Share

Isi Kepala Asman

Pukul dua belas malam lelaki itu pulang. Wajahnya terlihat sangat lelah, tidak seperti biasa. Kadang aku berpikir, apa yang dia lakukan di kantor sehingga selalu pulang tengah malam. Mas Wibi pun bekerja di kantor pemerintahan walaupun jabatannya tidak setinggi Bang Asman, tetapi suami Lina itu selalu tiba di rumah pukul lima sore. 

Untunglah Lina dan Mas Wibi bukan tetangga yang usil. Mereka diam saja melihat Bang Asman selalu pulang tengah malam. Lina tak pernah bertanya apa pun padaku. Hubungan kami yang dekat tak lantas menjadi alasan untuk mencampuri urusan masing-masing. 

“Ha, tumben kau menungguku? Dah tak marah?” sindirnya tajam, tanpa menoleh ke arahku. 

Hatiku bagai diiris sembilu dan ditetesi jeruk nipis saat melihat lelaki itu langsung masuk ke kamarnya. Kami memang sudah seminggu pisah kamar. Aku yang memulai dengan  memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya Bang Asman merasa nyaman dan tak ada niat untuk mengajakku kembali tidur bersamanya. 

“Tunggu, Asman!” Aku berteriak untuk menahan langkahnya. “Ada yang mau aku sampaikan!”

Lelaki itu mendengkus. Dia membalikkan tubuh dan duduk di depanku. Sorot matanya tampak jenuh. Ah, tahukah dia, aku sangat muak melihatnya. Jika bisa, aku mau dia mati saja, agar aku bisa kembali ke kampung halaman tanpa membawa derita apa pun.  Bukankah pulang dengan membawa status sebagai janda yang ditinggal mati lebih baik, daripada hidup seperti suami istri, tetapi di dalamnya  menyimpan bom yang bisa meledak kapan saja. 

“Lihat!” Aku menunjukkan test pack dengan dua garis merah itu. 

“Apa itu?”

“Test pack. Aku hamil.” 

Bang Asman tampak kaget, tetapi tak lama, kemudian dia tertawa keras. Saking gelinya, dia menepuk-nepuk paha sendiri. Bahkan aku melihat bulir bening yang menetes dari sudut matanya. Hai, apa ada yang salah dengan pernyataanku? 

“Kau yakin itu anakku?” tanyanya di sela tawa. 

Perutku melilit mendengar pertanyaan tak masuk akal yang diucapkannya. Mungkin wajahku memerah seluruhnya. Bibirku merapat, menahan makian yang rasanya sudah berhamburan ingin keluar. Lelaki ini, tak cukupkah dia menyakitiku selama ini? Sampai hati sekeji itu dia menuduhku! 

Aku mendekatinya, dan menampar mulutnya sekuat tenaga. Air mata sudah meleleh sejak tadi. Entah, aku tak tahu apakah ini pengaruh kehamilan, atau memang amarah yang sudah terlalu lama aku pendam. Napasku sesak, dengan terengah-engah aku menunjuk batang hidungnya. 

“Kau memang tak punya pikiran!”

Lelaki itu tak terlihat kesakitan, dia hanya mengelus bibirnya yang memerah. 

“Jangan karena kau suka berganti pasangan, lalu kau samakan aku dengan dirimu, Asman!”

“Aku hanya bercanda.” Dia mengelak. 

“Bercanda katamu? Bahkan dalam bercanda pun kau masih menyakiti hatiku!” 

“Ah, sudahlah. Jangan drama.” Dia menepis tangan ke udara. “Syukurlah kalau kau hamil kan? Setidaknya ada yang harus kau urus di rumah.” 

“Memang sia-sia aku berbicara dengan kau, Asman!”

Lelaki itu menjambak rambutnya sendiri. Dia membuang napas, kemudian memandang tepat ke mataku. “Lalu kau mau aku bagaimana? Melompat-lompat seperti orang gila? Atau menggendongmu berkeliling rumah ini dengan rasa bahagia? Kau tahu sendiri, aku tak punya harapan banyak padamu. Kau mau menjadi istriku saja sudah cukup.”

Aku tertawa sumbang. “Aku memang bodoh, Emak pun bodoh karena percaya pada omong kosongmu. Aku pikir akhlakmu seelok Tengku Asnawi.” 

“Hai!” Dia menunjukkan dengan wajah marah. “Tak usah kau bawa-bawa paman aku! Juga tak usah kau menilai aku. Mau aku melakukan apa pun, tak akan mengurangi jatah belanjamu, Era.”

