Bali- 01:30PM
Almira menghela nafas, lalu memijit pangkal hidungnya karena merasa binggung dengan sikap Nico. Ia menolak permintaan dokter Nando untuk ikut bersamanya ke Bali. Namun, siapa yang mengira jika saat ini ia sendiri yang mengajaknya untuk menyusul kakak dan keponakannya. Benar-benar tipe manusia yang nomaden, batin Almira.
“Nico,” panggil Almira.
“Hem …,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan padangannya dari ponsel.
“Mengapa kau mengajakku kemari?” tanyanya. “Mengapa kau tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah kau bilang tidak ingin pergi?” sambungnya.
“Karena mama memintaku untuk mengajakmu ke Bali,” jawabnya.
“Jadi karena mama yang memintamu untuk mengajakku, kau tidak bisa menolak seperti yang kau lakukan pada dokter Nando, begitu?!” ucap Almira.
“Tapi untuk apa mama memintamu mengajakku ke sini?” tanyanya penasaran.
“Aku tidak tahu! Kau bisa tanyakan sendiri pada mama nanti!” jawabnya.
Jangan lupa saran dan kritik ya ....
“Katakan apa yang kau inginkan?” tanyanya saat ia melihat ada keraguan dalam raut wajah Almira. “Aku ingin … mengakhiri pernikahan ini!” jawab Almira. Raut wajah Nico seketika menjadi datar. Rahangnya mengeras. ‘Jadi ini yang kau inginkan! Jangan bermimpi sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu. Kau adalah milikku dan akan selamanya menjadi milikku!’ batin Nico. “Ditolak!” jawab Nico dingin dan datar. Kini Nico kembali pada sifatnya yang arogan, dingin dan egois seperti dulu. “Kenapa?” balasnya—datar. Nico tidak menjawab pertanyaan Almira dan berlalu pergi meninggalkannya. Ia sudah jatuh cinta teramat dalam pada wanita yang sekarang menjadi istrinya. Bagi Nico melepaskan Almira sama juga dengan membunuh separuh dirinya. Almira bergegas bangkit dari duduknya dan berlari mencekal tangan Nico. “Nico, tunggu!” panggilnya. Langkah Nico terhenti dan menatap dingin Almira. Ia tidak menyangka perjanjian pranikah yang ia buat sebelu
Tok!Tok!Tok!“Almira, Sayang?” panggil Ratna. Ia mengetuk pintu kamar menantunya karena merasa khawatir dengan keadaan Almira yang mengurung diri dalam kamar setelah pertengkaran dengan putranya.Tanpa sengaja Ratna mendengar pertengkaran mereka saat ia kembali dari berbelanja bersama koleganya. Ia pun sempat berpapasan dengan putranya yang saat itu sedang terlihat sedang marah.“Sayang, ini mama. Boleh mama masuk, Nak?” rayunya.Almira beranjak dari tempat tidurnya, berjalan ke arah pintu sambil menghapus sisa air matanya sebelum membuka kunci kamarnya.Ia tersenyum dan mempersilahkan Ratna masuk. Mereka duduk di sofa ruang tamu dalam kamar milik Almira.Ratna yang duduk di samping kanan Almira membelai lembut rambut menantunya dengan menatap wajah yang terlihat sembab bekas menangis, “kau kenapa, Sayang?” tanya Ratna.“Aku baik-baik saja, Ma.”“Tadi … mama tid
“Kenapa kaki ku tidak bisa digerakkan?” gerutu Nico. Pria tampan berusia 29 tahun itu tampak kebinggungan saat ia tidak dapat merasakan kedua kakinya.“Suster…suster!” teriaknya memanggil perawat sambil menekan tombol yang berada disamping ranjangnya. Almira yang saat itu akan kembali ke ruang perawat segera berlari begitu mengetahui ruang VVIP menyalakan tombol. “Pak Nico, Anda tidak apa-apa?” tanya Almira yang melihat pasiennya sedang kebinggungan.“Suster, apa yang terjadi pada kaki saya? Kenapa saya tidak bisa merasakan apa-apa?”“Pak Nico, tenang dulu. Akan saya panggilkan Dokter Yacob segera.”Almira segera menghubungi Dokter Yacob yang saat itu sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.Tidak lama berselang, Dokter Yacob dan seorang wanita paruh baya datang dan langsung menghampiri ruang VVIP.Wanita paruh baya itu terkejut melihat kondisi putranya yang
Almira berjalan menyusuri gang kecil menuju rumahnya. Suasana mendung membuat ia mempercepat langkahnya sebelum hujan turun membasahi tubuhnya. Ia ingin segera sampai dirumah untuk mengistirahatkan tubuhnya setelah seharian bekerja dan berurusan dengan Amanda.Almira menghentikan langkahnya ketika mendekati rumahnya sudah ada seseorang yang menunggunya di teras. Ia cukup heran dengan kedatangan Benny yang datang tiba-tiba tanpa memberi kabar.“Ben…,!” panggil Almira.Benny tersenyum menatapku. “Hai….”“Sedang apa kamu disini? Bukankah hari ini kamu masih ada jadwal praktik?”“Maaf, aku datang tanpa memberi tahumu dulu. Sebenarnya aku datang kemari, hanya ingin memberi tahumu kabar gembira, coba tebaklah Al?”“Apa beasiswamu diterima?” tebak Almira spontan.Benny mengangguk dan tersenyum. “Pintar sekali,”“Tebakkan mu benar, sayang. Beasi
