa melihat, lelaki itu berkata.

“Tumben kau sudah bangun.”

Tahu apa dia soal aku bangun jam berapa? Aku selalu bangun tiap subuh, tetapi aku tak ingin keluar kamar dan melihatnya tak peduli kepadaku.

Aku mengambil napas panjang sebelum berkata, “Dengarkan aku, Asman! Mulai sekarang, aku akan ikuti permainanmu. Aku tak akan lagi berharap banyak pada pernikahan kita.”

Dia melirikku dan tersenyum. “Harusnya dari awal kau sudah berpikiran sehat seperti itu, Ra. Tak ada gunanya menolak takdir.”

“Kau bilang akan membayar mahal kan untuk semua ini? Aku minta, seluruh gajimu untukku! Dan pemasukan lain kita bagi dua. Aku tak ingin menderita lebih banyak. Cukup jiwaku saja yang hampa, aku tak ingin hidup susah.”

“Tenang saja, istriku. Aku jamin kau tak akan pernah kekurangan uang.”

Bang Asman mengorek isi tas tangannya, dan menyerahkan sebuah kartu padaku.

“Peganglah ATM ini. Semua gajiku ditransfer ke rekening ini.”

Aku menerima kartu itu tanpa mengucapkan terima kasih. Sudah sewajarnya aku mengambil sikap seperti ini.

“Kalau kau kekurangan uang, beri tahu aku. Aku akan memberimu lebih. Asal kau jangan pernah lagi mencoba pergi, dan jangan banyak menuntut kepadaku.”

Aku mengangguk. Dalam hati bersumpah, tak akan pernah lagi berharap apa pun darinya, kecuali uang tentu saja.

“Pernikahan kita ini harusnya tak menambah masalah kau, Ra. Jadi, sebaiknya kau tak banyak berharap, tak banyak menuntut, dan tak menginginkan apa-apa.”

“Aku pastikan sejak hari ini aku tak akan berharap padamu, Man. Asal kau jangan kelewat batas. Jaga nama baik kita masing-masing. Mungkin kau tak mencintai aku, tetapi ingat anak yang ada dalam rahimku ini adalah anakmu.”

“Tentu saja, tentu. Aku akan selalu ingat anak itu.”

“Baiklah. Hanya itu yang mau aku katakan.”

Aku beranjak hendak masuk ke kamar kembali. Berlama-lama di depan Bang Asman hanya membuat suasana hatiku buruk.

“Tunggu, Ra.” Lelaki itu menyentuh bahuku.

“Apalagi? Jangan membuat suasana hatiku jadi tidak enak hari ini.”

“Terima kasih karena mau mengerti.” Lelaki itu tersenyum.

“Aku tak mengerti. Aku hanya ingin menyelamatkan kewarasanku, Asman. Sia-sia berharap mendapat cinta darimu, maka aku berkompromi dengan keadaan.”

“Apa pun namanya, apa pun itu menurutmu, aku tetap berterima kasih. Aku memang bukan lelaki yang sempurna, aku juga tak menjanjikan cinta atau perhatian. Aku ini lelaki yang senang kebebasan, Ra. Hanya itu yang aku minta darimu.”

“Kalau kau senang kebebasan, mengapa kau menikahiku?”

“Karena aku juga perlu status, Ra.”

“Kau tak kasihan denganku, Asman? Mungkin harusnya aku bisa bahagia dengan lelaki lain.”

Bang Asman menunduk, untuk pertama kalinya aku lihat ada rasa bersalah dalam matanya. Lelaki itu tampak salah tingkah, berkali-kali dia menyugar rambutnya.

“Entahlah. Hatiku memilihmu, Ra. Aku yakin kau memiliki pengertian yang luas untuk menerima segala kekuranganku.”

Aku membuang napas. Andai aku tahu semua ini dari awal, aku pasti akan menolak lamaran dari Tengku Asnawi. Sehebat apa pun keluarga mereka, tak ada gunanya jika batinku menderita.

“Sudahlah, Asman. Berbicara banyak denganmu hanya menumbuhkan beribu sesal dalam hatiku.”

“Era!”

Aku mengentakkan kaki ke lantai, kesal karena dia memanggilku lagi.

“Aku harap kau memaafkanku.”

“Tak mudah,” jawabku tanpa menoleh padanya. “Masa mudaku tergadai, hidupku menderita, dan aku jauh dari keluarga. Dalam kondisi seperti itu, kau masih berharap aku memaafkanku? Itu tak mudah, Asman!”

“Kau hanya perlu terbiasa, Ra.”

“Derita batin tak akan pernah membuat siapa pun terbiasa, Man. Kau harus paham. Tanyalah kepada kekasih-kekasihmu di luar sana, apakah mereka sanggup jika menjadi aku? Apakah mereka mampu jika menjalani hidup seperti diriku? Entah dosa apa yang aku lakukan di masa lalu sampai harus mendapat hukuman berjodoh denganmu.”

Asman tak berkata apa pun lagi, aku juga sudah merasa cukup mencurahkan isi hatiku pagi ini. Boleh saja aku tak berharap apa pun pada pernikahan kami, tetap paling tidak, dia tahu isi hatiku.

Aku berlalu. Mungkin memang sudah saatnya aku menerima segala takdir yang tertulis di langit. Beginilah jalan hidupku.

Setelah mengunci pintu kamar, air mataku tumpah tanpa dapat aku tahan lagi. Aku terisak sendiri, sampai dadaku mau pecah, sampai tenggorokanku rada hendak terbakar. Aku tak tahu aku menangis karena apa, yang jelas aku ingin menangis saja. Melepaskan semua sesak dalam hati.

Suara mobil Bang Asman menderu, tanda dia sudah siap berangkat. Hatiku semakin sakit, memang tidak ada kesempatan untuk berbahagia dalam hidupku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status