Share

4. Shannon dan Patah Hatinya

Ben menghabiskan seloki wiski kelimanya dalam sekali tenggak. Di sebuah bar eksklusif bernuansa kemewahan yang kental, pria itu menghabiskan Kamis malamnya ditemani Shannon, sahabatnya, dan juga Panji. Mereka bertiga duduk di bar counter, tapi, hanya Ben dan Shannon yang minum, sedangkan Panji merasa cukup hanya dengan segelas Cola. Berbeda dari bos-nya yang kuat minum hingga berseloki-seloki wiski tanpa mabuk, kadar toleransinya terhadap alkohol memang payah.

“Kau serius akan menikahi gadis itu? Maksudku, kau sudah benar-benar siap dengan risikonya?” Shannon bertanya.

“Haruskah ku tegaskan sekali lagi? Aku tidak pernah main-main dengan pernikahan, Sha.”

“Tapi dua minggu lagi? Bukankah itu terlalu cepat? Tante Margareth juga belum tentu setuju dengan rencanamu.”

“Semakin cepat semakin baik. Aku tidak ingin Rinjani berubah pikiran karena kuberi kelonggaran waktu.”

“Kau gila!” umpatnya.

“Aku tidak pernah seserius ini sebelumnya.”

Shannon mendengkus. “Dasar bodoh! Jadi, saat kau melamarku tiga tahun lalu, itu hanya main-main?”

Ben menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Aku hanya iseng sebenarnya, tapi, juga serius. Aku merasa lelah mencari Rinjani dan berpikir untuk mencoba menjalin hubungan dengan seseorang. Dan, ya, aku memilihmu,”–Ben menghabiskan seloki wiski lagi–“Tapi kau malah menolakku.”

“Wanita mana yang dengan suka rela mau dijadikan bahan pelarian, Tuan Benedict yang terhormat.”

Ben tergelak, Panji yang duduk di sampingnya ikut tersenyum samar. Beberapa saat kemudian Ben teringat sesuatu, dia melirik jam tangan Rolex keluaran terbaru yang melingkari pergelangan tangannya, ia pikir belum terlalu malam untuk menghubungi Rinjani. Jadi, tanpa mengatakan apapun pria itu meninggalkan Panji dan Shannon berdua di stool bar.

Wanita berambut Dark Brown itu mendengkus sekali lagi. Pria memang tidak bisa dipercaya. Perlahan ia meminum koktailnya hingga tandas, lalu meminta segelas vodka pada bartender. Dia akan mabuk malam ini. Persetan dengan mega fashion show yang akan dihadirinya besok. Sekarang, yang dia butuhkan hanya sesuatu yang bisa mengalihkan rasa sakit hatinya.

Sedari dulu Ben tidak pernah benar-benar melihatnya sebagai seorang wanita. Sedekat apa apapun mereka, tetap saja Shannon merasa ada Dinding tak kasatmata yang menjaraki dirinya dengan Ben. Dinding tinggi yang sengaja Ben bangun hanya untuk melindungi seorang gadis yang bahkan tidak setara dengannya. Shannon mendecih. Setiap kali mengingat hal itu, harga dirinya seperti diinjak-injak tanpa ampun.

Shannon tidak menyadari Panji sedari tadi memperhatikannya dalam diam. Pria itu bukannya tidak mengerti jika model terkenal yang sering datang ke kantornya itu menyimpan perasaan lebih pada Ben. Atasannya sendiri sejauh pengamatannya merupakan tipe orang yang selalu peka terhadap perubahan sekecil apapun. Panji yakin, Ben juga sebenarnya tahu perasaan Shannon padanya, tapi, memilih bersikap seolah tidak tahu apa-apa.

“Kau melihat gadis itu tadi sore 'kan? Apa dia begitu cantik sampai-sampai Ben begitu terobsesi memilikinya?” tanya Shannon sambil mengusap bibir gelasnya menggunakan ibu jari.

Pikiran Panji melayang kembali ke beberapa jam yang lalu, saat terjadi insiden si ruangan atasannya.

Nona Rinjani. Rambut hitam sebahunya yang tergerai bebas, mata boba yang cemerlang, juga bentuk hidung dan bibir yang proposional. Siapa saja pasti setuju jika Rinjani memang tergolong cantik.

“Dia memang cantik. Tapi anda lebih cantik, Nona,” jawabnya yang langsung mendapat tatapan maut dari Shannon.

“Jangan menggombal di depanku, Ji. Dan, sudah berapa kali aku katakan, jangan memanggilku dengan cara seperti itu. Aku tidak suka.”

Panji hanya membalasnya dengan senyuman.

Musik disko di lantai dansa semakin riuh, sementara anak tangga yang menghubungkan bar dengan arena kasino masih dipenuhi orang-orang golongan atas yang berlalu lalang untuk berjudi. Bukan, ini bukan lagi soal uang, tapi, tentang kepuasan yang mereka dapat jika dapat memenangkan taruhan. Semakin malam, tempat itu semakin hidup.

Panji melihat ke sekelilingnya, Ben tidak kembali, itu artinya dia langsung pulang ke rumah. Pria itu mendesah lirih, lagi-lagi secara tidak langsung ia di beri tanggung jawab untuk menjaga sahabat atasannya itu.

Panji bukannya tidak mau, sebagai sekretaris yang merangkap asisten pribadi Richard Benedict, dia sudah pernah diberikan berbagai macam tugas dari yang berhubungan dengan perkerjaan hingga urusan pribadi. Namun, menjaga Shannon yang sedang mabuk bukanlah hal mudah. Gadis itu sangat kacau ketika mabuk, bicaranya melantur, dan ... suka berbuat mesum.

