Satu jam yang lalu…
“Apa yang akan kau lakukan pada mereka sekarang, Nic?” tanya Dokter Nando.
“Aku? Aku tidak akan melakukan apa-apa, Nan. Aku hanya akan jadi penonton drama dalam keluarga Lucero!” Ucap Nico dengan seringai licik disudut bibirnya.
“Aku berharap kamu tidak melibatkan Suster Almira dalam rencana mu. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini.”
“Kenapa? Kenapa kau begitu peduli dengannya, Nan?” Nico mengerutkan keningnya menatap kakaknya heran. “Apa kau tertarik padanya?”
“Auw…,” spontan Dokter Nando memukul kepala Nico. “Jaga bicaramu. Dia gadis yang baik dan berbeda, lagipula dia sudah punya kekasih, jadi mana mungkin aku tertarik padanya.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, tampak ibunya yang datang dengan wajah cemberut, membuat mereka memalingkan pandangannya pada sosok yang mereka sayangi.
“Kenapa kau meminta mama datang kemari, Nico? Ada apa?,” ujarnya. “Mama jadi harus menitipkan Hanif pada pengasuhnya, kau tahu sendiri kan keponakan mu itu tidak mau dengan siapa-siapa.”
“Sudah, Ma. Mama jangan marah dulu dengarkan penjelasan Nico. Lagipula Hanif sudah besar, biarkan dia bersama pengasuhnya sebentar.” Ujar Dokter Nando
“Ish, kau ini. Dia itu anak mu, peka lah sedikit dengannya. Awas saja jika ini tidak penting.”
Nico menjelaskan semua pada ibunya. Mereka menyimak dan mendengarkan rencana yang akan dilakukan pada keluarga Lucero. “Baiklah. Kali ini mama mendukungmu, kita lihat reaksi apa yang akan dilakukan Dokter Yacob ketika berita ini muncul!” ucapnya.
“Tidak ada yang boleh mempermainkan keluarga Brahmantyo seperti ini, tidak juga Dokter Yacob.” Ucapnya kesal
Nico meminta anak buahnya untuk menyebarkan berita pengelapan dana yang dilakukan Dokter Yacob dari donator untuk diberikan pada Yayasan panti dalam naungan Brahma Group termasuk Yayasan panti milik ibu Almira.
Seperti dugaannya, berita begitu cepat menyebar hingga ketelinga para donator dan pemegang saham rumah sakit Karya Bakti.
“Apa kau yakin ini akan berhasil membuat Dokter Yacob meminta Amanda untuk kembali?” tanya ibunya.
“Aku yakin, Ma. Karena wanita seperti Amanda tidak akan pernah bisa hidup tanpa uang. Jadi jika ia mendengar ayahnya sedang dalam masalah, ia pasti akan kembali.” Ucapnya
Kring… kring…
Ponsel Nico berbunyi, ia menatap layar ponselnya. “Lihat,” ia menunjukkan nama si pemanggil pada Dokter Nando dan ibunya. “Sudah ku duga. Dia pasti akan menghubungiku.” Ucapnya
“Ya?” jawabku
“….”
“Tidak. Kami yang akan datang ke ruangan dokter!” serunya dengan sedikit menyeringai.
“…”
“Ini saat yang ku tunggu. Aku sudah tidak sabar melihat wajah ketakutannya!” ucapnya dengan sinis. “Jon…,” panggilnya.“Iya, Tuan.”
“Bawa aku ke ruangan calon ayah mertua ku!” perintahnya dengan penekanan diakhir kalimat.
Dokter Nando dan ibunya saling memandang melihat Nico yang sudah terselimuti amarah dan sakit hati. Mereka jadi teringat 10 tahun yang lalu saat Nico masih duduk dibangku kuliah, dia hampir membuat dirinya menjadi seorang pembunuh hanya karena dikhianati seorang gadis.
