Aku memegang benda pipih berwarna putih itu dengan tangan bergetar. Garis dua di bagian tengahnya membuat napasku nyaris putus. Hamil? Aku hamil? Bagaimana bisa? Selama ini aku sengaja mengkonsumis pil KB tanpa sepengetahuan Bang Asman. Aku berpikir untuk apa memiliki anak jika rumah tangga yang kami jalani ini jauh dari kata bahagia. Kehadiran anak dalam rumah tangga yang gersang, hanya akan membawa malapetaka. Kasihan anakku nanti.
Dadaku sesak dengan sesal. Mengingat-ingat apakah aku lupa meminum pil KB sialan itu? Rasanya tidak. Aku sengaja menaruhnya di meja rias agar tak pernah lupa. Bang Asman pun pernah melihat pil itu, dan dia tidak pernah keberatan.
Bagaimana aku akan memberi tahu hal ini padanya? Sedangkan kami sudah seminggu tidak bertegur sapa. Jangan tanya mengapa, karena jika aku ceritakan, seolah aku adalah wanita paling durhaka di dunia karena membuka aib suami seenaknya. Namun bisa aku pastikan, tak banyak wanita yang bisa kuat jika berada dalam posisiku.
Aku berusaha positif. Terlebih sejak aku berlangganan majalah wanita yang di dalamnya berisi kisah-kisah rumah tangga perempuan di luar sana. Kadang air mataku menetes saat membacanya. Banyak yang bernasib lebih buruk dari diriku. Setidaknya Bang Asman memberi uang belanja lebih dari cukup. Aku tak bisa bayangkan jika dalam rumah tangga yang bagai neraka ini, dia pun perhitungan masalah uang. Bisa-bisa aku mati bunuh diri.
“Ra ... Era!” Suara teriakan seseorang di depan pintu menyadarkanku dari lamunan panjang.
“Oy. Bentar!” jawabku.
Lina, perempuan sebayaku yang sudah setahun ini menjadi tetangga kami. Aku cukup dekat dengannya. Kami sering bertukar cerita tentang apa saja. Sesekali kami juga makan ke luar. Dia mengajakku ke mal, ke salon, dan mengenalkanku dengan teman-temannya. Sejak ada Lina, kadar stresku sedikit berkurang. Kami saling berkunjung jika pekerjaan rumah sudah selesai. Kadang dia yang datang, kadang aku ke rumahnya. Bergantian. Siapa saja yang senggang, dia yang akan duluan datang.
Bergegas aku membuka pintu. Mataku sempat melirik jam dinding di kamar. Pukul sepuluh lewat dua puluh. Pantaslah dia datang. Pasti pekerjaan rumahnya sudah beres. Sama sepertiku, dia pun belum memiliki anak.
“Lama amat, sih.” Dia merengut saat aku membuka pintu. “Hampir aja aku pulang.”
“Lagi pipis tadi.” Aku tertawa melihat wajah cemberutnya.
Lina melangkah masuk. Seperti biasa, dia langsung ke dapur dan mengambil apa saja yang ada di atas meja makan. Kami sering mengalami tidak nafsu makan terhadap masakan sendiri, dan sering kali kami bertukar lauk. Aneh memang, aku merasa seperti kembali menjadi anak TK yang suka tukaran bekal.
“Ra, kamu udah beli Majalah Anggun bulan ini?”
“Belum.” Aku mengingat-ingat. Biasanya aku tak pernah lupa membeli majalah kesayangan kami itu setiap tanggal lima.
“Beli, yuk. Aku suntuk nih.”
Sebenarnya aku ingin mengiakan ajakan Lina, tetapi mengingat hasil test pack tadi pagi, aku tak berani berjalan kaki jauh ke simpang empat yang berjarak dua kilo dari rumah. Padahal biasanya tiap bulan kami ke sana.
“Naik mobil aja, Lin,” usulku.
“Duile, repot amat, Ra. Jalan kaki simpel.”
“Tapi ....”
“Kamu kenapa? Sakit ya? Kamu pucat, Ra.”
Lina meraba keningku. Wajahnya menunjukkan rasa khawatir yang kental.
Aku menghela napas, memandangnya lama sebelum berkata jujur. Aku takut melukai hatinya yang begitu ingin memiliki keturunan.
“Aku hamil, Na.”
Mata Lina membesar, sementara bibirnya membentuk senyuman tulus. Perempuan berkulit putih itu memelukku lama.
“Selamat ya, Ra. Selamat.”
Lina menghapus air mata yang jatuh di pipinya. “Pasti Bang Asman seneng banget, Ra. Semoga aku cepat nyusul.”
