Share

4. Love Confession

"Jalang, berhenti membuat drama! Lunasi hutangmu. Jangan sok amnesia, atau kau mau kubuat benar-benar amnesia?!"

Salah seorang dari mereka meletakkan kakinya di kepalaku. "Kuberi waktu tujuh hari lagi dari sekarang. Kalau sampai hari itu kau tak mengembalikannya-" Pria itu tak melanjutkan kalimatnya, tetapi tangannya membuat gestur pistol dan menembakan pistol itu ke kepalaku. "Mati saja. Organ dalam sialanmu seharusnya cukup mengganti uang yang kau pinjam!"

"Jangan kabur! Kau tak bisa bersembunyi! Kami akan mengejarmu sampai mati!" gertak pria yang satunya lagi.

Kemudian mereka pergi setelah menendang pot bunga berkali-kali, menghancurkan pagar apartemen, dan melempariku dengan tanaman yang sudah mati. Aku termenung. Tak sanggup bangkit. Aku tak menyangka, juga kebingungan. Aku hanya duduk diam dengan kepala berdenyut yang terasa seperti mau pecah.

"Elina."

Sampai kudengar seseorang memanggilku dari kejauhan. Aku mendongak. Azumaya berjalan dari rumah seberang dengan hati-hati. Dia melirik ke kanan dan ke kiri dengan penuh waspada.

"Kau tak apa-apa?" tanyanya sambil mengulurkan tangannya padaku.

Dari pada menjawabnya, aku memberi Azumaya pertanyaan yang lain. "Kau tau kemana Sherry pergi? Kau pernah melihatnya?"

Azumaya menghindari tatapanku.

Melihat reaksinya membuatku frustasi. Tanpa sadar aku mengguncang-guncang lengannya. "Kau tau dimana dia? Tolong beritahu aku," kejarku.

"Sherry sudah tak tinggal di sini."

Cengkramanku di lengan Azumaya melemas. Tak bisa seperti ini. Aku tak mungkin sanggup melunasi hutang sebanyak ini dalam waktu singkat. Bagaimanapun, Sherry juga harus bertanggung jawab. Aku mengusap wajahku yang basah dengan kasar.

Melihat air mataku, Azumaya menggenggam telapak tanganku cepat. "Elina, kau harus menenangkan dirimu dulu. Kita bicara setelah kau tenang."

Aku menarik napaku dalam-dalam. Azumaya benar. Tak ada gunanya bicara denganku dalam keadaan runyam. Aku tak akan bisa berpikir jernih dan semuanya akan semakin berantakan. Aku tak boleh mengacau dan membuat Azumaya berbalik menghindariku. Saat ini, mungkin hanya dia satu-satunya petunjuk yang bisa membawaku pada Sherry.

.....

Apartemen Azumaya tak pernah berubah. Pria itu menyukai hal-hal yang minimalis. Ruang tamunya kecil, berisi perabotan kayu dan bonsai mini. Kebiasaan pemiliknya juga tak pernah berubah, selalu menghidangkan teh hijau dengan paduan cemilan manis yang disebut Wagashi. Aku terduduk di sofa tugal. Di hadapanku, Si Pemuda monolid berambut hitam mencuri pandang.

"Maaf," uajrnya pelan.

Aku mengeratkan peganganku pada cangkir teh. Berita buruk mungkin akan mengejutkanku sebentar lagi. "Untuk apa?" tanyaku.

"Sebenarnya aku mendengar keributan kalian, tapi aku tak berani mendekat. Sebagai pria, aku pengecut," sesalnya.

"Keributan barusan, atau-"

"Dua-duanya. Keributanmu dengan Sherry seminggu yang lalu dan keributanmu dengan penagih utang itu. Maafkan aku, Elina."

Aku tersenyum kecut. "Tak apa-apa. Aku mengerti. Bahaya kalau kau mendekat," balasku.

Dia mengangguk tak nyaman. "Selama ini kau kemana saja? Sherry pindah empat hari lalu setelah mengambil deposit bangunan. Sejak saat itu, rentenir mulai mendatangi apartemen kalian."

Aku memperhatikan cairan hijau hangat yang begitu harum di hadapanku. "Kami bertengkar. Kami sudah berakhir," lirihku.

