Share

8.MENGHADAPI KENYATAAN YANG MENYAKITKAN

  1. Menghadapi kenyataan yang menyakitkan

Sepeninggalan kedua guru Nadine, Alya mengajak bu Kartika untuk kembali duduk di sebelah ranjang Nadine. Ada raut khawatir di wajah keduanya. Kekhawatiran yang sama yaitu tentang hasil pemeriksaan Nadine.

“Semoga Nadine cepat sembuh ya Al. Ibu gak tega lihat Nadine seperti ini. Ibu takut Nadine kenapa kenapa.”

Ujar bu Kartika dengan suara serak.

“Alya yakin Nadine bisa segera sembuh buk Tenang saja.. Yang penting sekarang kita berdoa. Memohon pada Allah untuk kesehatan Nadine.”

Jawab Alya. Gadis itu berushaa menenangkan sang ibu.

Bu Kartika menggenggam tangan Alya yang diikuti oleh Alya yang juga menggenggam tangan sang ibu. Keduanya saling berpandangan namun tak sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Mereka hanya saling memandang dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Lalu keduanya larut dalam fikiran masing-masing.

Keesokan harinya

Alya sedang memijit kaki sang ibu saat seorang suster mendekati ranjang Nadine lalu memeriksa infus yang terpasang di pergelangan tangan Nadine lalu ia mencatatnya di sebuah kertas yang ia bawa lalu suster itu berkata.

“Maaf mbak, ibu... siapa wali pasien?”

Tanya suster.

“Saya ibunya sus”

Jawab bu Kartika.

“Ibu diminta dokter untuk menghadap ke ruangan sekarang.”

Suster memberitahukan informasi kepada bu Kartika dan Alya.

“Oh iya suster. Saya akan segera kesana” Jawab bu Kartika.

Baru saja bu Kartika hendak bangkit dari tempat duduknya tangan Alya menahan.

“Biar Alya saja bu. Ibu jagain Nadine saja. Tadi ibu kan sudah capek berjalan dari depan rumah sakit sampai kesini. Nanti kaki ibu sakit lagi.” Kata Alya.

Bu Kartika berfikir beberapa saat lalu kemudian menganggu tanda setuju denga apa yang dikatakan Alya.

Alya bangkit dari tempat duduknya.

“Saya saja suster. Saya kakak pasien. Ibu saya agak sulit berjalan jauh”

“Oh iya mbak, silahkan. Mari ikut, saya akan tunjukkan ruang dokter Ridwan”

Alya mengangguk lalu menoleh ke arah ibunya.

“Ibu tunggu disini dulu ya bu. Alya mau ke ruang dokter”

“Iya nak.” Jawab bu Kartika.

Alya baru hendak melangkahkan kakinya saat tangannya ditahan oleh sang ibu. Alya memandang ibunya.

“Kenapa bu?

Tanya Alya.

Bu Kartika menatap Alya dengan riang yang terlihat di sudut matanya.

“Semoga dokter memberikan kabar baik untuk kita ya nak. Semoga Nadine baik-baik saja” Ujarnya dengan suara serak.

 Alya terdiam. Ia tahu persis betapa khawatirnya sang ibu. Perasaan yang sekarang juga tengah ia rasakan. Alya juga khawatir tapi ia tak boleh menunjukkannya di depan sang ibu agar beliau bisa lebih tenang.

“Insya Allah bu. Kita harus yakin kalau Nadine baik-baik saja”

Alya mencoba menenangkan sang ibu yang terlihat begitu khawatir.

“Amiin ya rabb. Semoga saja ya nak” Jawab bu Kartika sambil mengusap wajahnya.

Dalam hati Alya terisak. Tangan keriput sang ibu terasa bergetar saat menggenggam tangannya. Suaranya pun terdengar bergetar tanda ia menahan tangis.

‘Ya Tuhan, berikanlah kabar baik untuk kami’ Doa Alya dalam hati.

 Ia lalu mengusap lengan sang ibu lalu menggenggam tangannya, hanya sebentar lalu melepaskannya.

“Alya ke ruangan dokter dulu ya bu”

Bu Kartika mengangguk lalu Alya berjalan mengikuti suster.

Di ruangan dokter Ridwan

“Assalamualaikum dok”

Sapa Alya saat berhadapan dengan dokter yang menangani Nadine.

Tampak dokter setengah baya yang mungkin seumuran dengan ibu Alya. Dokter dengan kaca mata yang menghiasi indera penglihatannya. Rambutnya yang terlihat memutih di beberapa bagian agaknya tak dapat menutupi sisa ketampanannya di masa muda yang masih sangat terlihat jelas. Tangan sang dokter masih tampak sibuk dengan mouse yang ia genggam di tangannya. Sebuah laptop tampak di atas meja dengan gambar yang entah Alya tak tahu pasti itu apa. Dokter itu memandang Alya dan mempersilahkannya duduk.

“Waalaikumsalam. Silahkan duduk” Jawab sang dokter.