Lina mengelus perutku, kemudian mengelus perutnya sendiri.
“Sorry ya, Na. Aku enggak ada maksud buat kamu sedih.”
“Apaan sih, Ra. Itu namanya rezeki. Rezeki itu sampai ke kamu duluan.”
Perempuan itu masih menunjukkan wajah bahagia. Jelas sekali sinar matanya bercahaya mendengar kabar kehamilanku. Mungkin dia lebih bahagia daripada diriku sendiri, yang menganggap kehamilan ini sebagai beban.
Lina memang dekat denganku. Bisa dibilang dialah satu-satunya sahabatku saat ini. Namun, dia tak pernah tahu kondisi rumah tanggaku. Dia sering bercerita tentang suaminya, keluarganya, dan segala hal yang ada di sekelilingnya. Tidak denganku. Aku menutup rapat hubunganku yang dingin dengan Bang Asman. Tak ada gunanya banyak orang yang tahu.
“Bang Asman pasti seneng, Ra. Ntar malam kamu bakalan dipeluk, terus enggak boleh ngerjain pekerjaan rumah lagi. Aku kapan ya dikasih kepercayaan sama Tuhan.”
Aku memeluk Lina. Aku tulus menyayanginya, dan jika bisa aku meminta pada Tuhan, biar dia saja yang hamil.
“Sabar ya, Na. Pasti ntar lagi kamu nyusul.”
Kami berpelukan sambil berbincang-bincang mengenai rencana kami jika nanti anakku lahir. Lina berharap anak kami sepasang, jadi jika sudah besar, bisa dijodohkan. Aku tertawa saja mendengar celotehan Lina. Perempuan itu memang cerewet. Senang bercerita dan suka pula mendengarkan. Lina membuat siapa pun nyaman berada di dekatnya. Suaminya—Mas Wibi—pun sangat menyayanginya.
Kadang aku iri melihat bagaimana Mas Wibi memperlakukan Lina. Berbeda jauh dengan Bang Asman. Sorot mata Mas Wibi selalu memandang Lina dengan hangat, tangannya pun selalu berada di bahu Lina, pinggang Lina, kadang meremas telapak tangan Lina.
Aku tidak pernah mendapat perlakuan semesra itu dari Bang Asman. Jangankan menatapku dengan penuh kasih sayang, mendengar ceritaku saja dia enggan. Ah, sudahlah. Mungkin memang begini nasibku.
“Kamu jaga baik-baik, Ra. Jangan kerja berat dulu. Buat nyuci ntar panggil Mbak Mur aja. Sekalian menyetrika.”
Aku hanya mengangguk. Sudah lama ingin memakai asisten rumah tangga sebenarnya. Namun, apa lagi tugasku di dalam rumah? Jika tidak ada kegiatan aku malah bosan, dan makin merasa nelangsa.
“Ntar aku bilangin Mbak Mur, ya?”
Aku mengangguk. Mbak Mur adalah asisten Lina untuk tugas mencuci dan menyetrika. Sudah lama perempuan itu mencari majikan lain. Kali ini, saran Lina harus aku pertimbangkan. Meskipun kehamilan ini tidak diinginkan, aku tidak mau jika terjadi keguguran. Pastinya aku akan mengalami sakit batin yang lebih dalam.
Aku berpikir, setidaknya jika kehamilan ini sehat, aku tidak harus bolak-balik ke rumah sakit. Juga dari dalam relung hatiku, sudah timbul rasa sayang pada makhluk di dalam rahimku ini. Entah bagaimana wujudnya nanti, tetapi rasa sayang ini pastinya akan terus tumbuh.
“Ra, kok bengong?” Lina mengguncang bahuku.
“Astaga!” Aku berteriak kaget. Kemudian kami tertawa bersama.
“Ngidam? Pengen makan apa? Aku temenin, deh.”
Aku berpikir sebentar. “Kayaknya makan rujak enak, Na.”
“Standar amat, Neng, ngidamnya.” Lina tertawa. “Aku ambil mobil dulu, ya.”
“Eh, tunggu!”
“Apaan?” Lina mengurungkan langkah.“Ajarin aku nyetir, Na.”
“Udah gila kamu.” Lina menepiskan tangan ke udara. “Enggak!”
“Please! Naik mobil aku aja.”
