Adrian menajamkan tatapan. Matanya menelusuri gerak tangan Damian yang baru saja meletakkan anting itu, lalu beralih ke wajah Nayla yang tampak membeku. Kerutan halus di antara alisnya mengeras.
“Nayla? Aku tahu itu memang punyamu. Itu koleksi lama, ‘kan?” Adrian bertanya seperti suara bisikan yang mencoba menahan bara.Nayla tidak menjawab. Tubuhnya tetap diam di tempat. Namun, tangannya terulur meraih sepasang anting dari Damian sebagai jawaban kalau itu memang miliknya.Adrian mengalihkan pandangan ke Damian. “Bagaimana bisa antingnya ada di tempatmu? Dia hampir tidak pernah melepas perhiasan, kecuali saat tidur.”Damian menatap Adrian, lalu perlahan menoleh pada Nayla. Tak ada senyum, tak ada emosi mencolok. Hanya tatapan senyap yang diam-diam menusuk langsung ke pusat keberanian Nayla.“Tanya saja pada adikmu,” jawab Damian yang sengaja masih mengunci pandang pada mata cokelat milik Nayla.Udara berubah tipis, seperti lembarDamian menelusuri beberapa kontak yang nyaris tidak pernah dia hubungi. Selama ini, dia sudah cukup hanya dengan mengandalkan orang-orang di jaringannya sendiri. Damian tahu, dirinya bukan orang kecil. Dia punya kekuatan, uang, dan nama besar yang membuat banyak musuh gentar. Dia bisa menyingkirkan lawan bisnis, bahkan menghapus nama dari peta Eropa. Namun, dunianya yang ilegal terlalu abstrak untuk bisa mengimbangi dunia pemerintahan Iran yang tentu saja sangat bertolak belakang. Alhasil, tentu saja dia membutuhkan bantuan dari pihak yang sejajar.Dari seluruh deret nama, dia menemukan satu yang menurutnya paling bisa diandalkan. Alessandro De Luca. Nama yang bukan sekadar catatan, tapi legenda gelap. Seorang pria Italia yang dijuluki pembunuh berdarah dingin. Jejaknya tak pernah tercatat secara resmi, tapi bayangannya selalu muncul di setiap operasi besar yang gagal diurai oleh pihak mana pun.Alessandro berpengalaman bukan hanya di dunia kriminal, tapi juga di lingkaran intelijen.
Diapit oleh kehangatan, Nayla akhirnya jatuh terpejam. Napasnya perlahan menjadi tenang, teratur, seakan ancaman para musuh kekasihnya itu tak pernah ada. Rambutnya terurai di bantal, dan sebagian menempel pada kulit Damian yang masih basah oleh keringat.Damian menatap wajah itu lama. Lembut sekaligus rapuh, berbanding terbalik dengan segala kegelapan yang menjerat dirinya. Dia mengusap pipi itu pelan, lalu menunduk mengecup kening Nayla sekali lagi.Kedua mata Damian memang kini bisa melihat wujud dari kedamaian. Namun, di dalam dadanya, badai justru kian menggila. Hatinya ingin menetap di sini, bersama wanita ini, dalam hangat yang sederhana. Namun, kepalanya menolak. Setiap cabang otak terus menghitung kemungkinan, ancaman, dan rencana.Damian memejamkan mata sebentar. Bukan untuk tidur, melainkan untuk menahan sesak yang semakin mendesak. Detik berdetak di telinganya, seolah jarum jam sedang mengejek. Tidur mustahil, tenang mustahil, menyerah pun mustahil.
“Damian.” Ucapan Nayla beradu padu dengan desah panjang.“Hm?”“Lagi.”Sambil sedikit melepas senyum tipis, jemari tangan Damian bergerak dengan semakin rakus. Tarikan napas Nayla semakin cepat. Dadanya naik-turun. Matanya setengah terpejam dengan racauan lirih yang lolos di sela bibirnya. Damian menatap wajah itu sejenak, lalu menunduk untuk meraih mulutnya lagi.Ketika tubuh mereka kembali menyatu, Damian menahan napas panjang. Erangan tertahan lolos dari kerongkongannya. Dia menutup mata, lalu menenggelamkan wajahnya di leher Nayla. Geraknya masih dibuat lambat dan terukur. Dia ingin Nayla merasakan setiap tarikan, setiap dorongan, setiap kepemilikan yang dia tanamkan.“Amore,” ucapnya serak. “Kamu akan selamanya denganku.”Nayla melingkarkan lengannya di leher Damian untuk menarik tubuh pria itu agar lebih dekat. Bibirnya gemetar saat berbisik, “Aku tahu. Aku tahu, Damian.