Mereka berjalan menuju ruangan Dokter Yacob. Tampak diraut wajah ibunya sedikit gelisah, Dokter Nando yang mengetahui ibunya sedang gelisah, berusaha menenangkan ibunya. “Mama tenang saja. Aku yakin, Nico tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kita harus percaya padanya.” Ucapnya
Mereka sampai di depan ruangan Dokter Yacob. Tanpa permisi, Joni membukakan pintu ruangan itu untuk tuannya. Dokter Yacob tampak terkejut dengan kehadiran Nico dan keluarganya yang datang begitu cepat tidak seperti dugaannya.
“Masuklah. Silahkan duduk.” Ucapnya dengan basa-basi.
“Kita tidak perlu berbasa-basi lagi, Tuan Lucero,” ucap Nico. “Tentu Anda tahu tujuan kami kemari kan?” ucap Nico dengan memberi tatapan tajam pada Dokter Yacob yang berjalan mendekatinya.
Nicholas Brahmantyo, putra kedua dari keluarga Brahmantyo yang memiliki paras rupawan namun penuh misteri. Seorang pimpinan dari Brahma Group yang tak pernah dapat disentuh oleh apa dan siapapun kini harus menghadapi seseorang yang telah membangkitkan sisi kejamnya.
“Mmm…Begini…mmm,” jawab Dokter Yacob dengan gugup. “Apakah tidak ada jalan lain nak Nico?”
Nico mengerutkan keningnya. “Jalan lain…hmm,” nampak Nico berpikir sejenak.
“Aku akan memberikan Anda pilihan, membawa Amanda kembali untuk melanjutkan pernikahan, atau saya akan membuat hidup Anda dan putri Anda semakin jatuh lebih dari ini jika putri Anda tidak kembali. Bagaimana?”
Dahi Dokter Yacob mulai berkeringat karena semakin terdesak dengan pilihan yang diberikan Nico padanya. Ia tidak mungkin membawa Amanda kembali, itu sama saja memasukkan putrinya kedalam kandang singa, selain itu ia juga tidak tahu dimana keberadaan putrinya saat ini.
Sedangkan jika ia tidak bisa membawa putrinya kembali, usaha yang telah dibangunnya akan hancur tak tersisa karena kekuasaan keluarga Brahmantyo. ‘Dasar anak tidak tahu diri. Bikin susah orang tua saja’ batin Dokter Yacob.
“Mmm…Begini, bagaimana jika calon pengantin wanitanya digantikan oleh gadis lain?” ucap Dokter Yacob, berharap Nico dan keluarganya menyetujui ide liciknya.
“Apa maksud Anda?” tanya Ratna.
Dokter Yacob menceritakan kronologi kepergian Amanda dan memberikan alasan-alasan yang memberatkan Almira. “Dengan begitu yang seharusnya bertanggungjawab atas kepergian Amanda adalah Suster Almira.”
“Kenapa Anda bisa meminta Suster Almira untuk mendatangi Amanda ke rumah Anda?” tanya Dokter Nando.
‘Dasar pria licik. Dia mengorbankan orang lain demi menyelamatkan dirinya sendiri dan putri brengseknya’ batin Nico dengan tersenyum miring mendengar perkataan Dokter Yacob.
“Karena Almira adalah anak tirinya saya. Saya percaya padanya. Jika saya tahu kepergian Amanda disebabkan karena Almira, saya tidak akan mungkin memintanya.” Ucapnya dengan nada pura-pura kecewa
“Jangan melimpahkan kesalahan pada orang lain, dokter!” seru Nico.
“Jika kalian tidak percaya dengan apa yang saya katakan, kalian boleh bertanya pada Almira,” sahutnya dengan gugup. “Saya sudah meminta Suster Almira kemari.”
Flash back off
***Dalam diam Almira memikirkan tawaran ayah tirinya. Ia tidak bisa egois dengan mengabaikan neneknya yang sedang sakit dan harus mendapatkan perawatan yang biayanya tidak sedikit, selain itu Almira masih ingin menuntut haknya sebagai ahli waris pemilik rumah panti yang didirikan oleh ibunya. Tapi disisi lain jika ia menerima tawaran dari ayahnya, itu berarti ia mengkhianati Benny—kekasihnya.Dengan berat hati Almira menerima tawaran dari ayahnya. “Saya bersedia menikah dengan Tuan Nico dengan syarat Anda harus mengembalikan kepemilikan panti pada saya dan memberikan pengobatan yang terbaik untuk nenek saya hingga sembuh!” ucapnya.