 Ia melirik sekilas pada Alya lalu matanya kembali ke monitor laptop yang ada di hadapannya. Sesekali ia memindahkan pandangannya dari laptop ke kertas yang ia pegang. Seperti sedang mencocokkan sesuatu.

Alya mendaratkan tubuhnya di kursi yang letaknya tepat didepan dokter itu. Sekarang mereka duduk berhadapan, hanya terpisah oleh sebuah meja kerja sang dokter yang diatasnya terdapat papan nama yang bertuliskan Dr.dr. Ridwan Hariadi.SpJP.

Dokter itu masih sibuk membaca kertas yang ia pegang. Dahinya berkerut sedangkan Alya hanya diam sambil sesekali melihat ke arah sang dokter.

Tak berapa lama terdengar helaan nafas laki-laki setengah baya itu. Ia membenahi letak duduknya dan memandang Alya yang ada di depannya.

“Dengan wali Nadine Purnama ?”

Dokter itu bertanya.

“Iya dok, saya kakaknya Nadine”

Dahi sang dokter kembali berkerut.

“Orang tua Nadine kemana?” Ujarnya dengan hati-hati.

Mungkin sang dokter takut kalau ternyata kedua orang tua pasiennya sudah tiada.

“Eh,begini dok. Ayah kami sudah tiada sedangkan ibu ada masalah dengan kakinya jadi tidak bisa terlalu sering dipakai untuk berjalan. Jadi saya minta ibu untuk menunggu adik saya di ruangan pasien dan. saya berinisiatif untuk menggantikan ibu menemui dokter... tak mengapa kan dok?”

Alya menjelaskannya.

“Eh, sebenarnya saya butuh orang tua dari Nadine karena sebelum saya menjelaskan hasil pemeriksaan pertama Nadine saya ingin menanyakan beberapa hal tentang riwayat kesehatan Nadine agar mempermudah untuk memutuskan langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya.”

Ujar dokter Ridwan.

“Saya tinggal serumah dengan adik saya dok. Insya Allah saya tahu semua riwayat kesehatan Nadine. Kalaupun ada yang tidak saya ketahui akan saya tanyakan pada ibu saya nanti” Jawab Alya.

Dokter Ridwan mengangguk.

“Jadi saya boleh ya dok, mewakili ibu saya?”

“Oh, ya tentu saja tak apa. Kamu kan walinya juga” Jawabnya sambil tersenyum.

Alya hanya mengangguk.

“Sebelum saya menjelaskan. Perkenalkan saya dokter Ridwan Hariadi. Dokter yang menangani Nadine Purnama, adik anda.”

Dokter Ridwan memperkenalkan diri sambil mengangsurkan tangannya.

“Saya Alya Purnama dok, kakaknya Nadine”

Jawab Alya menyambut uluran tangan dokter Ridwan.

“Oke Alya, sebelum saya menjelaskan kondisi Nadine saya ingin menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan riwayat kesehatan Nadine.”

“Iya dok silahkan” Jawab Alya.

“Ehm, apakah selama ini Nadine sering sakit?” Tanya dokter Ridwan.

“Iya dok, memang dari kecil Nadine gampang sakit. Dia gak boleh terlalu capek. Kalau sudah kecapekan pasti dia akan pusing dan demam beberapa hari tapi setelah minum obat akan berangsur pulih dok”

Dokter Ridwan hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Alya. Kembali matanya melihat layar laptop.

“Apa saat sakit kulitnya pucat dan...agak kebiruan?”

Alya berusaha mengingat saat Nadine berusia delapan tahun. Saat itu Nadine pulang dari mengikuti kegiatan pramuka di sekolahnya. Nadine pulang dalam keadaan panas dan lemas. Saat itu ibu sedang tidak ada di rumah karena sedang mencuci di rumah majikannya. Alya yang memang sudah terbiasa dengan keadaan Nadine segera ke warung untuk membeli obat penurun panas. Sesampainya di rumah Alya kaget melihat kulit badan Nadine berubah pucat dan... kebiruan.

Ya, kulit Nadine berubah kebiruan. Alya lalu memberikan obat pada Nadine. Beberapa jam kemudian kulitnya yang pucat dan kebiruan berubah kembali seperti semula. Dan itu terus terjadi bila Nadine sakit. Tapi karena sudah terbiasa dan tahu cara menanganinya. Alya tak berfikir kalau itu penyakit serius.

“Alya...?” Suara dokter Ridwan membuyarkan lamunan Alya.

“Oh, eh.. iya dok. Saat sakit memang kulit Nadine pucat dan agak membiru samar dok.” Jelas Alya.

“Dokter Ridwan mengangguk.

“Apa Nadine juga sering sesak nafas belakangan ini Al?”

Tanya dokter Ridwan lagi.

“Iya dok. Dari kecil malahan.Nadine kalau keleahan sering demam yang diiringi dengan sesak nafas. Ibu bilang itu asma.”

“Apa sesak nafas Nadine pernah di periksakan ke dokter? Maksud saya apa dokter yang mengatakan kalau sesak nafas yang di derita nadin itu gejala asma?”

