Aku dan Mega baru saja tiba di rumah saat mobil Bang Asman memasuki pekarangan. Keningku berkerut dengan raut wajah yang tak bisa menyembunyikan rasa heran. Mau apa lelaki itu pulang cepat? Pasti ada sesuatu.
Akan tetapi, karena kepulangannya bukan hal yang penting, aku fokus mengurus Mega. Memintanya membuka seragam sekolah dan menyiapkan makan siangnya. Mega makan dengan tertib di meja makan, aku duduk di sebelahnya ikut makan siang.
Bang Asman masuk tanpa mengucapkan salam. Hanya terdengar suara sepatunya saja. Lelaki itu menyusul kami ke meja makan, mengambil piring dan mengisinya dengan nasi.
Selera makanku menguap, tetapi demi menjaga perasaan Mega yang juga terlihat tidak nyaman dengan kehadiran sang ayah, aku memaksakan diri mengunyah nasi. Sambil menghitung hingga 33 kali kunyahan dalam hati demi mengabaikan kehadiran Bang Asman.
Saat hendak membereskan piring dan meng
Mohon vote dan dukungannya ya💜💜 love kalian semua
Acara pelantikan berlangsung cepat. Aku baru tahu ada acara seperti ini. Serah terima jabatan ini lebih mirip acara makan-makan. Bang Asman menempel seperti lintah. Sedikit-sedikit dia memperbaiki rambutku, merapikan pakaianku, bahkan memangku tasku saat aku hendak makan. Sungguh menggelikan lelaki ini. Namun, karena sudah terbiasa aku ikuti saja permainannya. Mau sampai kapan dia membohongi orang seperti ini? Ada dua orang yang terus-menerus mengawasiku. Jangan bilang aku sok penting, tapi aku memang memiliki kepekaan seperti itu. Dayu dan Meri. Dayu, aku tidak mengenal lelaki muda itu. Namun, sorot matanya jelas sekali menggambarkan rasa iba. Mengapa dia kasihan kepadaku? Apa di keningku ada tulisan 'perempuan yang disia-siakan suaminya'? Meri pun sama. Dia menatapku dengan penuh rasa ingin tahu. Terutama saat Bang Asman bersikap berlebihan. Mungkin dia kecewa dengan ucapanku tadi. Aku benar-benar di luar kendali. Perkataan itu melunc
Waktu bergulir sangat cepat. Siang dan malam berganti tanpa menanti kita siap akan perubahan pada cakrawala. Matahari menggantikan tugas bulan setiap hari tanpa jeda. Bintang-bintang masih setia di tempatnya, berkelap-kelip memberi seberkas sinar jika awan menutupi bulan.Setahun, dua tahun, tiga tahun, bertahun-tahun aku habiskan dengan menyembuhkan luka-luka sendiri. Menyimpan perasaan rendah dan terabaikan dalam-dalam. Berdiri tegak di sisi Bang Asman walaupun sebenarnya aku ingin berlari jauh, sangat jauh.Semakin bertambah usia pernikahan kami, sikap Bang Asman semakin parah. Tak ada sikap baik, atau minimal menghargai kehadiranku. Dia semakin tenggelam dalam dunianya entah bersama perempuan mana. Tidak hanya sekali atau dua kali aku memergokinya selingkuh, terlalu sering. Sampai Mega, yang telah duduk di bangku sekolah menengah atas, pernah memergokinya ayahnya belanja bersama perempuan muda seusianya di mal.Entah
Tak sulit menemukan Mega di antara ratusan siswi berseragam putih abu-abu yang berkerumun di gerbang sekolah. Aku bukan sombong, tetapi Mega memang menonjol. Dia cantik sekali. Kulitnya kuning Langsat persis Bang Asman. Wajahnya oval dengan hidung mancung dan bibir tipis merah. Bentuk tubuhnya mengundang. Karena itu aku tak pernah lalai mengantar jemput Mega. Dunia sudah gila. Penjahat kelamin berkeliaran di mana-mana. Tak hanya teknologi saja yang semakin canggih, tetapi para penjahat pun upgrade skill kriminal berkali-kali lipat. Aku pernah mengetahui perbuatan kriminal seorang paman yang memerkosa keponakannya. Mungkin aku tidak akan mengumpat panjang jika keponakannya itu bukan bayi perempuan yang baru berumur tiga bulan. Bayangkan! Tiga bulan? Apa yang ada pada tubuh anak berusia tiga bulan? Saat menonton berita itu di salah satu tayangan kriminal di stasiun televisi berlogo burung biru, aku melihat wajah si kriminal babak belur. Sungguh, itu tidak cukup
