Share

5. Setelah Pernikahan

Pernikahan Ben dan Rinjani berjalan lancar. Setelah mengikat janji di hadapan Tuhan, mereka hanya mengadakan resepsi sederhana, sesuai permintaan mempelai wanita. Ya, sederhana versi konglomerat tentu saja masih tergolong mewah bagi Rinjani dan keluarganya. Beruntung, Ben menggunakan jasa WO kenamaan yang memang berkompeten di bidangnya.

Kebanyakan tamu yang datang adalah keluarga dekat mereka, serta kolega dan relasi bisnis Ben, karena, sedari awal Rinjani sudah mengatakan tidak punya banyak teman untuk diundang selain teman-teman terdekatnya saat kuliah dan juga beberapa kenalannya di GreenStory Publishing.

Tante Margareth juga banyak membantu Rinjani. Wanita akhir lima puluhan itu menerimanya dengan tangan terbuka, tanpa memandang status sosial. Ia mengenalkan pada Rinjani beberapa peraturan dasar dalam keluarga kecil mereka.

Mungkin karena tidak memiliki anak kandung, Tante Margareth sudah menganggap Ben seperti putranya sendiri.

Ah, sungguh, Rinjani tidak pernah menyangka hari ini datang juga. Hari di mana dia menjadi istri seseorang. Rasanya dulu menikah adalah suatu ketidakmungkinan, karena dirinya begitu sulit bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang baru.

Seperti yang pernah Rinjani katakan, menjalin hubungan serius dengan seseorang tidak pernah mudah, dan mungkin juga bisa menghambat karir menulisnya.

“Kau tidak keberatan tidur seranjang denganku 'kan?”

Rinjani menoleh saat suara berat itu menyapa pendengarannya. Ben dengan piyama sutra yang sewarna dengan yang dipakainya duduk di tepi ranjang.

Gadis itu bingung harus menjawab apa. Kalimat sang ibu beberapa hari lalu tiba-tiba saja terlintas dalam benaknya.

'Rin, meskipun pernikahanmu bukan karena cinta, tapi, ibu yakin Ben bisa menjadi suami yang baik untukmu. Ibu bisa melihat dari matanya yang tulus. Ibu mohon, jangan mengecewakannya, ya?' 

Belum lagi dengan permintaan Ben tempo hari yang diucapkannya dengan sungguh-sungguh. Jadi, Rinjani segera menghapus kebimbangannya.

“A-aku tidak keberatan.” Rinjani menelan ludahnya gugup. “Bahkan, kalau kau ingin lebih dari sekadar tidur, aku juga tidak keberatan. Kau suamiku, kau berhak atas diriku.”

Ben bergeming. Matanya lekat menatap Rinjani tanpa suara, mencari jejak keterpaksaan yang mungkin disembunyikan gadis itu. Namun yang temukannya adalah keteduhan dibalik wajah malu-malu Rinjani. Ia menyunggingkan senyum misterius.“

Lebih dari tidur? Kau tidak sedang berusaha menggodaku 'kan?” tanyanya menggoda.

Rinjani menggeleng cepat. “Aku hanya mencoba berkompromi dengan keadaan. Bukankah kau sendiri yang mengatakan hal itu?”

“Gadis pintar,” pujinya sambil menuntun Rinjani untuk duduk di pangkuannya. Rinjani menurut. Ia merangkulkan tangannya di leher Ben, sementara kakinya melingkari pinggang pria itu. 

Rinjani mengernyit merasakan sensasi aneh yang ikut mengalir dalam darahnya. Debar jantungnya mulai tak beraturan, sebab, saat ini di perutnya seperti ada belasan kupu-kupu beterbangan.

“Kau terlihat tidak yakin.”

“A-aku gugup, Ben. Ini pertama kalinya untukku.”

“Aku akan melakukannya dengan lembut, Sayang.” Ben berkata dengan suaranya yang serak menahan hasrat yang mulai menguasai dirinya.

