Nayla meremas rambutnya, menarik helainya hingga kulit kepalanya perih. Rasanya seperti mengeluarkan rasa marah yang tidak bisa diluapkan ke siapa-siapa. Semua orang bicara, semua orang menebak, semua orang berkomentar. Sementara dia sendiri bahkan belum selesai menata kepingan dirinya yang hancur.Bibir Nayla bergetar. Ada rasa sakit yang samar muncul dari dalam tenggorokannya, tapi ia menelannya paksa. Menangis sekarang terasa sia-sia. Dunia tidak peduli pada air mata, hanya pada headline yang bisa dijual.“Sesuatu terjadi?” Suara Damian terdengar dari arah ruang tengah, tenang seperti biasa, seolah tak ada yang berubah. Seolah badai yang melanda Nayla hanya hujan gerimis di telinganya.Nayla menoleh cepat. “Iya. Dan ini karena kamu.”Damian berhenti beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Matanya menyipit, membaca bahasa tubuh Nayla sebelum berani bertanya lebih lanjut. Namun, tanpa menunggu detik terbuang, Nayla sudah langsung mengkonfrontasi.Dia berjalan ke meja, meraih ponseln
Dunia di luar jendelanya terus berjalan. Damian masih dengan serba tahunya. Duduk dengan secangkir kopi, membaca situasi, menyembunyikan kebenaran, mengendalikan keadaan dengan cara yang tak pernah transparan.Sementara itu, Nayla masih lebih banyak membisu dalam senyap yang mencekik. Dia tetap pada isi kepala dan emosi yang sama. Masih tetap dengan Nayla dengan ketidaktahuannya.Suara televisi yang menyala entah sejak kapan menampilkan potongan gambar yang sudah akrab. Wajah Nayla dan Nathan diabadikan dalam sudut-sudut tak ramah, disandingkan dengan spekulasi dan narasi yang tak pernah dia sepakati. Satu stasiun menyebut Nathan pengkhianat. Yang lain menyebut Nayla korban. Tak satu pun benar-benar menaruh empati, dan Nayla sudah terlalu lelah untuk peduli.Nayla duduk di lantai ruang tamu rumah sewanya. Punggungnya bersandar pada sofa, masih mengenakan kaus tidur tipis yang nyaris tak menghangatkan. Matanya masih sembab, wajahnya masih berantakan. Dari atas meja, Nayla akhirnya meny
-Adrian:-[Damian, di mana kamu?]Pesan itu muncul tak lama setelah Nayla kembali ke kamarnya. Belum sampai Damian mengetikkan pesan balasan, Adrian sudah terlebih dahulu menyambungkan panggilan suara.“Di mana kamu? Aku di rumahmu.”Damian mengangkat alisnya, lalu beranjak ke jendela dapur untuk menyalakan rokok. “Dan kamu masuk ke rumah seseorang tanpa izin?” Nada suaranya sengaja dibuat sedikit jenaka.“Bukan waktunya bercanda, Damian.” Suara Adrian terdengar gelisah. “Kamu di mana?”“Ada apa?” sahut Damian pendek. “Kalau kamu bertanya hanya untuk memeriksa apakah aku memata-matai adikmu, maka iya. Aku ada di dekatnya. Dan dia baik-baik saja.”“Aku bukan sedang ingin menjadi posesif, Damian.” Adrian terdengar menahan napas. “Ada yang perlu kita bicarakan. Ini tentang Nathan.”Damian tersenyum tipis. Dia tahu betul bagaimana Adrian. Cepat atau lambat, sahabatnya itu memang pasti akan mencium kecurigaan. Adrian nyaris sama sepertinya, seorang pengamat yang hebat.“Ada apa dengan Nath
Malam itu, Damian sama sekali tidak menyentuh pintu kamar Nayla. Tak sekalipun dia mengganggu sunyi yang melingkupi ruangan tempat wanita itu berlindung dari dunia. Dia berdiri di depan jendela ruang tengah, gelas kosong di tangannya, matanya tajam menatap kegelapan di balik tirai tipis.Tak ada satu pun dari gerakan Nathan yang luput dari pantauannya. Damian sudah tahu siapa orang-orang yang sekarang sedang mondar-mandir di persimpangan jalan, nomor-nomor yang dihubungi Nathan, bahkan kamera mana yang sengaja Nathan rusak demi membuat rencananya berlangsung tanpa jejak. Namun, semua itu dibiarkannya terjadi.Dengan satu perintah ke Andy, Damian memberi izin untuk membiarkan Nathan merasa unggul. Dia justru ingin Nathan merasa berhasil. Membiarkan musuh merayakan kemenangan semu, sebelum akhirnya dihancurkan tepat di titik tertingginya.Memasuki dini hari, telepon Damian bergetar pelan di atas meja. Dengan gerakan lambat, dia mengangkatnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.
“Aku akan menunggu di luar, Amore.”Tak ada reaksi. Tak ada gerakan yang menunjukkan keinginan untuk bicara. Nayla hanya membalikkan badan, lalu berjalan ke arah koridor kamar.Nayla tidak menolak, tapi juga tidak setuju. Membiarkan Damian tetap ada di atap yang sama dengannya bukan berarti dia benar-benar memperbolehkan, melainkan Nayla hanya tak punya tenaga untuk sekadar bicara. Keputusannya lahir bukan karena mengizinkan, tapi dari kelelahan yang sudah membatu.“Kalau kamu butuh sesuatu, aku di sini,” ucap Damian lagi.Untuk kesekian kalinya, Nayla tidak membuka mulutnya. Kedua rungu Damian hanya dapat mendengar suara pintu yang terbuka. Tak lama, tubuh Nayla mulai masuk ke dalam gelap. Dilihat dari ayunan tangannya, Nayla sudah berusaha menutup pintu kamarnya kembali rapat-rapat. Namun, energinya bahkan tidak cukup kuat. Kiranya dia juga mengetahui kalau pintu itu masih bercelah beberapa senti, tapi Nayla sudah terlalu enggan untuk peduli dan membenahi.Dari luar, Damian masih bi
Nayla berdiri menantang pria yang tingginya cukup jauh di atasnya. Dia tahu betul, selama ini, Damian pasti sudah sering berdiri di luar jendela ketika malam datang. Menyimak denyut lampu. Menghitung langkah. Merekam suara napas. Mengintai dalam diam.Kini, hari ini, di hari pertama dia resmi bebas dari ikatan pernikahan, Damian tak lagi berdiri di luar. Dia masuk dengan cara dan waktu yang dia pilih sendiri. Terang-terangan, seperti seseorang yang memang selalu merasa punya hak.“Amore.”Damian berucap selirih bisikan. Kali ini, tampak sekali kalau setiap langkahnya bukan datang untuk menerkam. Begitu dia berdiri tepat di hadapan Nayla, wajahnya langsung menunduk.“Aku tahu kamu butuh sendiri,” bisik Damian. “Tapi aku tidak bisa membi