Pagi masih belum menampakkan sinarnya. Namun, tampak seorang pria sedang duduk diatas kursi roda menghadap kearah jendela. Nico menghembuskan nafas frustasi, kepalanya mendadak pening semenjak menerima pesan dari Amanda.“Jon!” panggil Nico dari dalam pada Jon—asisten pribadinya.“Ya, Tuan?” jawab Jon. Ia dengan cepat menghampiri tuannya.“Cari tahu keberadaan Amanda saat ini dan cari tahu semua tentang Amanda. Aku ingin buat perhitungan dengannya.” Ucapnya dengan kesal, “berikan infonya sebelum aku keluar dari rumah sakit sialan ini!”“Baik, Tuan,” jawab Jon patuh. Ia pun segera keluar dari kamar tuannya dan memerintahkan anak buahnya sesuai yang diperintahkan tuannya.Ia masih menatap keluar jendela, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Ia hanya tidak menyangka jika wanita yang dicintainya pergi meninggalkannya karena dia lumpuh sedangkan hari pernikahan ha
Satu jam yang lalu…“Apa yang akan kau lakukan pada mereka sekarang, Nic?” tanya Dokter Nando.“Aku? Aku tidak akan melakukan apa-apa, Nan. Aku hanya akan jadi penonton drama dalam keluarga Lucero!” Ucap Nico dengan seringai licik disudut bibirnya.“Aku berharap kamu tidak melibatkan Suster Almira dalam rencana mu. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini.”“Kenapa? Kenapa kau begitu peduli dengannya, Nan?” Nico mengerutkan keningnya menatap kakaknya heran. “Apa kau tertarik padanya?”“Auw…,” spontan Dokter Nando memukul kepala Nico. “Jaga bicaramu. Dia gadis yang baik dan berbeda, lagipula dia sudah punya kekasih, jadi mana mungkin aku tertarik padanya.”Tiba-tiba pintu kamar terbuka, tampak ibunya yang datang dengan wajah cemberut, membuat mereka memalingkan pandangannya pada sosok yang mereka sayangi.“Kenapa kau meminta mama datang kemari, Nico? Ada apa?,” ujarnya. “Mama jadi harus menitipkan Hanif pada pengasuhnya, kau tahu sendiri
Almira menghembuskan nafas kecewa begitu keluar dari ruangan ayah tirinya. Ia melangkahkan kakinya sambil melamun menjauh dari ruangan Dokter Yacob dan berjalan menuju lift. Dalam lamunannya ia berfikir, mengapa ayah tirinya tega melimpahkan kesalahan yang dilakukan Amanda dengan menyetujui perjanjian gila yang diberikan Nico padanya. Menikah dengan orang yang tidak dikenal dan tidak ia cintai bukanlah daftar dari rencana masa depan Almira, apalagi dengan seorang CEO yang temperamental dan arogan. Tujuannya kembali ke Jakarta bukan sekedar bekerja tapi demi meminta kembali rumah panti peninggalan ibunya, tapi kenyataan yang terjadi saat ini justru diluar bayangannya. Dan sialnya, Almira tidak bisa menolak pernikahan ini karena nenek dan rumah panti yang masih ada dalam genggaman ayah tirinya. Ia hanya bisa berharap setelah menjalani pernikahan ini, kaki Nico dapat segera sembuh dan bisa berjalan kembali seperti semula. Semakin cepat kesembuhan kaki Nico
Hari ini Almira terpaksa harus meminta ijin untuk tidak masuk, karena Nico mengajaknya ke butik langganan keluarga Brahmantyo untuk mencari gaun pengantin.Sepanjang perjalanan menuju butik, Almira lebih banyak melamun, sedangkan Nico sibuk dengan laptop yang berada dipangkuannya. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk akibat kecelakaan yang dialaminya.Meski Nico merupakan pria yang temperamen dan arogan tapi ia tetap memperlakukan Almira dengan baik, mungkin tidak semanis pasangan yang akan menikah pada umumnya. Tapi bersikap tidak temperamen dan arogan serta menahan emosi untuk sementara waktu sudah merupakan sebuah kemajuan untuk seorang Nicolas.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Almira sedikit terkejut saat Nico membuyarkan lamunannya—tiba-tiba pria itu sudah menutup laptopnya. Almira berpikir sejak kapan pria itu menyelesaikan pekerjaannya?Almira heran dengan dirinya sendiri, ia menjadi sering malamunkan hal-hal ya