Sepeninggalan kedua guru Nadine, Alya mengajak bu Kartika untuk kembali duduk di sebelah ranjang Nadine. Ada raut khawatir di wajah keduanya. Kekhawatiran yang sama yaitu tentang hasil pemeriksaan Nadine.
“Semoga Nadine cepat sembuh ya Al. Ibu gak tega lihat Nadine seperti ini. Ibu takut Nadine kenapa kenapa.”
Ujar bu Kartika dengan suara serak.
“Alya yakin Nadine bisa segera sembuh buk Tenang saja.. Yang penting sekarang kita berdoa. Memohon pada Allah untuk kesehatan Nadine.”
Jawab Alya. Gadis itu berushaa menenangkan sang ibu.
Bu Kartika menggenggam tangan Alya yang diikuti oleh Alya yang juga menggenggam tangan sang ibu. Keduanya saling berpandangan namun tak sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Mereka hanya saling memandang dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Lalu keduanya larut dalam fikiran masing-masing.
Keesokan harinya
Alya sedang memijit kaki sang ibu saat seorang suster mendekati ranjang Nadine lalu memeriksa infus yang terpasang di pergelangan tangan Nadine lalu ia mencatatnya di sebuah kertas yang ia bawa lalu suster itu berkata.
“Maaf mbak, ibu... siapa wali pasien?”
Tanya suster.
“Saya ibunya sus”
Jawab bu Kartika.
“Ibu diminta dokter untuk menghadap ke ruangan sekarang.”
Suster memberitahukan informasi kepada bu Kartika dan Alya.
“Oh iya suster. Saya akan segera kesana” Jawab bu Kartika.
Baru saja bu Kartika hendak bangkit dari tempat duduknya tangan Alya menahan.
“Biar Alya saja bu. Ibu jagain Nadine saja. Tadi ibu kan sudah capek berjalan dari depan rumah sakit sampai kesini. Nanti kaki ibu sakit lagi.” Kata Alya.
Bu Kartika berfikir beberapa saat lalu kemudian menganggu tanda setuju denga apa yang dikatakan Alya.
Alya bangkit dari tempat duduknya.
“Saya saja suster. Saya kakak pasien. Ibu saya agak sulit berjalan jauh”
“Oh iya mbak, silahkan. Mari ikut, saya akan tunjukkan ruang dokter Ridwan”
Alya mengangguk lalu menoleh ke arah ibunya.
“Ibu tunggu disini dulu ya bu. Alya mau ke ruang dokter”
“Iya nak.” Jawab bu Kartika.
Alya baru hendak melangkahkan kakinya saat tangannya ditahan oleh sang ibu. Alya memandang ibunya.
“Kenapa bu?
Tanya Alya.
Bu Kartika menatap Alya dengan riang yang terlihat di sudut matanya.
“Semoga dokter memberikan kabar baik untuk kita ya nak. Semoga Nadine baik-baik saja” Ujarnya dengan suara serak.
Alya terdiam. Ia tahu persis betapa khawatirnya sang ibu. Perasaan yang sekarang juga tengah ia rasakan. Alya juga khawatir tapi ia tak boleh menunjukkannya di depan sang ibu agar beliau bisa lebih tenang.
“Insya Allah bu. Kita harus yakin kalau Nadine baik-baik saja”
Alya mencoba menenangkan sang ibu yang terlihat begitu khawatir.
“Amiin ya rabb. Semoga saja ya nak” Jawab bu Kartika sambil mengusap wajahnya.
Dalam hati Alya terisak. Tangan keriput sang ibu terasa bergetar saat menggenggam tangannya. Suaranya pun terdengar bergetar tanda ia menahan tangis.
‘Ya Tuhan, berikanlah kabar baik untuk kami’ Doa Alya dalam hati.
Ia lalu mengusap lengan sang ibu lalu menggenggam tangannya, hanya sebentar lalu melepaskannya.
“Alya ke ruangan dokter dulu ya bu”
Bu Kartika mengangguk lalu Alya berjalan mengikuti suster.
Di ruangan dokter Ridwan
“Assalamualaikum dok”
Sapa Alya saat berhadapan dengan dokter yang menangani Nadine.
Tampak dokter setengah baya yang mungkin seumuran dengan ibu Alya. Dokter dengan kaca mata yang menghiasi indera penglihatannya. Rambutnya yang terlihat memutih di beberapa bagian agaknya tak dapat menutupi sisa ketampanannya di masa muda yang masih sangat terlihat jelas. Tangan sang dokter masih tampak sibuk dengan mouse yang ia genggam di tangannya. Sebuah laptop tampak di atas meja dengan gambar yang entah Alya tak tahu pasti itu apa. Dokter itu memandang Alya dan mempersilahkannya duduk.
