Share

9. AL, YOU ARE NOT ALONE

  1. Alya, You are not alone

Alya berjalan pelan menelusuri  bangsal rumah sakit dengan langkah gotai. Fikirannya masih tertuju pada kata-kata dokter Ridwan.

‘Delapan juta! Nominal yang tidak sedikit untuk orang seperti Alya. Bagaimana ia bisa mendapatkannya dalam waktu yang singkat?’

Di depan Alya tampak kursi tunggu pasien. Gadis itu berjalan mendekati kursi dan duduk di salah satu kursinya. Mungkin ada baiknya ia menenangkan diri dulu. Fikirannya yang kalut tentu akan memberikan efek yang tidak baik pada ibunya nanti. Sebaiknya ia menenangkan diri dulu sebelum menyampaikan kondisi kesehatan Nadine pada ibu agar ibu tidak ikut-ikutan panik.

‘Pletaak’

Bunyi benda jatuh di belakang Alya. Gadis sembilan belas tahun itu menoleh. Tampak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya berusaha meraba-raba tongkat yang jatuh tapi tak berhasil diraihnya.

Segera Alya bangkit dari tempat duduknya untuik membantu sang ibu. Diraihnya tongkat kayu yang terjatuh di lantai dan dia berikan di tangan si ibu.

“Ini bu tongkatnya”

 Ujar Alya sambil memberikan tongkat pada ibu yang ada di depannya.

“Oh, terima kasih yang mbak”  Ucap sang ibu sambil tersenyum.

“Sama-sama buk” jawab Alya membalas ucapan terima kasih sang ibu.

“Ibuuuu... “

Dari belakang terdengar suara seseorang. Alya menoleh. Tampak seorang anak perempuan seumuran Nadine berlari mendekati mereka.

“Ibuu kok gak nunggu Yanti dulu. Nanti ibu jatuh lho”

Katanya sambil mengusap tangan sang ibu.

“Ibu tadi mau jalan ke depan tapi tongkatnya jatuh, untung ada mbak ini yang bantuin.”

Ibu itu menjelaskan pada anaknya.

“Oh, terima kasih ya mbak sudah bantuin ibu saya.”

Kata anak itu sambil mencium tangan Alya.

“Iya, sama-sama”

Ujar Alya sambil mengelus kepala sang gadis kecil.

“Ibu mau ngapain emang ke depan bu?”

Tanya sang anak.

“Dari tadi Beni  nangis terus, mungkin haus. Jadi ibu mau  cari minum buat dia.”

Jelas si ibu sambil mengelus pipi balita yang ada di gendongannya.

“Memangnya ibu punya duit buat beli susu?”

Tanya anak yang bernama Yanti itu.

“Ibu mana pegang duit yan. Kan duit kita sudah habis buat beli obat bapak. Maksud ibu mau minta minum air putih di dapur  rumah sakit, lumayan buat nahan haus si Beni.”

Kata- kata si ibu cukup lugas hingga bisa didengar jelas oleh Alya yang ada di depannya.

“Nanti Yanti aja yang minta bu. Ibu duduk disini aja sama adek”

Ujar sang gadis kecil sambil menarik tangan ibunya untuk duduk di kursi yang ada di ruang tunggu rumah sakit.”

“Ya sudah, ibu tunggu disini ya. Kamu jangan lama-lama, adik kamu sudah haus sekali”

“Oke bu.”

Kata Yanti sambil mengacungkan ibu jarinya pada sang ibu. Lalu setengah berlari gadis kecil menjauh menuju dapur rumah sakit.

“Anaknya pinter ya buk” Alya berkata pada si ibu.

“Iya mbak, pintar dan berbakti sama orang tua.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Pasti ibu bangga ya punya anak seperti Yanti.” Lagi Alya berkata.

“Bangga, bangga sekali. Walau kadang-kadang saya suka sedih lihat itu anak.”

Suara si ibu berubah serak

“Lho, sedih kenapa buk?” Alya tak dapat menahan rasa ingin tahunya.

“Anak seumur dia kan harusnya lagi asyik-asyiknya menikmati hidup. Belajar, jalan-jalan sama teman. Ini malah sibuk ngurusin bapaknya yang sakit-sakitan, ibunya yang hampir buta sama adek-adeknya yang masih kecil. Iki piyeee tho nduk”

Tiba-tiba si ibu terisak sambil memeluk anak yang ada di gendongannya.

Alya menggeser duduknya agar lebih mendekat dengan si ibu.