“Kami gak pernah bawa Nadine ke dokter dok karena terkendala biaya. Dari gejala Nadine ibu bilang mirip asma tapi itu hanya pendapat ibu. Makanya ibu selalu memberi obat asma kalau sesak nafanya Nadine kumat.

Lagi, dokter Ridwan hanya mengangguk mendengar penjelasan Alya.

“Apa Nadine sering batuk ?”

“Iya dok, Nadine dari kecil memang kalau dia sudah demam sering sesak nafas dan batuk...”  Alya tak melanjutkan kata-katanya.

“Batuk berdarah?” Dokter Ridwan berkata.

“Iya dok, batuk yang disertai dengan darah keluar dari mulutnya. Setelah itu Nadine akan bertambah lemas dan kerongkongannya sakit dok.”

Rasa khawatir Alya semakin bertambah. Dokter Ridwan tahu kalau batuk Nadine sering mengeluarkan darah.

‘ Apa dokter Ridwan telah menyimpulkan sesuatu?’ Kata Nadine dalam hati.

Terlihat dokter Ridwan menghela nafas. Pemandangan yang membuat Alya bertambah khawatir.

“Jadi sebenarnya Nadine sakit apa dok?”

“Ehm... begini Al, berdasarkan pemeriksaan awal yang saya lakukan kalau ada masalah pada...jantung Nadine” Kata Dokter Ridwan.

“Degh” Detak jantung Alya berdetak lebih cepat.

“Ada masalah...dengan jantung Nadine dok? Maksud dokter Nadine sakit jantung?”

Tanya Alya.

‘Saya belum bisa menyimpulkan apa ini penyakit jantung atau gangguan jantung lainnya karena pemeriksaan baru di tahap awal. Yang saya hanya bisa katakan sekarang adalah jantung Nadine bermasalah. Untuk detailnya harus dilakukan pemeriksaan lanjutan.”

Dokter Ridwan berusaha memilih kata-kata yang tepat agar gadis muda di hadapannya itu tidak bertambah khawatir.

Alya menatap wajah dokter setengah baya dihadapannya lalu menunduk, berusaha berfikir jernih. Kelebatan wajah Nadine saat sakit nampak di pelupuk mata Alya.

‘Jantung...ya Allah Nadine’

Alya berkata dalam hati. Lalu ia mengangkat wajahnya.

“Jadi kapan kami bisa tahu hasil akhirnya dok?”

Jika kita melakukan pemeriksaan hari ini maka hasilnya dua hari lagi akan kita ketahui tapi..” Dokter Ridwan tak melanjutkan kata-katanya.

“Tapi apa dok?” Tanya Alya.

‘Dengan berat hati saya harus beritahu anda kalau pemeriksaan lanjutan ini biayanya tidak di cover oleh kartu kesehatan pemerintah. Jadi kamu harus mengeluarkan uang yang lumayan besar untuk pemeriksaan lanjutan Nadine.”

Pelan dokter Ridwan menjelaskan agar gadis muda dihadapannya itu bisa mencerna kata-katanya.

Alya terdiam lalu menjawab.

“Berapa uang yang harus saya siapkan untuk biaya pemeriksaan lanjutan Nadine dok?”

Alya bertanya ragu.

“Sekitar delapan juta.”

Jawab dokte Ridwan.

Alya terbelalak mendengarnya.

‘Delapan jutaa! Bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.’ Jerit Alya dalam hati.

“Ya tuhan,apa yang harus aku lakukan?” Hati Alya kembali berbicara.

Beberapa saat Alya menunduk lalu ia mengangkat wajahnya dan menatap dokter Ridwan.

“Kapan pemeriksaan pada Nadine bisa dilakukan dok?”

“Dengan berat hati saya harus mengatakan kalau saya bisa melakukan pemeriksaan lanjutan pada Nadine bila kamu sudah membayarkan biayanya pada bagian administrasi rumah sakit. Intinya, pemeriksaan tak akan terjadi jika biayanya belum kamu bayarkan.” Suara dokter Ridwan terdengar begitu berat saat mengatakannya.

“Arghh”

Alya mengusap wajahnya. Berusaha melenyapkan gelisah yang bercokol di benaknya.  Bulir bening mulai tampak dari sudut matanya. Gadis muda itu menengadahkan wajahnya agar air matanya tak keluar tapi percuma, beberapa tetes telah jatuh ke pipi dan dokter Ridwan menyaksikannya.

“Saya akan berusaha mendapatkan biayanya dok, secepatnya.”

Ujarnya sambil mengangguk untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau ia mampu melewati semuanya.

Dokter Ridwan mengangguk pelan. Rasa iba muncul saat melihat gadis muda di hadapannya itu.

“Kalu begitu saya permisi dok”

Saya ingin mendiskusikan semuanya dengan ibu saya.

“Iya, silahkan. Semoga kamu segera mendapatkan biayanya.”

‘Terima kasih dok”

Alya menjabat tangan dokter Ridwan dan segera berlalu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status