“Waalaikumsalam. Silahkan duduk” Jawab sang dokter.
Ia melirik sekilas pada Alya lalu matanya kembali ke monitor laptop yang ada di hadapannya. Sesekali ia memindahkan pandangannya dari laptop ke kertas yang ia pegang. Seperti sedang mencocokkan sesuatu.
Alya mendaratkan tubuhnya di kursi yang letaknya tepat didepan dokter itu. Sekarang mereka duduk berhadapan, hanya terpisah oleh sebuah meja kerja sang dokter yang diatasnya terdapat papan nama yang bertuliskan Dr.dr. Ridwan Hariadi.SpJP.
Dokter itu masih sibuk membaca kertas yang ia pegang. Dahinya berkerut sedangkan Alya hanya diam sambil sesekali melihat ke arah sang dokter.
Tak berapa lama terdengar helaan nafas laki-laki setengah baya itu. Ia membenahi letak duduknya dan memandang Alya yang ada di depannya.
“Dengan wali Nadine Purnama ?”
Dokter itu bertanya.
“Iya dok, saya kakaknya Nadine”
Dahi sang dokter kembali berkerut.
“Orang tua Nadine kemana?” Ujarnya dengan hati-hati.
Mungkin sang dokter takut kalau ternyata kedua orang tua pasiennya sudah tiada.
“Eh,begini dok. Ayah kami sudah tiada sedangkan ibu ada masalah dengan kakinya jadi tidak bisa terlalu sering dipakai untuk berjalan. Jadi saya minta ibu untuk menunggu adik saya di ruangan pasien dan. saya berinisiatif untuk menggantikan ibu menemui dokter... tak mengapa kan dok?”
Alya menjelaskannya.
“Eh, sebenarnya saya butuh orang tua dari Nadine karena sebelum saya menjelaskan hasil pemeriksaan pertama Nadine saya ingin menanyakan beberapa hal tentang riwayat kesehatan Nadine agar mempermudah untuk memutuskan langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya.”
Ujar dokter Ridwan.
“Saya tinggal serumah dengan adik saya dok. Insya Allah saya tahu semua riwayat kesehatan Nadine. Kalaupun ada yang tidak saya ketahui akan saya tanyakan pada ibu saya nanti” Jawab Alya.
Dokter Ridwan mengangguk.
“Jadi saya boleh ya dok, mewakili ibu saya?”
“Oh, ya tentu saja tak apa. Kamu kan walinya juga” Jawabnya sambil tersenyum.
Alya hanya mengangguk.
“Sebelum saya menjelaskan. Perkenalkan saya dokter Ridwan Hariadi. Dokter yang menangani Nadine Purnama, adik anda.”
Dokter Ridwan memperkenalkan diri sambil mengangsurkan tangannya.
“Saya Alya Purnama dok, kakaknya Nadine”
Jawab Alya menyambut uluran tangan dokter Ridwan.
“Oke Alya, sebelum saya menjelaskan kondisi Nadine saya ingin menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan riwayat kesehatan Nadine.”
“Iya dok silahkan” Jawab Alya.
“Ehm, apakah selama ini Nadine sering sakit?” Tanya dokter Ridwan.
“Iya dok, memang dari kecil Nadine gampang sakit. Dia gak boleh terlalu capek. Kalau sudah kecapekan pasti dia akan pusing dan demam beberapa hari tapi setelah minum obat akan berangsur pulih dok”
Dokter Ridwan hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Alya. Kembali matanya melihat layar laptop.
“Apa saat sakit kulitnya pucat dan...agak kebiruan?”
Alya berusaha mengingat saat Nadine berusia delapan tahun. Saat itu Nadine pulang dari mengikuti kegiatan pramuka di sekolahnya. Nadine pulang dalam keadaan panas dan lemas. Saat itu ibu sedang tidak ada di rumah karena sedang mencuci di rumah majikannya. Alya yang memang sudah terbiasa dengan keadaan Nadine segera ke warung untuk membeli obat penurun panas. Sesampainya di rumah Alya kaget melihat kulit badan Nadine berubah pucat dan... kebiruan.
Ya, kulit Nadine berubah kebiruan. Alya lalu memberikan obat pada Nadine. Beberapa jam kemudian kulitnya yang pucat dan kebiruan berubah kembali seperti semula. Dan itu terus terjadi bila Nadine sakit. Tapi karena sudah terbiasa dan tahu cara menanganinya. Alya tak berfikir kalau itu penyakit serius.