“Memangnya bapak Yanti sakit apa buk?” Tanya Alya.

“Gagal ginjal mbak” Jawab ibu sambil terisak.

“Dua tahun yang lalu saat mata ibu masih sehat, ibu yang bekerja mencari nafkah menggantikan bapak. Yanti menjaga bapak dan adik-adiknya di rumah. Tapi sejak mata ibu kena penyakit katarak, ibu tidak bisa bekerja lagi seperti dulu. Kata majikan ibu sejak ibu sakit, ibu nyucinya gak bersih seperti dulu. Jadi dia gak bisa mempekerjakan ibu lagi. Ibu juga tidak bisa lagi jual gorengan karena sering jatuh saat menjajakannya di jalan. Jadi sekarang semua pekerjaan Yanti yang kerjakan. Pagi-pagi itu anak sudah bangun buat mandiin adik-adiknya terus masak, nyapu dan nyiapian gorengan buat di jual. Terus pagi-pagi dia jual koran di lampu merah, siangnya jual gorengan dan malam kadang masih ngamen agar dapat duit tambahan untuk berobat bapaknya.” Curahan hati si ibu sambil terisak.

“Yanti gak sekolah bu?” Rasa ingin tahu Alya membuatnya kembali bertanya.

“Dulu sekolah sampai kelas lima. Saat kelas enam, ibu sakit jadi dia memutuskan untuk berhenti sekolah biar bisa bantu ibu jaga bapak sama adik-adiknya.”

Jawab si ibu tetap dengan suara seraknya.

“Sayang sekali ya bu. Padahal coba di tamatin dulu sampai kelas enam, paling tidak sudah ada ijazah SD.” Kata Alya.

Alya ingat betul saat kelas satu SMU ia ingin berhenti sekolah karena musibah yang menimpa sang ibu yang menyebabkan kaki ibu pincang sampai sekarang. Saat itu yang ada di fikiran Alya hanya bagaimana caranya agar ia, ibu dan adik-adiknya bisa bertahan hidup. Saat itu Alya sudah akan menyerah tapi sang ibu bersikeras agar Alya tetap melanjutkan pendidikannya sampai tamat SMU. Ibu bilang dengan ijazah SMU siapa tahu akan berguna saat mencari pekerjaan nantinya. Ibu bahkan mengancam tidak mau minum obat jika Alya tetap melanjutkan niatnya berhenti sekolah.

“Ibu sudah bilang sama Yanti agar tidak berhenti sekolah tapi dianya ngeyel, gak mau denger apa yang ibu bilang. Tapi kan Yanti berhenti sekolah karena mau ngurus kami. Jadi bisa di bilang itu salah ibu yang gak bisa mencukupi kebutuhan keluarga”

Wanita yang berumur sekitar empat puluh tahun itu kembali terisak setelah menyelesaikan kalimatnya.

“Ibu gak pernah buat Yanti bahagia. Kami semua cuma nyusahin itu anak. Gusti Allah, ampuni hambamu ini.”

Tangisnya kembali pecah. Ibu itu menangis terisak sambil memeluk anak yang ada di gendongannya.

Alya ikut terenyuh melihatnya. Iya memegang tangan sang ibu lalu berkata

“Ibu tak boleh berfikir seperti itu bu. Semua yang terjadi itu kehendak Allah. Ibu tak boleh menyalahkan diri ibu sendiri”

Nasehat Alya sambil mengusap tangan sang ibu, berusaha memberikan kekuatan padanya yang terlihat begitu putus asa.

“Ibu tahu ini kehendak Allah cuma ibu sering merasa bersalah sama Yanti karena sudah membebani hidupnya dengan segala kekurangan kami sebagai orang tua. Bapaknya juga sering nangis sendirian kalau tengah malam lihat dia masih bangun jagain adiknya. Bapak sama ibu merasa gagal jadi orang tua mbak”

Ibu itu kembali mencurahkan perasaannya. Mungkin selama ini rasa bersalah itu cuma beliau pendam dalam hati karena tak ada tempat untuk mencurahkannya. Maka saat iya bertemu dengan Alya yang mungkin dia rasa bisa menjadi pendengar, ia mencurahkan semuanya walau baru pertama kali bertemu.