"Aku turut prihatin mendengarnya. Padahal kalian sudah seperti saudara kandung." Azumaya melirik koper yang dia letakan di sampingku. Aku jadi bertanya-tanya, koper siapa itu. "Sherry tak menjelaskan apapun tentang ketidakhadiranmu. Dia juga tak mengatakan apapun selain menitipkan koper itu sebelum kepergiannya. Aku beberapa kali menghubungimu, tapi kau tak pernah mau mengangkatnya."

Aku meletakan cangkir di atas meja, lalu menarik koper di ujung ruangan agar dekat denganku. "Sherry hanya menitipkan ini untukku, tak ada yang lain?"

Azumaya mengangguk.

Aku meremas telapak tanganku dengan tak nyaman di bawah meja. "Kebetulan aku tak membawa ponsel. Mungkin sekarang ponsel itu ada di dalam koper. Maaf, aku jadi merepotkanmu."

Azumaya meringis. Tangannya bergerak-gerak gelisah di udara. "Tidak, tidak merepotkan sama sekali. Aku hanya penasaran mengapa Sherry tak menyerahkan koper itu langsung padamu. Sekarang aku tau jawabannya, jadi tak apa-apa."

"Oke ...."

Azumaya menghela napas panjang. "Menjadi pendatang di negeri orang memang sulit. Selain menghadapi culture shock, rasisme dan homesick, kita juga harus menghadapi realita kalau orang terdekat kita tak selalu bisa dipercaya. Kita bisa ditipu dan dipecundangi kapan saja. Setiap saat, selalu ada orang-orang yang siap menusuk kita dari belakang."

Azumaya benar. Ironisnya aku baru menyadarinya sekarang. Aku adalah orang yang sangat mudah ditipu. Itu membuatku mendengus, menahan tawa, ingin sekali menertawai kebodohan diriku sendiri.

Di saat sibuk dengan pikiranku sendiri, Azumaya meraih telapak tanganku lagi. "Aku tau ini akan terdengar seperti bualan bagimu. Aku bahkan tak bisa membantumu secara finansial. Aku takut menghadapi rentenir itu. Meskipun begitu, kuharap kau tak sungkan padaku. Kita memang minoritas, tapi kita masih punya harapan untuk bertahan. Mulai sekarang kita harus saling menguatkan. Sejak dulu, aku selalu mengagumimu. Aku ingin menjadi dekat denganmu. Saat kau pergi, aku begitu khawatir dan terus memikirkanmu," katanya diplomatis.

Aku terdiam, kebingungan. Ini aneh. Yang barusan itu, apakah kalimat penyemangat, atau pernyataan cinta?

Azumaya adalah pria yang hangat. Meskipun penakut, dia selalu berusaha membantu orang lain sebisanya. Sayangnya, terkadang dia terlalu optimis dan positif. Orang yang seperti itu tak pernah cocok denganku. Dia mengakui dirinya penakut dan tak bisa membantuku, tapi dia mengagumimu, bukankah itu kedengaran sangat egois?

Aku melepaskan genggaman tangannya. "Terimakasih, tapi maaf, aku tak ingin melibatkanmu dalam bahaya. Lebih baik setelah ini, kau berhenti memikirkanku dan menjalani hidupmu kembali. Kau berhak mendapatkan gadis yang lebih baik dariku." Aku tak mau memberinya harapan semu. Lagipula sejak pertama kali mengenalnya, aku tak pernah memiliki ketertarikan khusus kepadanya.

Cinta memang bisa datang karena terbiasa. Namun, aku tak mau memberi ruang untuk Azumaya membuatku terbiasa. Untukku, yang terpenting saat ini adalah menemukan Sherry dan membayar hutang. Kalaupun ada pria yang menginginkanku, dia haruslah pria yang tak akan lari ketika aku membutuhkan bantuan.

Seseorang yang menarik tanganku dan tak melepaskannya saat aku dalam kesulitan, juga berusaha keras membantuku sambil meyakinkanku kalau kami mampu melewatinya bersama. Pria seperti itu hanya akan kudapati di dalam mimpiku saja. Aku tak akan mendapatinya di dunia nyata. Aku cukup tau diri. Pasangan adalah cerminan hidup. Aku mendambakan pria yang tangguh, sedangkan diriku saja begitu lemah menghadapi dunia.

.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status