“Alya...?” Suara dokter Ridwan membuyarkan lamunan Alya.
“Oh, eh.. iya dok. Saat sakit memang kulit Nadine pucat dan agak membiru samar dok.” Jelas Alya.
“Dokter Ridwan mengangguk.
“Apa Nadine juga sering sesak nafas belakangan ini Al?”
Tanya dokter Ridwan lagi.
“Iya dok. Dari kecil malahan.Nadine kalau keleahan sering demam yang diiringi dengan sesak nafas. Ibu bilang itu asma.”
“Apa sesak nafas Nadine pernah di periksakan ke dokter? Maksud saya apa dokter yang mengatakan kalau sesak nafas yang di derita nadin itu gejala asma?”
“Kami gak pernah bawa Nadine ke dokter dok karena terkendala biaya. Dari gejala Nadine ibu bilang mirip asma tapi itu hanya pendapat ibu. Makanya ibu selalu memberi obat asma kalau sesak nafanya Nadine kumat.
Lagi, dokter Ridwan hanya mengangguk mendengar penjelasan Alya.
“Apa Nadine sering batuk ?”
“Iya dok, Nadine dari kecil memang kalau dia sudah demam sering sesak nafas dan batuk...” Alya tak melanjutkan kata-katanya.
“Batuk berdarah?” Dokter Ridwan berkata.
“Iya dok, batuk yang disertai dengan darah keluar dari mulutnya. Setelah itu Nadine akan bertambah lemas dan kerongkongannya sakit dok.”
Rasa khawatir Alya semakin bertambah. Dokter Ridwan tahu kalau batuk Nadine sering mengeluarkan darah.
‘ Apa dokter Ridwan telah menyimpulkan sesuatu?’ Kata Nadine dalam hati.
Terlihat dokter Ridwan menghela nafas. Pemandangan yang membuat Alya bertambah khawatir.
“Jadi sebenarnya Nadine sakit apa dok?”
“Ehm... begini Al, berdasarkan pemeriksaan awal yang saya lakukan kalau ada masalah pada...jantung Nadine” Kata Dokter Ridwan.
“Degh” Detak jantung Alya berdetak lebih cepat.
“Ada masalah...dengan jantung Nadine dok? Maksud dokter Nadine sakit jantung?”
Tanya Alya.
‘Saya belum bisa menyimpulkan apa ini penyakit jantung atau gangguan jantung lainnya karena pemeriksaan baru di tahap awal. Yang saya hanya bisa katakan sekarang adalah jantung Nadine bermasalah. Untuk detailnya harus dilakukan pemeriksaan lanjutan.”
Dokter Ridwan berusaha memilih kata-kata yang tepat agar gadis muda di hadapannya itu tidak bertambah khawatir.
Alya menatap wajah dokter setengah baya dihadapannya lalu menunduk, berusaha berfikir jernih. Kelebatan wajah Nadine saat sakit nampak di pelupuk mata Alya.
‘Jantung...ya Allah Nadine’
Alya berkata dalam hati. Lalu ia mengangkat wajahnya.
“Jadi kapan kami bisa tahu hasil akhirnya dok?”
Jika kita melakukan pemeriksaan hari ini maka hasilnya dua hari lagi akan kita ketahui tapi..” Dokter Ridwan tak melanjutkan kata-katanya.
“Tapi apa dok?” Tanya Alya.
‘Dengan berat hati saya harus beritahu anda kalau pemeriksaan lanjutan ini biayanya tidak di cover oleh kartu kesehatan pemerintah. Jadi kamu harus mengeluarkan uang yang lumayan besar untuk pemeriksaan lanjutan Nadine.”
Pelan dokter Ridwan menjelaskan agar gadis muda dihadapannya itu bisa mencerna kata-katanya.
Alya terdiam lalu menjawab.
“Berapa uang yang harus saya siapkan untuk biaya pemeriksaan lanjutan Nadine dok?”
Alya bertanya ragu.
“Sekitar delapan juta.”
Jawab dokte Ridwan.
Alya terbelalak mendengarnya.
‘Delapan jutaa! Bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.’ Jerit Alya dalam hati.
“Ya tuhan,apa yang harus aku lakukan?” Hati Alya kembali berbicara.
Beberapa saat Alya menunduk lalu ia mengangkat wajahnya dan menatap dokter Ridwan.
“Kapan pemeriksaan pada Nadine bisa dilakukan dok?”