“Ibu yang sabar ya. Banyak berdoa agar Allah membantu Yanti dalam setiap pekerjaannya. Ibu dan bapak di berikan kesabaran dalam menghadapi cobaan hidup yang sedang menimpa ibu sekeluarga. Ingat, ibu gak boleh menyalahkan diri sendiri. Semua masalah datangnya dari Allah bu, kita sebagai mahluk ciptaannya hanya bisa berdoa dan berikhtiar agar bisa melalui semua cobaan.

Nasehat Alya yang sebenarnya juga ia tujukan pada dirinya sendiri. Apa yang terjadi pada Yanti hampir sama dengan apa yang ia alami sekarang.

“Iya mbak. Ibu selalu berdoa pada gusti Allah semoga semua cobaan ini cepat berakhir dan kami bisa memperbaiki hidup.”

Masih dengan isak tangis, si ibu menjawab.

“Iya buk, saat jalan sudah buntu, semua usaha sudah kita lakukan maka tak ada jalan   selain memohon pertolongan Allah agar kita bisa di beri kelapangan dada dalam menghadapi semuanya”

Lagi, nasehat yang keluar dari mulut Alya di juga di tujukan pada dirinya sendiri.

Si ibu hanya membalas dengan anggukan. Bulir bening masih keluar dari pelupuk matanya.

“Ibu harus bangga punya anak seperti Yanti yang mau berkorban demi keluarganya. Banyak anak-anak di luar sana yang mungkin umurnya jauh diatas Yanti tapi hanya bisa mengeluh saat masalah datang padanya. Ibu beruntung punya anak seperti Yanti bu.”

Kali ini Alya membelai punggung si ibu untuk memberikan kekuatan padanya.

“Iya mbak, mbak benar. Tak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Lebih baik air mata diganti doa ya mbak.” Isaknya hanya sesekali terdengar.

“Iya bu, yang semangat ya. Allah bersama orang-orang yang sabar.”

Ibu itu kembali mengangguk tanda setuju dengan apa yang dikatakan Alya.

“Ini airnya buk”

Suara dari belakang mengagetkan Alya dan sang ibu. Serentak mereka menoleh ke belakang. Yanti sudah ada di belakang dengan sebotol air di tangannya.

“Ibu lihat aku bawa apa?”

Gadis itu menyodorkan kantong plastik hitam pada ibunya.

“Apa itu yan?”

“Tadi waktu aku minta minum ada orang yang mau buang ini ke kotak sampah jadi aku minta saja. Aku sudah lihat kok buk gorengannya masih bagus, masih bisa di makan cuma agak keras saja”

Jelasnya sambil membuka kantong kresek yang ia pegang. Tampak disana beberapa gorengan yang sudah agak keras tapi seperti yang Yanti katakan, masih bisa dimakan.

Ibu itu tersenyum pada sang anak.

“Iya nduk, masih bisa di makan. Nanti kamu bawa ya buat adik-adikmu di rumah.”

“Lho, ibu gak mau? Ibu dari tadi malam gak makan lho”

Tanyanya heran.

“Ibu masih kenyang Yan. Semalam kan ibu makan sisa nasi bapak yang dari rumah sakit.”

“Apa sekarang masih kenyang? Kan makannya tadi malam tho buk?”

“Iyaaa, masih kenyang banget nduk. Sekarang kamu anterin gorengannya ke rumah. Kamu makan sama adik-adikmu ya Yan. Ibu mau nyuapin bapak sama kasih minum sama Beni”

Ujar si ibu sambil mengelus pipi anak yang ada di gendongannya.

“Ya sudah, kalau begitu aku pulang ya buk. Takutnya adik-adik sudah kelaparan. Tapi...”

“Tapi apa Yan”

“Apa ibu ndak mau ambil gorengannya satuu saja. Buat ganjel perut buk. Takutnya nasi makanan dari rumah sakit sedikit, cuma cukup buat bapak.”

Tanya Yanti sambil kembali membuka kantong kresek berisi gorengan tadi.

Tampaknya Yanti tahu kalau ibunya berbohong. Iya tahu ibunya bukan masih kenyang tapi menahan lapar agar gorengan itu bisa dibawa Yanti untuk adik-adiknya di rumah. Aya bergetar menyaksikan pemandangan di depannya itu.

Si ibu terdiam beberapa saat sambil melihat ke gorengan yang ada di kantong kresek di depannya. Tampaknya ia sedang menimbang cukup atau tidaknya gorenagn itu u tuk anaknya di rumah.

“Gorengannya ada sembilan potong buk. Klau cuma ibu ambil satu kan masih ada delapan. Cukup buat adik-adik di rumah.”