“Baik, tidak masalah. Aku akan melakukan yang kau minta sehari setelah pernikahan mu.” jawab Dokter Yacob.
Nico memandang Almira dengan sinis dan tajam, seakan ia ingin mencincang habis Almira.
“Jangan senang dulu Dokter Yacob,” ucap Nico. “Saya punya persyaratan untuk Anda, dokter!”
“Persyaratan? Kamu masih memberikan syarat padaku…lagi?” sahutnya.
“Saya akan menikah dengan syarat, jika dalam waktu dua tahun ia bisa membuat saya berjalan kembali maka saya akan memberikan seluruh saham saya pada Anda dan membuat kasus korupsi Anda ditutup selamanya, tapi sebaliknya jika ia tidak bisa membuat saya berjalan kembali maka bersiaplah untuk kehilangan yang anda miliki dan saya akan menjadikan putri tiri Anda sebagai pembantu tanpa digaji. Bagaimana, Anda setuju?” ucapnya.
“Baiklah saya setuju” jawab Dokter Yacob tanpa berfikir. Ia mempertaruhkan hidup Almira bagai dimeja judi.
Almira menggelangkan kepala tak percaya melihat ayah tirinya menyetujui persyaratan tanpa mempertimbangkan dirinya. ‘Ini benar-benar gila. Hanya Tuhan yang bisa menolong aku’ batin Almira.
Bersambung…
Tok!Tok!Tok!“Almira, Sayang?” panggil Ratna. Ia mengetuk pintu kamar menantunya karena merasa khawatir dengan keadaan Almira yang mengurung diri dalam kamar setelah pertengkaran dengan putranya.Tanpa sengaja Ratna mendengar pertengkaran mereka saat ia kembali dari berbelanja bersama koleganya. Ia pun sempat berpapasan dengan putranya yang saat itu sedang terlihat sedang marah.“Sayang, ini mama. Boleh mama masuk, Nak?” rayunya.Almira beranjak dari tempat tidurnya, berjalan ke arah pintu sambil menghapus sisa air matanya sebelum membuka kunci kamarnya.Ia tersenyum dan mempersilahkan Ratna masuk. Mereka duduk di sofa ruang tamu dalam kamar milik Almira.Ratna yang duduk di samping kanan Almira membelai lembut rambut menantunya dengan menatap wajah yang terlihat sembab bekas menangis, “kau kenapa, Sayang?” tanya Ratna.“Aku baik-baik saja, Ma.”“Tadi … mama tid
“Katakan apa yang kau inginkan?” tanyanya saat ia melihat ada keraguan dalam raut wajah Almira. “Aku ingin … mengakhiri pernikahan ini!” jawab Almira. Raut wajah Nico seketika menjadi datar. Rahangnya mengeras. ‘Jadi ini yang kau inginkan! Jangan bermimpi sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu. Kau adalah milikku dan akan selamanya menjadi milikku!’ batin Nico. “Ditolak!” jawab Nico dingin dan datar. Kini Nico kembali pada sifatnya yang arogan, dingin dan egois seperti dulu. “Kenapa?” balasnya—datar. Nico tidak menjawab pertanyaan Almira dan berlalu pergi meninggalkannya. Ia sudah jatuh cinta teramat dalam pada wanita yang sekarang menjadi istrinya. Bagi Nico melepaskan Almira sama juga dengan membunuh separuh dirinya. Almira bergegas bangkit dari duduknya dan berlari mencekal tangan Nico. “Nico, tunggu!” panggilnya. Langkah Nico terhenti dan menatap dingin Almira. Ia tidak menyangka perjanjian pranikah yang ia buat sebelu
Bali- 01:30PM Almira menghela nafas, lalu memijit pangkal hidungnya karena merasa binggung dengan sikap Nico. Ia menolak permintaan dokter Nando untuk ikut bersamanya ke Bali. Namun, siapa yang mengira jika saat ini ia sendiri yang mengajaknya untuk menyusul kakak dan keponakannya. Benar-benar tipe manusia yang nomaden, batin Almira. “Nico,” panggil Almira. “Hem …,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan padangannya dari ponsel. “Mengapa kau mengajakku kemari?” tanyanya. “Mengapa kau tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah kau bilang tidak ingin pergi?” sambungnya. “Karena mama memintaku untuk mengajakmu ke Bali,” jawabnya. “Jadi karena mama yang memintamu untuk mengajakku, kau tidak bisa menolak seperti yang kau lakukan pada dokter Nando, begitu?!” ucap Almira. “Tapi untuk apa mama memintamu mengajakku ke sini?” tanyanya penasaran. “Aku tidak tahu! Kau bisa tanyakan sendiri pada mama nanti!” jawabnya.