“Dengan berat hati saya harus mengatakan kalau saya bisa melakukan pemeriksaan lanjutan pada Nadine bila kamu sudah membayarkan biayanya pada bagian administrasi rumah sakit. Intinya, pemeriksaan tak akan terjadi jika biayanya belum kamu bayarkan.” Suara dokter Ridwan terdengar begitu berat saat mengatakannya.
“Arghh”
Alya mengusap wajahnya. Berusaha melenyapkan gelisah yang bercokol di benaknya. Bulir bening mulai tampak dari sudut matanya. Gadis muda itu menengadahkan wajahnya agar air matanya tak keluar tapi percuma, beberapa tetes telah jatuh ke pipi dan dokter Ridwan menyaksikannya.
“Saya akan berusaha mendapatkan biayanya dok, secepatnya.”
Ujarnya sambil mengangguk untuk meyakinkan dirinya sendiri kalau ia mampu melewati semuanya.
Dokter Ridwan mengangguk pelan. Rasa iba muncul saat melihat gadis muda di hadapannya itu.
“Kalu begitu saya permisi dok”
Saya ingin mendiskusikan semuanya dengan ibu saya.
“Iya, silahkan. Semoga kamu segera mendapatkan biayanya.”
‘Terima kasih dok”
Alya menjabat tangan dokter Ridwan dan segera berlalu.
Alya, You are not aloneAlya berjalan pelan menelusuri bangsal rumah sakit dengan langkah gotai. Fikirannya masih tertuju pada kata-kata dokter Ridwan.‘Delapan juta! Nominal yang tidak sedikit untuk orang seperti Alya. Bagaimana ia bisa mendapatkannya dalam waktu yang singkat?’Di depan Alya tampak kursi tunggu pasien. Gadis itu berjalan mendekati kursi dan duduk di salah satu kursinya. Mungkin ada baiknya ia menenangkan diri dulu. Fikirannya yang kalut tentu akan memberikan efek yang tidak baik pada ibunya nanti. Sebaiknya ia menenangkan diri dulu sebelum menyampaikan kondisi kesehatan Nadine pada ibu agar ibu tidak ikut-ikutan panik.‘Pletaak’Bunyi benda jatuh di belakang Alya. Gadis sembilan belas tahun itu menoleh. Tampak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya berusaha meraba-raba tongkat yang jatuh tapi tak berhasil
Langkah kaki Alya sampai di depan pintu ruangan Nadine. Gadis manis itu sejenak menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya lalu tangannya meraih gagang pintu menuju ranjang Nadine.Disana sang ibu sedang duduk dengan raut wajah khawatir. Rasa sedih kembali menyeruak di hati Alya.‘ Bagaimana perasaan ibu kalau aku ceritakan tentang keadaan dan biaya pemeriksaan Nadine’Alya berkata dalam hati.“Nadine belum siuman buk?” Kata Alya.Bu Kartika yang tak menyadari kedatangan anak sulungnya itu menoleh ke arah Alya dan segera ia menghapus air mata di kedua pipinya agar Alya tak melihatnya.“Eh, iya Al, Nadine belum siuman. Kata susternya mungkin sebentar lagi.”Jawab ibu dengan senyum dipaksakan.Alya tersenyum untuk menutupi gundah hatinya. Ia menarik kursi yang ada di sebelah sang ibu dan menghempaska
Alya baru saja menyelesaikan sholat magribnya saat pintu rumah diketuk dari luar. Gadi muda itu bergegas membuka mukena, melipatnya asal-asalan dan segera menuju pintu. “Assalamualaikum” Ujar seseorang dari luar sana dan sepertinya Alya mengenal suara itu. “Waalaikumussalam” balas Alya sambil membuka kunci pintu dan membukanya. Tampak dihadapannya bu Santi tetangganya sedang berdiri mengenakan baju daster warna merah dan sebuah mangkuk di tangannya. “Iya buk” Kata Alya sambil mempersilahkan tetangga sebelah rumahnya itu masuk. “Habis sholat ya Al” sapa bu Santi seraya masuk ke dalam rumah dan duduk di sebuah kursi usang yang ada disana. “Iya buk, abis sholat magrib tadi” jawab Alya. “Oh iya, tadi ibu dengar ada suara air hidup di belakang, ibu fikir kamu sudah pulang. Alya mengangguk sambil tersenyum. “Ini Al” kata
