Share

2. Di Bawah Pohon Tabebuya

“Kenapa ayah tidak mengatakannya dari awal?”

Rinjani baru saja menginjakan kakinya di ruang tamu ketika ia menemukan ayahnya dengan tatapan penuh permohonan maaf. Kekecewaannya menguap di udara, seolah bersatu dengan debu dan hilang diterbangkan angin. Ibu yang baru datang dari dapur dengan secangkir teh di tangannya juga sama. Menatapnya penuh penyesalan.

“Ayah membutuhkannya untuk biaya transplantasi lever Kevin. Ayah benar-benar minta maaf, Sayang. Kami sudah sangat putus asa saat itu.”

Dia sudah menduga ini sebelumnya, namun entah mengapa hati kecilnya tetap tidak bisa menerima alasan apapun. Kenyataan jika ayahnya dan ibunya tega menggadaikannya sebagai jaminan kepada orang asing, benar-benar membuat hati Rinjani terluka.

“Bukankah ayah bilang biaya operasi Kevin sepenuhnya ditanggung oleh asuransi?”

Masih hangat dalam ingatannya ketika beberapa tahun lalu dokter memberitahu sebuah kabar buruk tentang kesehatan Kevin, adiknya. Kevin menderita disfungsi lever dan, beberapa bulan lalu kondisinya memburuk sehingga harus segera dilakukan tindakan pencangkokan hati. Rinjani tahu biayannya tidak murah. Jika ditotal dengan biaya perawatan pascaoperasi, jumlahnya sekitar lima ratus juta rupiah.

“Kami terpaksa berbohong, Rinjani. Asuransi hanya menutup kurang dari lima puluh persen. Kami tidak ingin membuatmu khawatir soal biaya yang terlampau besar itu.”

Camelia beringsut mendekati Rinjani, lalu memeluknya erat sambil menggumamkan kata maaf berkali-kali. Rinjani bisa merasakan bahunya basah oleh air mata ibunya, tapi, dia membiarkan, sama sekali tidak berniat membalas pelukan sang ibu.

“Sekarang, tetap saja aku yang harus menanggung semuanya 'kan? Tega sekali kalian menjadikanku jaminan utang,” gumamnya kecewa. Dia mengurai pelukan ibunya.

“Aku akan beristirahat. Tolong jangan memanggilku untuk makan malam,” ujarnya sambil berlalu meninggalkan ruang tamu.

Rinjani melemparkan badannya ke atas kasur. Apa yang ia alami hari ini membuatnya begitu kelelahan. Bukan fisik, tapi, psikisnya. Tadi pagi hidupnya masih baik-baik saja, tapi sekarang ia merasa seakan-akan besok adalah hari kebebasan terakhirnya. Lusa, dirinya akan resmi menjadi calon istri dari seseorang yang bahkan ia tidak tahu nama lengkapnya.

Rasanya ingin sekali Rinjani menolak. Namun, ia juga tidak mau sang ibu yang telah menjadi pendonor hati untuk adiknya itu kolaps karena keegoisannya. Gadis berambut sebahu itu meringkuk memeluk guling.

Tolong aku, Tuhan. Aku harus bagaimana? tanyanya dalam hati.

*****

Siang itu matahari bersinar sangat terik, Rinjani bisa merasakan telapak kakinya lembap karena keringat. Di bawah pohon tabebuya yang berbunga rindang, ia berdiri menunggu bus. Matanya bergantian melihat jam di pergelangan tangannya dan ujung jalan dengan gusar, Evie, editornya dari penerbit GreenStory pasti sudah menunggu lama di tempat janjian mereka. Rinjani menyalahkan hawa di perpustakaan kota yang nyaman, hingga membuat dirinya tenggelam dalam merangkai epilog untuk naskah terbarunya, dan melupakan janji temu dengan Evie. Gadis itu mengetik sesuatu di ponselnya, mengirim pesan pada Evie untuk menunggu sebentar lagi.

“Menunggu bus?”

Rinjani mengangkat kepalanya dengan cepat, namun, sedetik kemudian ia melangkah mundur. Mungkin jika Ben tidak memegangi lengannya, punggung Rinjani akan cedera akibat menabrak batang pohon tabebuya yang ada dibelakangnya. Lagi-lagi dengan gerakan gesit Rinjani menyingkirkan cengkraman Ben dari lengannya. Ia tidak suka disentuh oleh siapa pun. Lagi pula, sejak kapan pria itu ada di sini dan berdiri sangat dekat denganya?

“Seharusnya kau berterima kasih karena aku tidak membiarkan punggungmu membentur pohon.”

“Maaf, aku terkejut tadi,” ujarnya kaku. Rinjani mengusap tengkuknya yang tiba-tiba meremang.

“Menunggu bus?” Ben mengulang pertanyaannya.

“Ya, begitulah.”

“Masuklah. Aku akan mengantarmu sampai tujuan.” Pria itu berjalan mendekati sebuah SUV mewah yang terparkir di pinggir jalan. Rinjani mengernyit, sejak kapan mobil itu ada di sana?