“Aku akan bertanya sekali lagi. Kau sungguh sudah siap?”

Tanpa ragu Rinjani mengangguk. “Aku memercayaimu, Ben,” sahutnya yakin.

Ketika Rinjani menatapnya dengan cara yang membuat hasratnya meninggi, Ben tidak punya pilihan selain menuruti egonya.

Dikecupnya bibir Rinjani, sekali, dua kali, lalu saat istrinya tidak menunjukan penolakan, Ben menciumnya lagi. Kali ini lebih dalam, lebih bergairah, dan sarat akan cinta, ia mengekplorasi dan mencecap setiap jengkal mulut Rinjani. Seperti dugaannya semula, gadis itu sama sekali tidak memiliki teknik untuk membalas ciumannya.

Ben sengaja tidak mengajari Rinjani bagaimana agar mereka bisa saling memuaskan, membiarkan gadis itu terbiasa dengan gairahnya, karena malam ini, Ben ingin mengambil alih permainan mereka. Pria itu ingin melihat Rinjani tunduk dalam gelombang kenikmatan yang akan ia berikan.

Menjelang dini hari, keduanya melenguh bersamaan saat sesuatu mengisi dinding rahim Rinjani dengan hangat dan penuh. Tubuh polos Rinjani meringkuk dalam dekapan suaminya. Tangan Ben terulur menyibak anak-anak rambut yang menutupi wajah Rinjani, lalu diusapnya peluh di dahi gadis itu.

“Kau cantik,” ujarnya dengan suara parau.

Rinjani menatap Ben. Sisa nyeri yang berpusat di kewanitaannya tidak ada apa-apanya dibanding dengan kenikmatan yang ia dapatkan dari cumbuan Ben yang luar biasa ahli. Walaupun badannya jadi merasa lelah sekali, karena Ben seakan tidak merasa cukup hanya dengan satu sesi percintaan.

“Kau juga tampan,” sahutnya.

“Nikmat?”

Pipi Rinjani bersemu, ia mengangguk samar sambil menenggelamkan wajahnya di dada bidang Ben. Membuat pria itu terkekeh.

Ben tidak bercanda soal 'pernikahan normal', karena malam ini, mereka benar-benar melakukan malam pertama tanpa ada pihak yang merasa terpaksa.

Menyadari jika napas Rinjani yang sudah teratur, Ben mencium keningnya dan mempererat pelukan mereka. Sebelum pada akhirnya ikut menyusul istrinya ke alam mimpi.

*****

Ben dan Rinjani tidak akan pernah tahu bahwa di malam itu, Shannon berada di luar rumah mereka, duduk di dalam mobilnya untuk waktu yang cukup lama, sambil menatap satu kamar di lantai dua yang lampunya masih menyala.

Ia sangat paham apa yang sedang pemilik rumah dan istrinya lakukan di sana. Gadis itu terisak. Ia tidak pernah merasa sekalah ini sebelumnya. Tidak pernah pula merasakan sakit hati sehebat ini.

Seandainya dulu ia menerima lamaran Ben tanpa mengindahkan bahwa ada nama wanita lain di hati pria itu, apakah saat ini dia yang akan berada di sana bersama Ben?

Shannon tertawa sumbang. Menyadari kebodohannya dan juga hidupnya yang tidak beruntung.

“Kau tidak akan pernah tahu, Ben. Rasanya memiliki segalanya tapi hatimu tetap merasa kosong.”

*****

“Kau kenapa, Sayang?” tanya Ben begitu ke luar dari kamar mandi dan melihat Rinjani sedang memandangi ranjang mereka yang masih berantakan hasil pertempuran mereka semalam.

“Ben,” panggil gadis itu lirih.

"Ya? Kau kenapa? Kau sakit?” Pria itu melangkah mendekati istrinya dengan raut Khawatir.

“Ben, aku tidak berdarah,” Rinjani mengangkat kepala untuk melihat reaksi suaminya.