Jam di tangan Alya menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit saat motor yang dikendarai bu Santi berhenti di sebuah rumah mewah yang ada di komplek sebelah. Alya melepaskan helm lalu turun dari motor sedangkan bu Santi juga melepaskan helm hijau dari kepalanya lalu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan secarik kertas dari sana.“ Kayaknya bener ini rumahnya Al.”Ujar bu Santi dengan mata yang masih memandang ke secarik kertas yang di pegangnya.Alya agak mendekat ke bu Santi yang belum turun dri motornya lalu melihat alamat yang tertulis di secarik kertas yang di pegang bu Santi.‘komplek kenanga blok sembilan nomor 35.’Alya membaca dalam hati alamat di kertas yang dipegang bu Santi.“Iya bu, sesuai dengan alamat yang diberikan wak Kalsum”Kata Alya mengiyakan perkataan bu Santi.Bu santi mengangguk lalu turun dari motornya da
13. “Syaratnya apa tante?” Alya tak sabar mendengar lanjutan kalimat tante Altum. Teringat olehnya Nadine yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit dan wajah tua ibu yang pastinya menunggu kabar baik darinya. “Syaratnya gampang kok. Gampang dan enak” Sekali lagi tante Altum menampakkan senyum culasnya pada kedua perempuan dihadapannya ini. Alya dan bu Santi salin berpandangan saat mendengar apa yang dikatakan tante Altum. “Loe boleh pinjem sama gue berapapun yang loe mau asalkan loe mau kerja sama gue” Ujar tante Altum sambil memandang Alya dengan intens. “Kerja? Kerja apa tante ?” tanya Alya sedangkan raut wajah bu Santi yang ada di samping Alya sudah menampakkan perubahan karena ia mengerti pekerjaan apa yang akan ditawarkan tante Altum kepada gadis muda seperti Alya. “Kerja di cafe gue yang baru. Minggu
14.Hari masih pagi saat Alya turun dari angkot yang membawanya ke rumah sakit tempat dimana Nadine dirawat. Ia memberikan beberapa lembar ribuan kepada supir sebagai ongkos perjalanan. Gadis itu memandang bagian depan rumah sakit yang di cat warna putih tulang. Perlahan ia melangkahkan kakinya memasuki gerbang rumah sakit. Beberapa mobil dan motor terlihat masuk dan keluar parkiran rumah sakit. Beberapa orang juga tampak berjalan keluar masuk pada pintu yang telah disediakan. Rata-rata mereka menunjukkan wajah sedih, mungkin mereka memikirkan keluarga mereka yang sedang dirawat di rumah sakit ini. Sama seperti Alya yang bingung dengan biaya pemeriksaan lanjutan Nadine. Kalau banyak orang bilang sangat sulit menemukan wajah bahagia di rumah sakit, mungkin kalimat itu benar adanya. Memang nyatanya hanya wajah sedih dan tegang yang kita temui di rumah sakit. Hampir tak bisa menemukan raut bahagia di rumah sakit kecuali rumah sakit persalinan yang mungkin awal masuk akan menunju
15.“ maaf sus, tapi... kami belum membayar biayanya” jawab Alya.“Tapi biasanya kalau dari dokter sudah mengintruksikan untuk melakukan tindakan lanjutan berarti seluruh biaya sudah diselesaikan ibu, mbak.”“Maksudnya sus?”tanya Alya tak mengerti sedangkan bu Kartika yang tak mengerti apa-apa hanya melongo.“Iya, kalau sudah ada catatan dari doketr untuk mengadakan tindakan selanjutnya berarti semua biaya sudah dibayarkan.” kata suster.“Tapi kami belum membayarnya dok”sekali lagi Alya berkata kalau ia belum membayarkan biaya pemeriksaan lanjutan Nadine.“Kalau masalah itu saya kurang tahu mbak. Untuk lebih detailnya mungkin mbak bisa tanyakan pada bagian administrasi di depan” Kata suster.“Kalau begitu saya kesana dulu ya mbak” kata Alya. 
Hai readers, aku ingetin ya kalau bab 16 ini adalah lanjutan dari bab 4.Di bab 4 diceritakan kalau Alya hendak melamar kerja di salah satu rumah mewah. Ia tak tahu kalau rumah itu rumahnya oma rosie, wanita setengah baya yang ia tolong satu bulan yang lalu.Penasaran sama ceritanya??? Buruan baca ya guyssss...***“Lho, Alya?”Wanita setengah baya yang ternyata oma Rosie itu rupanyamengenali Alya.Alya yang sudah lebih dulu melihat wanita setengah baya itu memberikan senyumlebar sembari berkata“Oma yang di pasar itu kan? Oma yang kemarin dijambret di pasar dekat terminal?”Kata Alya memastikan.“Iya, ini oma Al. Ya Allah gak nyangka kita bisa ketemu lagi”ujarnya terlihat gembira. Oma Rosie berjalan mendekati Alya.