DKI Jakarta, 2021 Bang Asman berjalan ke panggung, tubuh tegap dan wajah tampannya tampak memukau semua orang. Aku mencibir dalam hati, kekaguman mereka hanya sebatas tampilan luar saja. Andai mereka tahu, bagaimana Bang Asman di rumah, pasti semua tidak akan sama lagi. Bang Asman mengucapkan sumpah jabatan dengan pasti. Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya seperti sebuah kesungguhan. Lagi-lagi aku mencibir, kali ini terlepas cibiran itu di bibirku. Akad nikah saja dia pungkiri, apalagi hanya sumpah seperti ini. Aku yakin, Bang Asman tak segan mengingkarinya. Setelah sah dengan jabatan barunya, Bang Asman menyongsongku. Dia bersikap seolah rumah tangga kami penuh kebahagiaan. Bang Asman memelukku, mencium pucuk kepalaku, dan memandangku dengan hangat. Tentu saja, aku pun berbuat sama. Jangan sampai, sandiwara kolosal yang sedang diperankan Bang Asman gagal total. “Selamat, Pak Kadis.” Seseo
Jam tujuh malam, aku tiba di rumah. Garasi masih kosong, artinya Bang Asman belum pulang. Sesekali, aku ingin pulang lebih lambat darinya. Melihat dia menungguku hingga ketiduran di depan televisi, dan saat aku tiba di rumah, dia memelukku dari belakang. Berbisik bahwa dia rindu aku, bahwa dia telah lama menungguku, bahwa dia ingin tidur di sebelahku, bahwa dia tak sabar memelukku. Aku menepis bayangan itu. Semuanya tak ‘kan pernah menjadi kenyataan. Aku membuka pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang makan. Perasaan hampa semakin kuat merajai hatiku. Aku pun bingung, mengapa Tuhan masih membiarkanku hidup hingga sekarang. “Ma.” Aku terkejut melihat Mega duduk sendiri di ruang makan. Aku tahu sekarang, dialah alasan kenapa Tuhan masih membiarkanku bernapas. “Belum tidur, Meg?” Senyumku langsung terukir saat melihatnya s
Usai salat Subuh, aku keluar kamar seperti biasa. Sepagi ini, Bang Asman sudah meninggalkan rumah. Baginya, weekend itu tidak ada. Aku menghidupkan televisi besar di ruang tengah. Ini kebiasaanku setiap hari. Lagu Melayu lawas menemaniku sepanjang pagi hingga nanti aku ke Lolita siang hari.Lagu Eddy Silitonga berjudul Ambang Sore, bergema di udara. Mulutku bernyanyi mengikuti suara merdu penyanyi aslinya. Anganku melayang ke kampung halaman yang sudah tiga puluh tahun aku tinggalkan. Pun mendengarkan lagu ini selalu membuatku merindukanFahmi. Apa kabar lelaki itu? Masihkah dia ingat padaku? Setelah semua luka yang aku gores di hatinya?“Tiap sore, kunantikan, di simpang tiga titian. Dengan debar pengharapan, namun dikau tiada datang.”“Mama.”Suara Mega menghentikan senandungku. Aku menatap wajah bangun tidur Mega, anak itu kelihatan sangat kelelahan.“Kamu begadan
Aku menghabiskan malam dengan gelisah. Di kamar berukuran besar, dengan dinding bermotif hitam putih, aku membolak-balikkan badanku di atas ranjang.Cuaca sejuk dari pendingin udara, sama sekali tak membantu. Biasanya, aku mudah ngantuk jika terkena udara dingin. Malam ini berbeda, entah mengapa. Akhirnya, aku memilih duduk di depan cermin. Menatap wajahku yang sudah menua.Tak ada lagi Era muda yang pemalu. Pantulan di depanku sekarang adalah Era yang telah banyak menelan pil pahit kehidupan. Era yang pandai menyembunyikan luka. Era yang ahli menukar ekspresi wajah. Era yang sudah membeku. Benakku penuh tanya, mengapa hidupku seperti ini. Padahal, aku sudah berusaha untuk mencintai Bang Asman. Membuka hati seluas-luasnya, tapi, setitik kasih sayang pun tak ada dia berikan.Mungkin, Tuhan menganggap aku sangat kuat, sehingga menuliskan semua takdir ini untukku. Aku menghela napas. Sesak memenuhi dadaku. Kebahagiaan yang
Aku bukan tak ingin menemani Mega pulang ke Jakarta, tetapi aku tahu persis isi kepala orang-orang di sini. Janda yang ditinggal mati itu tak pantas menunjukkan diri sebelum kering kuburan suaminya. Tak peduli, seberapa berat hidup yang dijalaninya. Kadang aku berpikir, bagaimana seorang perempuan bekerja menghadapi pikiran buruk masyarakat, sebab dia harus keluar rumah untuk bekerja walaupun kuburan suaminya belum kering. Jika tidak, maka dapurnya tidak ngebul. Di Jakarta adalah hal biasa bagi perempuan yang kehilangan suami untuk bekerja kembali. Paling tidak tujuh hari setelah berkabung. Jika ada yang nyinyir paling hanya sekelompok kecil yang kurang kerjaan, dan akan reda dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.Aku jadi sedikit malu. Dulu, waktu aku masih sekolah, aku pernah menyindir Hayati, teman sekelasku yang ibunya bekerja. Saat itu, Hayati baru saja kehilangan ayahnya. Belum lagi empat puluh hari, ibu Hayati yang bekerja di pabrik kembali mondar-m