Share

Hidup Baru

10

Menjadi istri seorang Asman Chairi, aku dipaksa menjadi mandiri, dewasa, dan mengambil keputusan sendiri. Asman tak memiliki waktu untuk mendengar keluhanku, pun memberi pendapat untuk masalah-masalah yang aku hadapi.

Hidup kami berjalan seperti air mengalir, tenang. Sangat tenang. Tepatnya aku berusaha untuk tetap tenang menghadapi sikap tak peduli lelaki itu.

Hari, minggu, bulan, aku habiskan dalam kesendirian. Bang Asman lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja—atau tempat lain yang aku tidak tahu—dari pagi buta hingga tengah malam. 

Awal mula pindah ke Jakarta, aku masih berharap dia berubah menjadi lebih baik. Setiap hari aku bangun lebih awal untuk membuatkan dia sarapan, melepas dia bekerja, dan hal lain yang lazim dilakukan suami istri. Aku berusaha sangat keras untuk melembutkan hatinya, membuat dia bisa mencintaiku. Paling tidak, bersikap baik padaku.

Namun, harapanku hanya angan belaka. Bang Asman tidak berubah sedikit pun. Bahkan setelah setahun pernikahan kami, kelakuannya semakin buruk saja. 

Dulu, setiap hari aku memasak untuknya. Menunggu kepulangannya di meja makan. Berharap dia pulang untuk makan malam bersamaku. Mendengar ceritaku tentang  tetangga sebelah rumah, atau tentang tukang sayur yang harga barangnya lebih mahal. 

Nyatanya, sering kali aku tertidur di meja makan dengan perut kelaparan. Bang Asman tidak pernah pulang di bawah pukul dua belas malam. Aku menyimpan semua sakit hatiku dalam-dalam, sebab tidak ingin rumah tangga yang baru seumur jagung ini retak. 

Manusia mana yang tahan dengan sikap seperti itu. Suatu malam, pecah juga amarahku. 

Pukul dua belas malam, dan lelaki itu belum pulang juga. Aku lelah mondar-mandir seperti orang gila. Menunggu tanpa kepastian entah kapan dia datang. 

Sudah tiga ratus enam puluh lima malam aku habiskan dengan menunggu. Berharap dia sudi menghabiskan malam bersamaku, bercerita tentang apa saja, menebus siang yang kuhabiskan dalam kesunyian. 

Pintu rumah terdengar di buka dari luar. Aku berlari mengejarnya. Ah, rasanya aku sangat haus kasih sayang. Menikah pada usia sangat muda, dan langsung diboyong pindah ke ibu kota, hanya dia tempatku bercerita. Namun, ujungnya selalu sama, ketika dia datang, dia hanya mencari ranjang untuk merebahkan badan, seolah tidak menginginkan aku di sisinya.

“Belum tidur kau, Ra?” tanyanya ketika aku keluar kamar. 

“Era tunggu Abang.” 

“Jangan tunggu aku.” 

“Era bosan, Bang, di rumah terus. Abang kerja sampai malam, Era ingin kuliah tak boleh, ingin kerja pun tak diizinkan,” keluhku.

“Kau ngapa? Mau ngajak bertengkar tengah malam buta ni? Duduk baik-baik di rumah, duit aku kasih. Semua aku penuhi. Tak cukup?”

Air mataku tumpah. Susah payah aku menelusup masuk ke dalam hati lelaki itu. Menumbuhkan cinta yang sama sekali tak ada dari awal. 

Bukannya berusaha membuat hatiku mekar, dia malah membunuh rasaku perlahan. 

“Asman, mengapa kau sangat ingin menikahiku? Ujung-ujungnya kau malah menyakitiku?” Aku memuntahkan segala sakit yang setahun ini kupendam.

“Kau gila, Ra?” Bang Asman mundur selangkah melihat sikapku. 

Aku memang belum pernahmenunjukkan perlawanan selama ini. Setahun aku pendam semua, aku tahan semua lara. Kali ini, aku tak sanggup lagi. 

“Kau membuat aku gila! Kau renggut habis masa mudaku, kau paksa aku pindah dari tempat kelahiranku. Aku menerimanya, bahkan ketika Bah mati, kau sama sekali tak peduli!” Telanjur, sekalian saja aku katakan semua. “Aku berusaha mencintaimu, Asman, demi rumah tangga yang baru seumur jagung ini! Apa balasanmu? Jangankan membalas perhatianku, bersikap baik pun kau tak pernah!” 