“Cukup untuk malam ini, Sha,” tegas Panji sambil mengambil alih gelas kesekian yang akan di minum Shannon.

Gadis itu menatapnya dengan mata yang memerah karena sudah setengah mabuk, lalu tertawa sumbang. “Kenapa? Takut aku menciummu lagi seperti tempo hari?” tanya Shannon di sela tawanya.

“Kau mengingatnya?” Ada sedikit keterkejutan di wajah Panji. 

“Tentu saja. Ayo, pulang,” tandas Shannon setelah berhenti tertawa, ia turun dari stool bar dan melangkah mendahului Panji yang masih kebingungan, bagaimana Shannon bisa mengingatnya padahal dia sedang sangat mabuk saat itu?

*****

Rinjani melirik Ben yang sedang fokus menyetir. Pria dengan tuksedo hitam itu lebih banyak diam setelah memberinya kejutan bertubi-tubi tadi pagi.

Pertama, Ben datang ke rumahnya dengan membawa sebuket tulip putih yang merupakan bunga favoritnya. Kedua, dia meminta maaf secara resmi pada ayahnya. Tentu saja ayahnya dengan mudah memberikan maaf, bahkan berkata jika Ben sebenarnya tidak perlu melakukan itu. Ketiga, adalah hal paling tidak masuk akal menurut Rinjani. Ben melamarnya. Iya, pria itu benar-benar terlihat seperti sedang meminta izin menikahi kekasihnya.

“Pak Adam, saya ingin menikahi putri anda minggu depan. Saya tidak berjanji bisa melindunginya sampai akhir, tapi, saya bisa menjamin akan terus berada di sisinya apapun yang terjadi. Jadi, tolong berikan restu anda pada kami.”

Kalimat padat yang membuat Rinjani dan keluarganya mematung untuk beberapa saat. Namun, tetap saja menjengkelkan bagi Rinjani karena Ben tetap tidak menerima penolakan. Ben berkilah itu hanya sekadar formalitas karena bagaimanapun juga ia akan menikahi anak gadis seseorang.

“Masih marah?” Ben bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan.

“Tidak.”

“Kenapa diam saja?”

Rinjani menoleh dengan ragu. “Apa aku boleh bertanya sesuatu?”

“Tentu saja.”

“Kau sepertinya tahu seluk beluk keluargaku. Agar kita seimbang, bisakah kau ceritakan sedikit latar belakang keluargamu? Ng, kalau kau tidak keberatan,” ucap Rinjani hati-hati.

Ben meliriknya sekilas.

“Aku anak tunggal dan kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu.”

“Itu saja?”

“Kau ingin aku menceritakan kenapa aku bisa menjadi seorang direktur utama di usia semuda ini?” sarkasnya.

Rinjani merengut. “Sudah pasti karena salah satu keluargamu pemegang saham tertinggi di sana.”

“Benar juga, sih.” jawab Ben enteng yang membuat gadis itu semakin jengkel. “Tanyakan hal lain saja,” katanya lagi.

“Kau tidak punya sopir? Aku yakin kau tidak kekurangan uang untuk menggaji seorang sopir.”

“Aku hanya memakai sopir untuk perjalanan bisnis. Pertanyaanmu random sekali.”

“Aku tidak peduli. Omong-omong, kita akan pergi kemana?”

“Ke rumahku. Makan siang, fitting gaun pengantin, lalu mengatur siapa saja ingin kau undang ke pernikahan kita.”

Wow!

Rinjani tidak menyangka Ben benar-benar telah mempersiapkan segalanya. Seperti konglomerat pada umumnya, hidup pria itu terorganisasi dengan baik, bahkan untuk sesuatu yang mendadak, semua tetap direncanakan matang-matang.

Rinjani tidak bertanya apapun lagi sampai mobil yang ia tumpangi berbelok memasuki kompleks perumahan paling elite di kota ini, kemudian berhenti di depan sebuah rumah mewah bergaya modern yang gerbangnya bisa dibuka menggunakan smartphone atau remote control.

“Kau lihat tangga itu?” tanya Ben.

Gadis itu mengangguk sambil melihat anak tangga outdoor permanen yang menghubungkan bangunan di lantai satu dengan bangunan di atasnya.

“Itu area pribadiku. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. Pengecualian untukmu, karena nanti kau akan jadi salah satu penghuninya.”

Ben mengurungkan niat untuk turun dari mobil saat melihat Rinjani masih termenung di tempatnya. Tangan Ben terulur melepaskan sabuk pengaman Rinjani, membuat gadis itu terperanjat. Hampir saja ia memukul Ben karena mengira pria itu akan berbuat kurang ajar padanya.

“Kau melamun. Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan?”

“Ben, bagaimana dengan permintaanku soal perjanjian pranikah?”

“Tidak akan ada perjanjian pranikah hitam di atas putih, Rin. Kita akan menjalani pernikahan normal seperti yang orang lain lakukan.” Ben tersenyum hangat. “Kau tenang saja. Aku tidak akan menyentuhmu sebelum kau sendiri yang memintanya. Aku juga tidak akan membatasi karirmu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, Rinjani,” katanya lagi sebelum mendekatkan diri pada Rinjani dan mengecup lembut kening calon istrinya.

Rinjani merasa tubuhnya mati rasa, untuk beberapa saat ia membeku. Ada gelenyar aneh yang melingkupi hatinya yang membuatnya merasa lingkung. Bukankah seharusnya dia menolak? Tapi, yang terjadi justru Rinjani menutup mata, menikmati aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria itu.

Jangan terbuai, Rinjani, batinnya mengingatkan.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status