Share

Penawaran Untuk Almira

Pagi masih belum menampakkan sinarnya. Namun, tampak seorang pria sedang duduk diatas kursi roda menghadap kearah jendela. Nico menghembuskan nafas frustasi, kepalanya mendadak pening semenjak menerima pesan dari Amanda.

“Jon!” panggil Nico dari dalam pada Jon—asisten pribadinya.

“Ya, Tuan?” jawab Jon. Ia dengan cepat menghampiri tuannya.

“Cari tahu keberadaan Amanda saat ini dan cari tahu semua tentang Amanda. Aku ingin buat perhitungan dengannya.” Ucapnya dengan kesal, “berikan infonya sebelum aku keluar dari rumah sakit sialan ini!”

“Baik, Tuan,” jawab Jon patuh. Ia pun segera keluar dari kamar tuannya dan memerintahkan anak buahnya sesuai yang diperintahkan tuannya.

Ia masih menatap keluar jendela, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Ia hanya tidak menyangka jika wanita yang dicintainya pergi meninggalkannya karena dia lumpuh sedangkan hari pernikahan hanya tinggal menghitung hari.

“Argh…brengsek!” ucapnya dengan menghancurkan semua barang-barang yang ada pada ruangan tersebut hingga ia terjatuh dari kursi roda.

Almira yang baru saja datang untuk menggantikan temannya yang jaga malam, langsung lari menuju kamar Nico begitu mendengar teriakannya.

“Pak, Anda tidak apa-apa?” tanyanya dengan mendekati Nico untuk membantunya kembali duduk dikursi roda.

Nico menatap Almira, kilatan amarah terpancar dari matanya. “Pergi, aku tidak butuh bantuanmu!” teriaknya.

“Tapi, Pak...,”

Nico mendorong tubuh Almira hingga terjatuh. “Semua wanita sama saja. Yang mereka pikirkan hanya harta!”

Almira berdiri dan bergegas menghubungi Dokter Nando untuk segera kemari. Dokter Nando sampai kekamar Nico.

“Nico, apa yang kamu lakukan. Jangan bersikap bodoh!” bentak Dokter Nando pada adiknya.

“Suster, tolong bantu saya memindahkan pasien ke tempat tidurnya.”

Almira menganggukan kepala dan bergegas membantu Dokter Nando untuk memindahkan pasien ke tempat tidur.

“Apa kamu sudah gila, hah! Kemana pikiranmu, Nico.” Bentaknya dengan mencengkram rahang adiknya dengan kencang.

Nico menepis tangan yang mencengkramnya. “Kau tidak tahu bagaimana rasanya diposisiku. Aku lumpuh dan sekarang dia meninggalkanku disaat hari pernikahan kami hanya tinggal menghitung hari!” ucapnya tak kalah keras.

 “Masih banyak cara untuk menyelesaikan ini. Kau seorang CEO yang disegani, semua lawan-lawanmu takluk padamu saat berhadapan dengan mu, tapi lihatlah sekarang, ck..ck…kau tidak halnya seperti pecundang.” Ucap Dokter Nando

Nico terdiam mendengar ucapan kakaknya.

“Kau tenanglah. Aku sudah mengurusnya, tidak ada yang boleh meremehkan keluarga Brahmantyo, tidak juga Amanda.” Ucap Dokter Nando

Tanpa mereka sadari Suster Almira masih berdiri disana mendengarkan percakapan mereka. Almira terkejut karena ternyata Dokter Nando adalah kakak dari pasien yang selama ini membuatnya kesal, selain itu mereka menyebutkan nama Amanda.

“Maaf, saya menyela pembicaraan kalian. Tapi apakah Dokter Nando tadi menyebut nama 'Amanda'?” Ucap Almira hingga mereka memandang kearahnya.

“Kalau boleh saya tahu, apakah Amanda yang dokter maksud adalah Amanda Lucero?” tanyaku penasaran dan berharap semoga bukan Amanda saudara tirinya.

“Apa kau mengenalnya, suster?”

“Ah, ti…tidak. Tentu saja saya tidak mengenalnya, mana mungkin seorang suster seperti saya mengenal seorang model terkenal, he..he..he,” ucapku dengan tersenyum yang dipaksakan.

“Betul, memang dia Amanda yang kami maksud. Dia calon istrinya Nico.” Balas Dokter Nando

Seketika itu juga ekspresi wajah Almira berubah menjadi kaku namun cepat-cepat ia merubah ekspresi wajahnya agar tidak diketahui oleh mereka.

‘Ya Tuhan, apa yang telah dilakukan Amanda. Firasatku tidak enak, semoga apa yang aku fikirkan tidak berdampak padaku. Tolong aku Tuhan’ batin Almira.