Kedua kaki mereka terayun menyusuri lorong villa. Damian menuntun di depan dengan langkah yang sengaja dibuat pelan. Gerakannya sama sekali tidak tampak terburu-buru, seolah sedang menakar detik sembari menenangkan denyut di kepalanya sendiri.Jemari mereka terus bertaut. Bahkan, ketika tiba di depan kamar, Damian tetap menggenggam tangan Nayla dengan satu tangan, sementara tangan yang lain bertugas membuka handle.Begitu pintu kembali ditutup, suasana seketika berubah. Napas mereka berdua entah mengapa berembus dengan ritme yang lebih cepat. Namun, alih-alih langsung mendekap tubuh Nayla, Damian justru menatapnya terlebih dulu. Sorot gelapnya menyelam dengan cukup dalam, juga mengunci pandang dengan cukup lama. Bukan untuk menguji kesabaran, tapi untuk sekadar memastikan kalau wanita di hadapannya masihlah Nayla yang dinding pertahanannya akan runtuh hanya perantara tatapan mata.“Amore,” bisiknya dengan suara rendah.Nayla belum sempat menjawab ketika Damian tiba-tiba mencondongkan
“Damian.”Suara Nayla terdengar dari balik pintu. Meski sedikit memekik, tapi nadanya tetap lembut. Beriringan dengan itu, ketukan kecil ikut menyusul dengan ritme yang teratur. Di satu sisi, Nayla tetap ingin menilik Damian yang sejak tadi mengurung diri di dalam, dan di sisi lain, dia juga tak ingin sepenuhnya merusak dinding tenang yang Damian bangun.“Apa aku mengganggu?” tanya Nayla kemudian.Damian terkekeh, setengah tertawa. “Tidak, Amore. Tunggu sebentar.”Damian cepat-cepat mematikan rokok yang masih menyala di tepian asbak. Bara merah seketika padam dengan desis pendek. Saat dia bangkit dari kursi, jejak asap pekat masih menempel di udara, menusuk hidungnya sendiri.Sambil melangkah mendekati sumber suara, Damian menarik napas panjang. Tangan kiri sedikit memijat pinggang, sedangkan tangan kanan mengibas di udara. Kiranya, dia tak hanya berniat mengibas sisa kepulan putih, tapi sekaligus ingin mengibas kalut di kepalanya.Sebelum membuka pintu, jemarinya menyempatkan diri un
Damian menyandarkan tubuh kursi begitu panggilan berhenti. Jarinya tak henti mengetuk perlahan permukaan meja. Sorot matanya menajam, seakan isi kepala sedang menghitung detik, angka, juga merapal beberapa nama.Sunyi menekan ruangan. Hanya ada bunyi detik jam yang terdengar pelan tapi entah mengapa justru menegangkan. Di tengah keterdiamannya, getar telepon dari nama lain mendadak memecah udara.“Ya?” ucap Damian singkat.Laporan masuk dari salah satu penjaga. Suara di seberang terdengar disiplin dan teratur.“Signore, area villa aman. Madam masih berada di ruang tengah dengan televisi menyala. Tidak ada aktivitas mencurigakan dari pihak lawan. Pos dua ratus meter juga bersih. Rotasi tetap berjalan, tidak ada indikasi lokasi ini terdeteksi.”Damian terdiam sejenak, mendengarkan setiap kata. Napasnya sedikit berembus lega.“Perintahkan tim yang lain untuk membuat tanda-tanda palsu tentang keberadaanku di area Kintamani. Buat pihak Jonathan berpikir aku ada di sana,” titah Damian kemud