Lina tampak menimbang-nimbang sebelum mengangguk ragu. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih padanya. Bang Asman memang menyediakan sebuah mobil untuk mobilitasku. Dia menyuruh staffnya mengajariku menyetir. Sebenarnya aku bisa, tetapi terlalu malas untuk menyetir sendiri. Lebih sering Lina yang menyetir untukku. Namun, aku merasa kehamilan ini memerlukan kemandirian yang lebih dari biasanya. Setidaknya jika Bang Asman enggan menemaniku periksa ke bidan, aku bisa melakukannya sendiri.
***
Pukul dua belas malam lelaki itu pulang. Wajahnya terlihat sangat lelah, tidak seperti biasa. Kadang aku berpikir, apa yang dia lakukan di kantor sehingga selalu pulang tengah malam. Mas Wibi pun bekerja di kantor pemerintahan walaupun jabatannya tidak setinggi Bang Asman, tetapi suami Lina itu selalu tiba di rumah pukul lima sore.Untunglah Lina dan Mas Wibi bukan tetangga yang usil. Mereka diam saja melihat Bang Asman selalu pulang tengah malam. Lina tak pernah bertanya apa pun padaku. Hubungan kami yang dekat tak lantas menjadi alasan untuk mencampuri urusan masing-masing.“Ha, tumben kau menungguku? Dah tak marah?” sindirnya tajam, tanpa menoleh ke arahku.Hatiku bagai diiris sembilu dan ditetesi jeruk nipis saat melihat lelaki itu langsung masuk ke kamarnya. Kami memang sudah seminggu pisah kamar. Aku yang memulai dengan memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya Bang Asman merasa ny
Aku terbangun pagi ini dengan pikiran lebih tenang. Rencana kabur itu membuat semangat hidupku menyala kembali. Aku yakin, Bang Asman tak akan mencariku. Malah mungkin dia senang karena aku tak akan lagi menjadi bebannya.Aku melirik jam dinding. Sudah pukul lima subuh. Aku memaksa diri untuk bangun, walaupun kepalaku sedikit pusing. Menurut artikel yang aku baca, ibu hamil memang mengalami pusing pada kehamilan tiga bulan pertama.Setelah ibadah subuh, aku menurunkan koper besar yang ada di atas lemari, membersihkan debu yang menempel di sana, lalu aku memasukkan semua baju ke dalamnya. Tak lupa perhiasan dan barang berharga lain aku kemas dalam tas kecil yang akan aku jinjing nanti.Dadaku sesak dengan rasa bahagia. Meninggalkan Bang Asman dan semua duka di sini seperti sebuah tujuan dalam hidupku kini. Aku rasa, jauh dari kehidupan Bang Asman membuat hidupku lebih bahagia. Kasihan sekali bayi di dalam rahimku jika dia
Debar di dadaku semakin kencang saat mobil memasuki area bandara. Ketakutan mendadak muncul mengingat diri ini belum pernah naik pesawat sendirian.Hilir-mudik orang lalu-lalang, ditambah deru pesawat memenuhi gendang telinga, membuat keberanianku menguap entah ke mana. Lina memarkirkan mobil di tempat menurunkan calon penumpang pesawat.“Sebenarnya aku pengin ngelarang kamu, Ra. Dalam kondisi hamil muda begini, bahaya banget pergi naik pesawat sendiri.” Lina menatapku dengan sorot mata cemas. Tangannya memegang tanganku.Apakah benar perkataan Lina? Aku tak mau mengambil risiko kehilangan bayi di dalam kandungan, tetapi saat mengingat kehidupanku bersama Bang Asman yang bagai dalam neraka, aku membulatkan tekad.“Enggak apa-apa, Na. Tenang aja. Aku kuat kok.”“Kehamilanmu masih terlalu muda, Ra. Aku enggak yakin Bang Asman ngizinin. Kamu kabur?&rdqu
Semalaman aku menyesali keputusan untuk meminta Lina mengantarku ke bandara. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak dengan perempuan itu. Dia sudah tahu terlalu banyak.Aku tahu sebagai seseorang yang paling dekat denganku, merasa dirinya sebagai sahabatku, dia ingin menjagaku. Pun karena dia tahu aku sedang hamil muda. Lina mencemaskan janin dalam rahimku sebab dia sangat ingin punya anak. Namun, jika dia sudah ikut campur terlalu dalam seperti ini, bukankah aku berhak menjauh?Pikiranku sarat sesal, juga kerinduan pada kampung halaman. Apakah Emak sehat? Siapa yang memasak di rumah kini? Emak sudah tua, fisiknya tak terlalu kuat untuk bekerja berat. Ditambah pukulan batin yang dia alami sejak Bah menikah lagi, kondisi kesehatan Emak semakin menurun.Pukul satu malam aku masih terjaga. Mataku nyalang menatap dinding berwarna abu-abu yang menjadi batas antara kamarku dan ruangan lain di rumah ini. Rasa hampa menggerogoti