“Jaga mulutmu!” desis Asman. 

“Setahun aku menjaga mulut, aku sudah tak sanggup. Ceraikan aku!”

“Sampai mati, aku takkan pernah menceraikanmu!”

“Rumah tangga ini seperti neraka bagiku, Asman.”

“Biarlah aku menjalani rumah tangga bagai neraka ini. Biar kita hangus terbakar berdua di dalamnya, asal tak pernah ada kata pisah. Tak ada sejarahnya dalam keluarga besarku, ada rumah tangga yang hancur.”

“Egois!”

“Terserah!” 

“Ceraikan aku, Asman!” pekikku pilu. 

Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Perihnya tak seberapa dibanding perih yang aku rasakan dalam hati. Rasanya seperti syaraf-syaraf dalam otakku lumpuh seketika, dan segala rasa yang tertanam dalam hatiku menguap entah ke mana. 

Aku berusaha sangat keras mencintainya. Tak mudah sebab dia memperlakukan diriku sangat buruk. Apakah ada seorang suami yang tak peduli dengan kebutuhan batin istrinya? Adakah seorang suami yang tak pernah mengajak istrinya berbicara? Bercerita tentang apa saja? Adakah suami yang tak mengizinkan istrinya melepas rindu pada keluarga? Melarang istrinya memberi kabar pada keluarga di kampung halaman. Suamiku benar-benar melakukan itu?

“Kau bunuh saja aku sekalian, Asman! Percuma kau biarkan aku hidup, tapi kau anggap aku tak ada” Belum puas aku melampiaskan kekesalan. Rasanya langit malam yang hitam di atas sana, terbelah karena suaraku. 

Asman terlihat sangat kesal. Bibirnya menggeram, tangannya mengepal sehingga buku-buku jarinya terlihat jelas. Mungkin, dia sedang menahan tangannya agar tak lagi mendarat di pipiku.

Dadaku seolah terbakar melihat sikap diam Bang Asman. Mulutku yang sudah lama bungkam, tak tahan untuk tak berkata kasar. 

“Sekarang aku tahu, Asman, mengapa kau menikahiku! Pasti karena kau yakin aku akan menjadi istri penurut dan bodoh! Pasrah akan semua perlakuan jahatmu. Tidak, Asman! Aku tidak bodoh” 

“Terserah kau saja, Era. Aku tak ada waktu untuk meladenimu dan pikiran bodohmu itu.” Dia berkata tenang, dengan sudut bibir atas yang sedikit terangkat.

“Aku muak denganmu!” 

Dia tertawa dan berlalu ke dalam kamar, meninggalkanku dengan amarah yang tak selesai. 

Aku terduduk di kursi ruang tamu. Menenangkan debat yang menguasai hati, amarah yang belum bisa terkendali. Air mata menetes di pipi. Aku pun bingung sedang menangisi apa. Nasib buruk badan atau nasib pernikahan yang tak sesuai impian. Entahlah. Sejak menikah dengan Bang Asman kewarasanku seperti berada dalam posisi mencemaskan. Sering aku berpikir, tidak gila saja sudah syukur. 

Aku terbiasa hidup dalam lingkungan keluarga yang saling menyayangi, bisa bercerita apa saja dengan abang-abangku, memiliki teman-teman yang bisa aku ajak bercerita tentang apa saja. Sejak pindah ke sini, aku seperti hidup di dalam gua. Setiap sudut rumah, aku hanya menemukan sepi, di setiap hari-hari aku hanya berteman sunyi. 

Aku nyaris lupa bagaimana caranya tertawa, bagaimana caranya bercerita, bagaimana caranya mengobrol dengan sesama. Asman memang membuatku nyaris gila karena sikapnya.

Pintu kamar terbuka, Bang Asman yang sudah berganti pakaian dan membersihkan diri keluar dari kamar. 

“Tidurlah kau lagi, mau sampai kapan duduk termenung di sana. Di kamar ada suami yang menunggu kau datang.” Dia menyeringai. Seringai yang aku sangat hafal akan keluar jika dia membutuhkan tubuhku untuk memuaskan dahaganya. 

Rasanya, aku ini tak ubahnya pelacur, yang berhak mendapat perlakuan manis jika tubuhku dibutuhkan. Selebihnya, aku tak berguna. Air mataku tumpah lagi. Bang Asman tak peduli, dia menarik tubuhku dengan kasar menuju kamar. Pura-pura tak sadar bahwa tingkahnya barusan telah membuat hatiku berdarah-darah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status