Ujarnya meyakinkan sang ibu.

“Iya, ibu ambil satu ya kalau begitu.”

Kata si ibu. Lalu Yanti mengambil sepotong bakwan dari kantong kresek.

“Makan sekarang buk. Biar ibu gak lapar”

Yanti berkata  sambil menyodorkan bakwan itu ke mulut sang ibu.

“Iya nduk, iyaaaa...”

Jawab si ibu sambil memasukkan sepotong bakwan itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya.

Alya tersenyum melihat apa yang terjadi. Gadis ini pintar. Ia tahu kalau si ibu pasti akan menyimpan sepotong bakwan itu untuknya. Jadi ia minta ibunya makan bakwan itu sekarang.

 Senyum terukir di bibir Yanti. Senyum yang sama muncul di bibir Alya saat melihat  adegan yang menurut Alya sangat romantis. Jauh lebih romantis daripada kemesraan  sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta.

“Ya sudah, Yanti pulang dulu ya bu. Mau kasih gorengannya ke adik-adik di rumah. Mungkin Yanti kembali lagi ke rumah sakit agak sorean ya buk. Mau  ngamen dulu, siapa tahu dapat duit banyak buat beli susu Beni jadi Beni gak minum air putih terus”

Ada perih di hati Alya mendengar apa yang di katakan Yanti.  Dipandang Alya balita yang ada di gendongan si ibu. Balita laki-laki dengan badan kurus dan rambut jagung. Terlihat sekali kalau balita itu kurang asupan gizi.

“Iya, hati-hati ya nak. Kalau ada preman yang suka malak di lampu merah kamu lari cepat-cepat ya nanti kalau kedapetan kamu bisa digebukin sama mereka,”

Jawaban si ibu makin membuat hati Alya teriris.

‘Demi sesuap nasi, anak semuda itu terpaksa mengais rejeki di tempat berbahaya. Alya tahu kalau si ibu juga khawatir pada Yanti, tapi keadaan memaksanya untuk mengijinkan sang anak.’

“Siap buk. Aku pergi dulu ya buk” Ujar Yanti sambil mencium tangan si ibu lalu ia menoleh ke arah Alya dan berkata

“Aku pergi dulu ya kak. Terima kasih tadi sudah bantu ibu” ujarnya sambil mencium tangan Alya.

“Iya, kamu hati-hati ya” kata Alya dan dibalas anggukan oleh Yanti lalu mulai berjalan menjauh.

Si ibu kembali menghapus bulir bening yang kembali jatuh di pipinya saat Yanti mulai menjauh dari pandangan.

“Ehm, buk kalau begitu saya permisi dulu ya.”

“Oh iya mbak. Terima kasih tadi sudah menolong saya.”

“Iya buk sama-sama.”

Alya masih ingat di kanting celananya ada uang seratus ribuan, hasil dari jualan kue kemarin. Alya mengambil selembar lima puluh ribuan lalu menyelipkannya ke tangan si ibu.

“Lho, ini buat apa mbak?”

Tanya sang ibu kebingungan.

“Ini saya ada sedikit uang buat Beni beli susu. Biar gak minum air putih terus.

“Ya Allah mbak. Gak usah. Mbak pasti juga butuh.”

Jawab ibu itu merasa tak enak kepada Alya.

“Saya masih ada yang lain ibu. Mohon di terima buk. Kita bagi-bagi rejeki”

Jawab Alya sambil tersenyum.

Si ibu menerima uang yang diselipkan Alya di tangannya dengan haru. Air matanya kembali jatuh.

“Terima kasih ya mbak. Semoga semu kebaikan mbak di balas sama gusti Allah”

“Amiin ya rabb. Kalau begitu saya permisi dulu ya buk.”

“Iya mbak”

Lalu Alya meninggalkan si ibu untuk kembali ke ruang rawat Nadine.  Ia harus segera memberitahu ibu tentang kondisi Nadine dan membicarakan langkah apa yang harus mereka ambil.

Alya berjalan dengan punggung tegak dan seulas senyum tipis di bibirnya.Ya, kejadian yang barusan Alya lihat menyadarkannya kalau ia tak sendiri. Masih banyak orang-orang yang jauh kebih menderita di sekelilingnya. Tak ada alasan untuk mengeluh dan berputus asa. Ia yakin  bisa menghadapi semua cobaan yang Allah berikan.

“Al, you are not alone. Fighting!”

Bisiknya sambil berjalan tegap menuju ruang Nadine.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status