Dering telepon terdengar beriringan dengan suara erangan kesakitan dari Nathan. Saat Damian meraih ponselnya dari saku celana, nama Nayla muncul di layar. Sebelum mengangkat tombol hijau, Damian terlebih dahulu membungkam mulut Nathan agar tidak sedikit pun mengeluarkan suara.“Halo?”“Kamu di mana?” tanya Nayla.“Tak jauh dari rumahmu. Kenapa kamu meneleponku?”“Aku perlu bicara.”“Lain kali. Jangan tunggu aku malam ini.”Hening beberapa detik. “Damian, aku—”Sambungan terputus. Dia tidak membiarkan kalimat itu selesai.Belum sempat ponselnya dia letakkan, layar kembali menyala. Kali ini nama Adrian.Damian menghela napas, tapi bukannya langsung mengangkat, dia melangkah kembali ke arah Nathan.Pria itu masih tergeletak di lantai. Tubuhnya menggeliat lemah, tak lagi punya tenaga. Dalam diam, darah masih terus merembes dari celah luka yang menganga.Damian sedikit menunduk. Begitu tatapan mereka bertemu, dia menempelkan telapak sepatunya di bahu Nathan. Tekanannya ringan, tapi cukup u
Kulit wajah Nathan sudah memucat di bawah cahaya lampu putih dingin. Matanya merah dan bengkak. Urat-urat di leher menonjol setiap kali dia berusaha menarik napas. Dilihat sekilas, pergelangan tangannya ternyata sudah lebam membiru.“Aku akan bilang sesuatu, Nathan,” ujar Damian perlahan. “Ini bukan soal balas dendam saja. Ini soal memastikan kamu tidak pernah lagi, dengan cara apa pun, menyentuh atau bahkan memikirkan Nayla. Karena setiap rencana kotor yang kamu punya tentang dia akan berakhir di sini. Di ruangan ini. Bersamaku.”Nathan menatap balik. Bibirnya sedikit terangkat ke satu sisi. Bukan senyum, melainkan sisa ejekan yang terselip di antara rasa sakit. Sorotnya menyiratkan benci yang begitu murni, seolah keberadaan Damian adalah penghinaan baginya. Tidak ada kata-kata yang lolos dari bibirnya, tapi itu cukup bagi Damian untuk menangkap pesan yang tersimpan di balik tatapan itu.Dan semua itu membuat Damian muak.“Seharusnya kamu paham kalau kamu salah memilih lawan, Nathan,
Rumah dengan dinding kaca super besar, bertingkat tinggi, dan cahaya lampu keemasan sudah menampakkan kemewahannya. Damian turun lebih dulu, disusul Andy yang berjalan di belakangnya sambil menyeret tubuh Nathan yang terikat. Tangga tersembunyi di ujung ruang tamu membawa mereka ke basement. Tidak gelap, tapi dingin luar biasa.Salah satu ruang yang mereka masuki, secara kasat mata, hanyalah sebuah gym pribadi. Bagi orang luar, ruang itu akan terlihat biasa. Alat olah raga lengkap dengan rak barbel, treadmill, punching bag, bangku beban, dan cermin besar menutupi dinding. Namun, di tangan Damian, benda-benda itu punya fungsi kedua yang tak pernah diiklankan dalam katalog olahraga. “Tinggalkan kami berdua,” ucap Damian kepada Andy.Nathan didudukkan pada kursi logam dengan pergelangan tangan yang diborgol ke belakang. Lampu sorot di atasnya persis tertuju ke tubuh Nathan, membuat bayangannya jatuh di lantai matras. Keringat di pelipisnya berjatuhan, meski ruangan tidak panas.Damian t
Nayla masih berdiri di balik pintu. Napasnya nyaris tak terdengar. Namun, entah berapa jumlah mata kedua pria itu, mereka begitu cepat menyadari kalau ada telinga lain yang menangkap pembicaraan mereka. “Nayla?” Suara Damian rendah, tapi cukup jelas.Denyut di pelipis Nayla makin terasa. Tak ada waktu untuk menimbang lagi, dan terus bersembunyi bukanlah pilihan. Tanpa sepatah kata, dia meraih gagang pintu, menariknya hingga terbuka lebar, lalu melangkah keluar.“Apa maksud kalian?” tanya Nayla datar, tapi matanya menusuk.“Na–Nayla. Ini bukan seperti yang kamu pikir.”Adrian sempat tergagap. Wajahnya pucat. Berbanding terbalik dengan Damian yang hanya menarik sudut bibir, lalu memasukkan kedua tangannya ke saku celana sambil bersandar santai pada dinding.“Lalu seperti apa?” Nayla menjawab sambil melangkah mendekat. “Kalian membicarakan kematian, baju Damian berdarah, dan sekarang kalian pura-pura tidak ada yang salah?”Damian mengayunkan kaki satu langkah. “Kamu sedang mencoba menyus
Nayla bukan tipe yang terlalu memusingkan urusan orang lain. Bahkan, untuk hal-hal yang menyangkut Damian, dia sering memilih untuk pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak tahu. Sebagian karena malas berurusan, sebagian lagi karena dia tahu, atau setidaknya merasa, bahwa pria itu memang menyimpan terlalu banyak rahasia.Sejak mereka masih tinggal di Milan, Damian selalu seperti itu. Dia sering muncul dengan luka yang tak pernah dijelaskan, menghilang tanpa kabar selama berminggu-minggu, bahkan bulan, lalu kembali dengan penampilan yang berbeda. Entah dengan memangkas habis rambutnya, atau sekadar mewarnainya dengan warna pirang atau kemerahan serupa pria Irlandia.Namun, kali ini berbeda. Sejak melihat noda merah di kemejanya, rasa ingin tahu itu tumbuh. Bukan pelan-pelan, tapi seperti bara yang langsung tersulut. Ada sesuatu yang membuat Nayla merasa dia perlu tahu. Bukan karena penasaran semata, melainkan karena firasat bahwa jawabannya akan terpaut dengan dirirnya.“Kamu masih men
Gelisah.Otak Nayla berdesir, menolak untuk tenang. Dia mencoba menukar makna warna merah itu dengan apapun yang lebih masuk akal. Tumpahan saus, kopi, atau mungkin cat. Namun, tidak. Polanya, warnanya, bahkan cara serat kain menyerapnya, Nayla bisa memastikan kalau itu memang darah.Pikiran Nayla berisik. Kemungkinan demi kemungkinan berdesakan, saling bertubrukan. Apakah darah itu milik Damian sendiri? Sepertinya bukan. Kalau miliknya, Damian pasti akan tahu. Lalu milik siapa? Apa yang baru saja Damian lalui sebelum datang ke sini? Dan kenapa? Kenapa selalu ada sesuatu yang disembunyikan di balik tatapan dan perilakunya yang selalu tenang?Nayla memalingkan wajah sepersekian detik, cukup untuk mengatur ulang ekspresinya. Saat dia kembali menatap, Damian sudah menangkap kedua manik miliknya. Tatapan pria itu tidak bertanya, tidak pula menantang. Namun, sepertinya dia mulai sadar tentang alasan Nayla melihatnya dengan cara yang berbeda.“Bukankah kamu lebih baik tidur?” ucap Damian tib