“Ehm, kalau begitu saya permisi dulu, dok.” Pamitnya

“Suster tunggu.” Panggil Dokter Nando, “tolong panggilkan OB untuk membersihkan kamar ini.” Ucapnya dan dijawab anggukan oleh Almira.

Saat Almira akan keluar dari kamar, tiba-tiba pintu terbuka. Menampakkan asisten Nico datang dengan membawa beberapa berkas yang akan diberikan pada Nico.

Almira keluar namun tidak menutup pintu seluruhnya. ia ingin mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan, namun suara dering ponselnya membuat ia urung untuk mendengarkan pembicaraan mereka.

“Hai, Ben. Bagaimana kabarmu?” tanyaku dari seberang telpon.

“Hai, aku baik. Maaf aku baru sempat menghubungi, kau tidak marahkan?”

“Tidak. Bagaimana kegiatanmu disana? Apakah menyenangkan?”

“Syukurlah disini menyenangkan, banyak dokter-dokter muda yang menerima beasiswa sama dengan ku disini.”

“Ben…,” ucapan Almira terputus karena sekali lagi ia mendengar teriakan dari kamar Nico. “Ben, aku tutup dulu telponya karena pasienmu yang menyebalkan sedang berteriak marah, da, sampai jumpa.” Almira menutup ponselnya sepihak.

***

“Mbak Almira, Anda dipanggil Dokter Yacob diminta untuk segera keruangannya, sekarang.” Ucap seorang security

“Ada apa ya, Pak?” tanyanya penasaran.

“Waduh, maaf mbak, saya kurang tahu. Mending mbak Almira cepetan kesana.”

“Terima kasih ya, Pak.”

Almira mendatangi ruangan Dokter Yacob.

Tok…

Tok…

“Masuk.” Jawab seseorang yang berada dalam ruangan itu.

Almira masuk kedalam ruangan tersebut. Disana sudah ada Dokter Nando, Nico dan orang tuanya. “Permisi, dok. Dokter memanggil saya?” tanyanya.

“Duduklah, Al.” jawab Dokter Yacob. Almira sedikit heran, tidak biasanya Dokter Yacob memanggil dengan hanya menyebutkan namanya saja.

“Langsung saja pada intinya, dok.” Ucap Nico sarkas padaku

“Apa kau yang membantu Amanda untuk meninggalkan Jakarta?” tanya Dokter Yacob.

Almira begitu terkejut atas tuduhan yang dilontarkan padanya. “Apa maksud, Anda. Untuk apa saya membantu Amanda meninggalkan Jakarta.”

“Hanya kamu satu-satunya orang yang menemui Amanda.”

Almira berdiri dari duduknya. “Tapi itu atas permintaan Anda, dokter. Jangan salahkan saya atas kepergian Amanda, saya bahkan tidak tahu kemana Amanda pergi. Yang saya tahu Amanda pergi bersama seseorang bernama Kevin.” Ucap Almira kesal.

“Jangan libat saya dengan permasalahan kalian. Saya disini hanya ingin bekerja dan meminta hak saya pada Anda, Dokter Yacob.”

Ekspresi wajah Dokter Yacob seketika berubah tegang. “Jangan bawa-bawa masalah pribadimu Suster Almira! Dan jaga bicara mu.” Ucapnya dengan sengit

“Sebenarnya maksud Anda memanggil saya kemari bukan hanya ingin menanyakan keberadaan Amanda kan, dokter?”

“Betul, suster. Maaf kami jika melibatkanmu dalam masalah ini.” Sela Ratna—ibu Nico

“Tapi, kenapa harus saya, Nyonya?”

“Karena kau adalah adik dari Amanda.” Ucap Nico dengan ketus. “Jadi kau harus bertanggung jawab menggantikan Amanda untuk menikah dengan ku.”

Almira mundur selangkah karena terkejut. Ia sudah menduga, jika kepergian Amanda akan membawa masalah untuk hidupnya…lagi.

“Anda salah Tuan Nico yang terhormat. Dokter Yacob memang ayah saya, dan Amanda memang saudara saya, tapi mereka bukan keluarga saya. Dan saya menolak. Permisi.” Ucap Amanda kesal dan seketika meninggalkan mereka.

Namun, saat Almira akan membuka pintu sebuah suara menghentikannya. “Bagaimana kalau aku memberikan tawaran untukmu?” sela Dokter Yacob.

“Aku akan memindahkan dan memberikan fasilitas perawatan terbaik untuk nenekmu diluar negeri hingga ia sembuh.” Ucapnya, “tapi sebagai gantinya kamu harus mau menikah dengan Nico, Bagaimana?”

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status