Minggu pagi yang cerah ini aku berjalan-jalan seorang diri di sekitar rumah. Menurut Bu Bidan, jalan pagi itu penting untuk mempermudah proses persalinan nanti. Kehamilanku sudah memasuki bulan ke sembilan. Jika benar perkiraan bidan, aku akan melahirkan pertengahan bulan ini.Beberapa kali aku berselisih jalan dengan tetangga yang sedang olahraga pagi. Seperti biasa, mereka menanyakan suamiku. Aku hanya menjawab dengan senyuman. Mungkin aneh bagi sebagian orang, sebab perempuan hamil pada umumnya jalan pagi bersama suami.Setelah mengeluarkan cukup banyak keringat, aku memutuskan untuk pulang. Tak lupa membeli nasi uduk untuk sarapan di rumah.Sejak hamil aku memang lebih santai. Bang Asman membayar seorang asisten rumah tangga untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Mbak Mur hanya bertugas mencuci dan menyetrika.Sesampainya di rumah, aku melihat sebuah mobil pickup baru saja meninggalkan hal
Persalinanku mungkin adalah persalinan paling menyakitkan. Perempuan lain melahirkan didampingi suami, atau paling tidak ibu mereka. Sedangkan aku, menderita di ruang bersalin itu seorang diri. Sakit yang mengalir di tubuhku, tak lebih sakit dari luka dalam hatiku.Lina sudah pulang sejak tadi, sedangkan suamiku entah berada di mana. Saat bidan memeriksa pembukaan jalan lahir, air mata menganak sungai di pipi.“Sudah pembukaan delapan, Ra. Kuat, ya.”Aku meringis menahan sakit luar biasa yang setiap sebentar timbul. Tubuhku terbaring di ranjang beralas kain putih ini seorang diri. Dalam hati nelangsa karena harus menghadapi proses antara hidup dan mati ini sendiri.Rasanya setiap rasa sakit itu datang, aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Luar biasa rasanya. Seperti tubuhku dipatah-patahkan. Belum pernah aku merasa sakit yang sesakit ini.Bu Bidan baik hati itu setia me
Aku pikir Bang Asman akan berubah setelah kami memiliki Mega. Ternyata tidak. Dia tetap dengan tabiat lamanya. Pergi subuh buta, pulang tengah malam. Sedikit saja yang berubah, dia lebih rajin masuk kamarku dan bercanda dengan Mega kecil. Bayi mungil itu sudah bisa merespons jika diajak bergurau oleh ayahnya.Seperti hari ini, Sabtu pagi yang cerah Bang Asman terbaring di ranjang kamarku. Bercengkerama dengan Mega. Bayi berumur tujuh hari itu memang menggemaskan.“Ibu pasti senang kalau melihat Mega secantik ini,” ujarku. Aku sengaja memancing reaksinya. Tujuanku jelas saja, agar dia mengajakku pulang kampung. Rinduku pada kampung halaman sudah tak tertahan lagi. Bahkan aku sering kali bermimpi berjumpa dengan Emak. Apa kabar wanitaku itu? Sehatkah dia di sana?“Pastinya, Ra.” Bang Asman menjawab. “Aku sudah mengabari ke kampung kita bahwa kau telah melahirkan. Pasti tak lama lagi banyak kad
Gadis kecil yang aku lahirkan lima tahun lalu kini sudah masuk TK. Mega sangat cantik dengan gaun merah berenda melekat di tubuhnya. Rambut ikalnya aku kepang dua dengan menyisakan sedikit poni di bagian kanan dan kiri. Kulit Mega mewarisi kulitku, kuning langsat. Hanya itu dari diriku yang ada padanya. Selebihnya Mega adalah Bang Asman versi perempuan.Aku mengajaknya mendaftar sekolah hari ini. Gadis cilik bertubuh tinggi itu senang sekali. Dia berlari ke sana dan kemari. Memainkan semua mainan yang ada di halaman. Bertanya ini dan itu kepada ibu guru. Aku bangga sebab begitu banyak mata yang mengagumi Mega.“Pintarnya.” Ibu guru memuji saat Mega berhasil menyebutkan nama lengkapnya.Mega tersenyum senang. Anak itu memang senang sekali dipuji. Ah, bukankah semua anak-anak begitu?Sekolah yang aku pilih tergolong mahal. Tak apalah, pikirku. Toh Mega anak semata wayang kami. Dan sepertinya mustahil aku bisa memberinya adik. Sejak M