Nando dan Hanif pergi meninggalkan Almira untuk masuk ke dalam pesawat. Ia melangkahkan kakinya untuk kembali ke parkiran mobil karena Johni telah menunggunya. Namun, saat akan kembali tiba-tiba sesuatu mengejutkan Almira. Brugh!! “Auw…,” ucapnya kesakitan. Seolah-olah ia sudah menabrak dinding yang sangat keras. “Apa Anda tidak punya mata?” ucap Almira kesal dengan mengusap-usap dahinya tanpa melihat siapa yang telah ia tabrak. “Tidak bisakah kau berjalan dengan benar?” balas Nico yang berdiri dihadapan Almira menggunakan tongkat penyangga. Almira yang hafal dengan suara Nico, buru-buru menengadah menatap Nico. “Kau …!” “Makanya kalau jalan itu lihat ke depan jangan lihat ke bawah! Untung aku yang kau tabrak, bagaimana jika orang lain!?” ucapnya ketus. “Maaf,” balas Almira. Tiba-tiba Almira menatap Nico penasaran, “Sedang apa kau di sini? Aa … jangan-jangan kau sudah berada di sini dan memperhatikan kami sedari tadi?”
Dering alarm ponsel Almira berbunyi, menunjukkan hari sudah pagi. Cepat-cepat Almira meraih ponselnya di atas nakas dan mematikkannya. Almira duduk sejenak untuk mengumpulkan kembali nyawanya, ia melihat ke samping tempat tidur yang masih rapi. Sekilas Almira teringat jika semalam ketika ia akan menghampiri Nico di ruang kerjanya, nampak keadaanya sangat kacau hingga ia membatalkan niatnya untuk menghampiri Nico. “Sepertinya semalam ia tidak tidur di sini. Apa ia ketiduran di ruang kerjanya?” batin Almira. Ia pun bergegas bangun dan membersihkan diri di kamar mandi. Selang beberapa menit menyelesaikan mandinya, Almira dikejutkan dengan Nico yang sudah duduk di tepi tempat tidur dengan memegang sebuah kotak miliknya. “Ish … kamu ngagetin aja! Sejak kapan kamu duduk di sana?” tanya Almira yang masih menggunakan handuk melilit di tubuhnya. Nico menatap Almira tanpa berkedip melihat wanita yang baru saja keluar dari kamar dengan menggunak
Almira duduk di kursi balkon teras kamarnya, ia menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan memegang sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati. Ia membuka kotak itu dan mengambil sebuah kotak kecil berisi sebuah cincin pemberian Benny, tunangannya. Sudah beberapa bulan ini ia tidak mendapatkan kabar dari Benny, tidak ada pesan, tidak ada email atau surat sekalipun. Tanpa sepengetahuan Almira semua pesan yang dikirimkan Benny padanya selama ini telah di sabotase oleh Nico, hingga komunikasi antara Benny dan Almira terputus dan hubungan keduanya berakhir. “Huft … Begitu sibuknya kah? Sampai kamu tidak bisa menghubungiku meski hanya sebentar atau mungkin sudah ada seseorang yang menggantikan ku di sana?” pikir Almira. “Jika aku tidak bisa menghubungimu lalu bagaimana aku bisa mengatakan yang sebenarnya padamu,” gerutunya. “Siapa yang sedang ingin kau hubungi? Dan apa yang sedang kamu pegang? Kotak apa itu?” tanya Nico tiba-tiba