“Tidak perlu. Aku yakin bus-nya akan datang sebentar lagi.”

“Cepat masuk! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”

Rinjani berdecak. Ia menilai Ben sebagai seseorang yang sangat suka memaksa, ya, tabiat khas orang kaya yang sombong. Namun, mendengar jika ada yang ingin pria itu bicarakan dengannya, Rinjani merasa goyah. Mungkinkah pria itu berubah pikiran tentang pernikahan? Apakah ada keuntungan lain yang akan ia dapatkan dalam pembicaraan itu nanti? Ia menatap ragu pada Ben yang sudah berada di dalam mobil.

Suara klakson yang nyaring menyadarkan Rinjani dari keraguan. Setelah menyimpan ponselnya di dalam tas, Ia bergegas memasuki mobil Ben dan duduk di samping pria itu.

“Tujuanmu?”

“Grahita Kafe.”

Mobil Ben membelah keramaian kota dengan kecepatan sedang. Sesekali ia melirik Rinjani dari ekor matanya. Cantik sekali gadis itu hari hari ini. Ah, bukankah gadis itu memang selalu terlihat menawan di matanya? Ben tersenyum sumir, membuat Rinjani menoleh dan menatapnya dengan raut aneh.

“Kau harus membuat dirimu terbiasa dengan keadaan seperti ini, Rinjani. Nanti, kalau sudah menikah, kita akan lebih sering pergi berdua seperti ini,” gumamnya tenang. Rinjani membuka mulut hendak memprotes, tapi, pada akhirnya yang ia lakukan hanya diam.

“Ada janji dengan siapa?”

Rinjani menoleh, namun pria itu tidak sedang menatapnya, melainkan memandang lurus ke depan.

“Dengan editor dari GreenStory,” jawab Rinjani seadanya. “Ah, bukannya ada yang ingin kau bicarakan denganku?”

Kali ini Ben menatapnya. Mereka sama-sama terpaku, mempertahankan posisi saling menatap untuk beberapa saat. Sampai kemudian Rinjani tersadar dan membuang wajahnya ke samping, sedangkan Ben berdeham untuk menormalkan suasana.

“Bukan apa-apa. Hanya saja, bisakah aku meminta jawabanmu dipercepat?”

“Aku yakin sebenarnya kau tidak membutuhkan jawaban apapun. Kau sangat tahu aku tidak memiliki pilihan lain,” jawab Rinjani tenang.

“Ini, simpanlah.” Ben meletakan secarik kartu nama di pangkuan Rinjani.

Rinjani membaca nama yang tertera di sana, lalu dahinya mengerut. “Namamu Richard Benedict?”

Ben mengangguk singkat. “Kau bisa memanggilku Ben seperti kemarin.”

“Aku lupa bertanya kemarin. Ayah juga tidak bercerita banyak tentangmu.” Rinjani pikir nama pria itu akan mengandung unsur Tionghoa, mengingat standar wajahnya yang semi-oriental. Ia membaca keterangan yang tertulis di bawah kartu berwarna hitam itu.

“Direktur utama Chouyi Group?” tanyanya lagi sambil menyebutkan nama induk perusahaan besar yang setahunya memiliki beberapa cabang bisnis seperti Sunny Plaza, Amarta Ritz Hotel, dan SMA International Chouyi. Entah bisnis apalagi yang Group raksasa itu miliki.

Ben mengangguk sekali lagi. “Kau tidak kelihatan terkejut.”

“Terkejut untuk apa? Omong-omong, dulu aku sempat bersekolah di Chouyi. Apa kau juga salah satu alumnusnya?

“Tidak. Aku menghabiskan sekolah menengahku di Singapura. Oh, ya? Kau pernah bersekolah di sana?”

Rinjani tidak langsung menjawab, matanya memandang jauh ke depan, seolah sedang menerawang masa lalu. “Iya, hanya sebentar. Ayahku tiba-tiba saja dipindah tugaskan di luar kota dan karena suatu hal, keluarga kami memutuskan untuk ikut pindah ke sana,” ungkapnya tanpa semangat.

“Jadi, kapan kau kembali ke kota ini?”

“Sekitar dua setengah tahun lalu. Setelah aku lulus S1, adikku terdiagnosis kerusakan hati. Jadi, kami kembali ke sini agar adikku mendapat perawatan di rumah sakit yang lebih memadai.”

“Dengar, Rinjani. Kita akan menikah dua minggu lagi. Aku harap kau bersikap kooperarif dalam segala urusan yang menyangkut hari pernikahan kita. Aku juga ingin kita mengenal satu sama lain lebih intim.”