“Darah?” Ben mengalihkan pandangannya ke ranjang. “Oh~ Aku mengerti.”

Rinjani baru menyadarinya tadi saat akan mengganti seprai, ia tidak menemukan bercak darah seperti seharusnya seorang perawan yang baru pertama kali melakukan hubungan badan.

Dia tidak meragukan keperawanannya sendiri, karena semalam Ben bahkan sedikit kesulitan melakukan penetrasi. Rinjani hanya sangsi pada reaksi suaminya setelah tahu hal ini.

Pria itu tersenyum menenangkan. “Rin, kau harus tahu kalau tidak semua perawan mengeluarkan darah saat pertama kali melakukannya. Itu hal yang wajar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Sayang,” ucapnya lembut.

Gadis itu masih terlihat cemas. Takut kalau Ben diam-diam memiliki prasangka buruk padanya.

“Tapi, Ben–”

“Aku percaya padamu seperti kau percaya padaku, Rin. Jangan dipikirkan lagi. Biarkan asisten rumah tangga yang membereskan ini semua. Kau bersiaplah, karena setelah sarapan, kita akan pergi ke suatu tempat.”

Rinjani mengerutkan dahi. “Ke mana?”

“Ibu bilang kau sangat ingin berlibur ke Finlandia.”

“Ibu? Sejak kapan kau dekat dengan ibuku?" tanyanya heran.

Ben tersenyum, tangannya terulur mengacak pucuk kepala Rinjani.

Membuat gadis itu mencebik kesal karena rambutnya baru saja dikeringkan. Namun, sedetik kemudian dia malah tersipu karena Ben memberinya kecupan selamat pagi.

“Aku bertanya padanya kira-kira negara mana yang paling ingin kau kunjungi, karena aku akan membawamu ke sana untuk bulan madu. Dan, dia menjawab finlandia,” terang Ben.

“Ya, dia benar, Ben. Aku memang sangat ingin pergi ke Finlandia, tapi, bukan hanya untuk liburan.”

“Lalu?”

“Lupakan saja. Aku tidak mau kau repot-repot menghabiskan uang untuk menuruti keinginanku yang tidak masuk akal.”

“Katakanlah. Kau tahu uang tidak pernah jadi masalah dalam hidupku,” ucap Ben.

Pria itu beranjak menuju walk in closetnya yang luas dan berisi barang-barang bermerek. Ben berpikir jika ia harus mengatur ulang ruangan tersebut, sebab sebentar lagi, ruangan yang dibatasi kaca tebal itu juga akan dipenuhi oleh baju, sepatu, dan aksesoris milik Rinjani.

“Dasar sombong!” Rinjani memaki lirih. “Tapi, aku rasa aku tidak bisa bepergian jauh dalam bulan ini,” ujar Rinjani dengan suara agak keras. Ia berjalan menghampiri Ben, dan duduk di sofa yang membelakangi pria itu.

Ben menatapnya penuh tanya. “Kenapa?”

“Novelku tertunda karena aku belum menuntaskan revisi. Aku harus segera menyelesaikan secepat mungkin, karena peluncurannya akan dilakukan bersama acara jumpa penggemar bulan depan. It's okay, Ben?”

“Tentu saja tidak apa-apa, Sayang. Kita bisa menjadwalkan ulang semuanya,”

Ben dan Rinjani kemudian turun ke lantai satu menggunakan lift untuk sarapan bersama. Sebenarnya, ini sudah terlambat untuk disebut sarapan, karena waktu telah menunjukan pukul sembilan. Rinjani menyalahkan Ben yang terus bergelung memeluknya hingga mereka bangun kesiangan.

“Shannon?”

Rinjani tercengang ketika melihat seorang wanita cantik sedang duduk anggun di ruang makan keluarga Ben. Wanita yang suaminya kenalkan sebagai sahabat di hari pernikahan mereka kemarin. Rinjani melirik ekspresi suaminya. Dia juga terlihat sedikit terkejut atas kehadiran wanita itu di sana.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status