“Astaga!” Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sehatkah lelaki di depanku ini? “Kau yakin di dalam tubuhmu masih ada hati? Kau pikir uang saja yang penting untukku? Aku perlu kasih sayang, Asman, perhatian, rasa nyaman. Dan semua tidak pernah aku dapatkan darimu.” 

Tawa lelaki itu pecah lagi, seolah aku ini seorang pelawak yang berusaha untuk menghiburnya. “Jangan mengatakan omong kosong apa pun! Kau bisa apa tanpa uangku? Kau tinggal menikmati semua pencarianku, Ra, dan jangan banyak tingkah!” 

“Aku tidak hanya butuh uangmu saja! Aku perlu sosok suami!” 

L

“Aku suamimu! Lalu apa lagi? Jangan meminta terlalu banyak, Ra. Karena kau pun tak pernah memberi banyak padaku.” 

“Asman!” 

“Anggap saja pernikahan kita ini jual beli. Aku membeli hidupmu, kebebasanmu, dan kau membayarnya dengan menyerahkan hidupmu untuk menjadi istriku. Aku membayarmu dengan harga sangat pantas.” 

“Aku tidak merasa begitu! Aku tidak merasa ini jual beli!” 

“Aku tak peduli dengan pendapatmu! Saranku, kau jalani saja kehidupan kita di sini. Tunjukkan kepada dunia kalau rumah tangga kita baik-baik saja.”

“Kau memang pembohong ulung!” Aku bertepuk tangan. “Rumah tangga kita tidak baik-baik saja, Asman!”

“Lalu? Apa perlu orang tahu? Apa untungnya buat kita? Lebih baik kau membentuk image sebagai wanita baik-baik, dan aku suami baik-baik. Mudah kan, Ra? Isi dalam keluarga kita tak perlu orang lain tahu.” 

Aku membisu, masih merasa takjub dengan isi kepala Asman yang berbeda dengan orang lain. Jika lelaki lain menginginkan rumah tangga yang bahagia, dia sebaliknya. 

“Hidup ini sudah susah, Ra. Jangan kau bikin makin susah. Santai saja. Jalani dengan bahagia.” Dia meraih tas kerjanya yang tergeletak di atas meja. “Jadi, ini terakhir kalinya kita bahas omong kosong ini ya.” 

“Asman, pulangkan saja aku kepada keluargaku.” Aku menangis. Sungguh, aku tak sanggup lagi hidup dengan lelaki ini. 

“Sampai mati, hal itu tak akan pernah aku lakukan!” 

“Aku tak sanggup hidup selamanya denganmu!” Aku mulai hilang kesabaran. 

Dia menghela napas, kemudian berlalu meninggalkanku yang masih menangis terisak-isak. 

Aku sungguh tak mengerti apa yang dia inginkan dariku. Jika dia tidak mencintaiku, mengapa menikahiku? Jika dia ingin menjalani pernikahan seperti yang ada dalam otaknya, bukankah lebih baik dia menikah dengan pelacur. Pelacur tidak akan menuntut apa pun asal disediakan uang yang banyak. Mengapa aku? Mengapa harus aku? 

Rinduku menyeruak pada kampung halaman. Benakku penuh dengan kenangan akan kampung halaman yang damai. Di sana, aku jarang sekali mengeluarkan air mata. Hidupku penuh tawa dan bahagia. Bah selalu memanjakanku. Emak, walaupun suka memaksakan kehendaknya, tetapi dia menyayangiku. 

Emak, apa kabar perempuan kesayanganku itu? Sudah dua tahun tak mendengar kabarnya, rinduku seperti buih di lautan. Teramat banyak dan rasanya sudah tak mampu aku tahan. 

Mengapa aku tak pulang saja? Tabunganku penuh dengan uang. Apa susahnya ke bandara dan membeli tiket pesawat ke Pekanbaru. Sebuah ide melintas dalam benakku. Ya-ya, aku akan pulang besok. Menuntaskan rindu pada emakku, keluargaku, rumahku. 

Di tempat ini hanya air mata saja yang terasa, sedih dan dukacita seolah tak ada habisnya. Aku merana dalam hampa. Bang Asman yang harusnya jadi sandaran sama sekali tak dapat aku jadikan pegangan. 

Aku membulatkan tekad dalam hati. Besok aku akan pulang. Tak mungkin aku tersesat. Aku punya mulut untuk bertanya, punya uang cukup dalam saku. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status