Rinjani belum menjawab apapun, matanya sibuk menekuri jalanan dari balik jendela. Lagi-lagi kalimat yang ke luar dari mulut pria itu mengejutkannya. Rinjani menyesali keputusannya menerima bantuan pria itu untuk mengantarnya. Persetan dengan wajahnya yang tampan. Pernikahan seperti ini sama sekali tidak pernah ada dalam benaknya, ia selalu mendambakan menikah dengan seseorang yang sudah mengenalnya luar dalam, begitu juga sebaliknya. Meskipun ia pernah menulis fiksi tentang romansa perjodohan yang berakhir bahagia, namun ia skeptis itu akan berlaku dalam kisahnya sendiri.

Keheningan mengambil alih suasana di antara keduanya. Ben yang dengan sabar menunggu respon calon istrinya, dan Rinjani yang diam-diam menikmati aroma maskulin yang menguar dari pria di sebelahnya. Untuk sesaat mereka terhanyut dalam pikiran masing-masing.

“Aku ingin ada perjanjian pranikah, Ben,“ ucap Rinjani memecah keheningan.

Ben mengernyit tidak suka. “Untuk apa?”

“Untuk mengamankan posisiku.”

Merasa tidak mendapat jawaban, Rinjani menoleh untuk kesekian kalinya, kesekian kalinya pula ia ia hanya mendapati tatapan datar Ben yang sedang fokus menyetir. Setelah itu tak ada percakapan lagi di antara mereka. Saat Ben menghentikan mobilnya di pelataran Grahita kafe, Rinjani segera turun setelah mengucapkan terima kasih dengan canggung, lalu berlari kecil memasuki kafe, meninggalkan Ben yang masih berada di dalam mobil dengan segala pemikirannya.

Rinjani tersenyum saat melihat Evie melambaikan tangan padanya. Untunglah editornya itu termasuk jenis orang yang suka berkompromi, jadi Rinjani tidak perlu merasa khawatir akan dihadiahi tatapan garang karena telah membuatnya menunggu terlalu lama.

“Maaf, Kak Evie. Aku terlambat,” ujarnya penuh penyesalan.

“Tidak apa-apa. Duduk dulu, aku sudah memesan americano dingin untukmu.”

“Terima kasih, Kak.”

Sedetik kemudian mereka tenggelam dalam diskusi panjang tentang revisian naskah yang minggu kemarin Rinjani setorkan pada Evie, Rinjani menyimak dengan cermat setiap koreksi yang ditandai oleh editornya, coretan-coretan itu sangat berharga untuknya. Sekali lagi ia beruntung memiliki editor seperti Evie yang tidak keberatan menggunakan cara konvensional seperti ini untuk merevisi naskahnya. Kebanyakan editor jaman sekarang, lebih suka mengoreksi menggunakan PC, lebih efisien katanya.

Dua setengah jam berlalu dengan begitu cepat. Sampai-sampai Rinjani harus berdiri untuk meregangkan otot lantaran duduk terlalu lama.

“Ini sudah bagus, Rin. Tinggal kau perbaiki saja di tanda koreksi tadi. Oh iya, GreenStory berencana mengadakan proyek menulis novel kolaborasi. Temanya romance. Kau berminat?”

“Tidak, terima kasih. Aku akan menyelesaikan naskah ini lalu akan vakum untuk beberapa minggu ke depan. Kau tahu, naskah ini adalah yang terberat yang pernah aku tulis.”

Evie tergelak. “Ini juga teenlit dengan konflik paling tidak tertebak yang pernah kutangani. Aku yakin novel ini akan meledak di pasaran.”

“Semoga saja begitu, Kak.”

Pembicaraan mereka terinterupsi oleh getar ponsel Rinjani, layarnya menampilkan ada panggilan masuk dari sang ibu. Setelah mengisyaratkan pada Evie bahwa ia akan pergi mengangkat telepon, Rinjani segera menjauh dari tempat mereka duduk.

“Halo, Bu.”

“Rinjani, kau tahu di mana kantor Richard Benedict 'kan? Cepat susul ayahmu ke sana.”

“Bu, tenanglah. Jelaskan padaku memangnya apa yang akan ayah lakukan?”

“Ayahmu berubah pikiran Dia berencana menyerahkan diri untuk dipenjara, Rin. Dia tidak ingin kau menderita, jadi dia pikir lebih baik jika dirinya saja yang menanggung semua ini. Tolong—”

Bahu Rinjani melemas. Ia bahkan mengabaikan suara histeris ibunya di seberang sana. Dengan pandangan kosong ia kembali ke meja dan mengemasi barangnya secepat yang ia bisa. Evie melihat dengan dahi mengerut.

“Maaf, Kak. Aku harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak. Aku benar-benar minta maaf.”

Rinjani tidak tahu apa yang harus ia lakukan, tapi yang jelas, dia harus sampai secepat mungkin di tempat yang ibunya maksud untuk mencegah kemungkinan terburuk. Beberapa pengendara memberinya umpatan karena menyebrang dengan serampangan. Rinjani tidak peduli. Ia tidak peduli pada apapun saat ini, yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana jika Ben melakukan sesuatu yang menyakiti ayahnya.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status