"Jalang, berhenti membuat drama! Lunasi hutangmu. Jangan sok amnesia, atau kau mau kubuat benar-benar amnesia?!"
Salah seorang dari mereka meletakkan kakinya di kepalaku. "Kuberi waktu tujuh hari lagi dari sekarang. Kalau sampai hari itu kau tak mengembalikannya-" Pria itu tak melanjutkan kalimatnya, tetapi tangannya membuat gestur pistol dan menembakan pistol itu ke kepalaku. "Mati saja. Organ dalam sialanmu seharusnya cukup mengganti uang yang kau pinjam!""Jangan kabur! Kau tak bisa bersembunyi! Kami akan mengejarmu sampai mati!" gertak pria yang satunya lagi.Kemudian mereka pergi setelah menendang pot bunga berkali-kali, menghancurkan pagar apartemen, dan melempariku dengan tanaman yang sudah mati. Aku termenung. Tak sanggup bangkit. Aku tak menyangka, juga kebingungan. Aku hanya duduk diam dengan kepala berdenyut yang terasa seperti mau pecah."Elina."Sampai kudengar seseorang memanggilku dari kejauhan. Aku mendongak. Azumaya berjalan dari rumah seberang dengan hati-hati. Dia melirik ke kanan dan ke kiri dengan penuh waspada."Kau tak apa-apa?" tanyanya sambil mengulurkan tangannya padaku.Dari pada menjawabnya, aku memberi Azumaya pertanyaan yang lain. "Kau tau kemana Sherry pergi? Kau pernah melihatnya?"Azumaya menghindari tatapanku.Melihat reaksinya membuatku frustasi. Tanpa sadar aku mengguncang-guncang lengannya. "Kau tau dimana dia? Tolong beritahu aku," kejarku."Sherry sudah tak tinggal di sini."Cengkramanku di lengan Azumaya melemas. Tak bisa seperti ini. Aku tak mungkin sanggup melunasi hutang sebanyak ini dalam waktu singkat. Bagaimanapun, Sherry juga harus bertanggung jawab. Aku mengusap wajahku yang basah dengan kasar.Melihat air mataku, Azumaya menggenggam telapak tanganku cepat. "Elina, kau harus menenangkan dirimu dulu. Kita bicara setelah kau tenang."Aku menarik napaku dalam-dalam. Azumaya benar. Tak ada gunanya bicara denganku dalam keadaan runyam. Aku tak akan bisa berpikir jernih dan semuanya akan semakin berantakan. Aku tak boleh mengacau dan membuat Azumaya berbalik menghindariku. Saat ini, mungkin hanya dia satu-satunya petunjuk yang bisa membawaku pada Sherry......Apartemen Azumaya tak pernah berubah. Pria itu menyukai hal-hal yang minimalis. Ruang tamunya kecil, berisi perabotan kayu dan bonsai mini. Kebiasaan pemiliknya juga tak pernah berubah, selalu menghidangkan teh hijau dengan paduan cemilan manis yang disebut Wagashi. Aku terduduk di sofa tugal. Di hadapanku, Si Pemuda monolid berambut hitam mencuri pandang."Maaf," uajrnya pelan.Aku mengeratkan peganganku pada cangkir teh. Berita buruk mungkin akan mengejutkanku sebentar lagi. "Untuk apa?" tanyaku."Sebenarnya aku mendengar keributan kalian, tapi aku tak berani mendekat. Sebagai pria, aku pengecut," sesalnya."Keributan barusan, atau-""Dua-duanya. Keributanmu dengan Sherry seminggu yang lalu dan keributanmu dengan penagih utang itu. Maafkan aku, Elina."Aku tersenyum kecut. "Tak apa-apa. Aku mengerti. Bahaya kalau kau mendekat," balasku.Dia mengangguk tak nyaman. "Selama ini kau kemana saja? Sherry pindah empat hari lalu setelah mengambil deposit bangunan. Sejak saat itu, rentenir mulai mendatangi apartemen kalian."Aku memperhatikan cairan hijau hangat yang begitu harum di hadapanku. "Kami bertengkar. Kami sudah berakhir," lirihku."Aku turut prihatin mendengarnya. Padahal kalian sudah seperti saudara kandung." Azumaya melirik koper yang dia letakan di sampingku. Aku jadi bertanya-tanya, koper siapa itu. "Sherry tak menjelaskan apapun tentang ketidakhadiranmu. Dia juga tak mengatakan apapun selain menitipkan koper itu sebelum kepergiannya. Aku beberapa kali menghubungimu, tapi kau tak pernah mau mengangkatnya."Aku meletakan cangkir di atas meja, lalu menarik koper di ujung ruangan agar dekat denganku. "Sherry hanya menitipkan ini untukku, tak ada yang lain?"Azumaya mengangguk.Aku meremas telapak tanganku dengan tak nyaman di bawah meja. "Kebetulan aku tak membawa ponsel. Mungkin sekarang ponsel itu ada di dalam koper. Maaf, aku jadi merepotkanmu."Azumaya meringis. Tangannya bergerak-gerak gelisah di udara. "Tidak, tidak merepotkan sama sekali. Aku hanya penasaran mengapa Sherry tak menyerahkan koper itu langsung padamu. Sekarang aku tau jawabannya, jadi tak apa-apa.""Oke ...."Azumaya menghela napas panjang. "Menjadi pendatang di negeri orang memang sulit. Selain menghadapi culture shock, rasisme dan homesick, kita juga harus menghadapi realita kalau orang terdekat kita tak selalu bisa dipercaya. Kita bisa ditipu dan dipecundangi kapan saja. Setiap saat, selalu ada orang-orang yang siap menusuk kita dari belakang."Azumaya benar. Ironisnya aku baru menyadarinya sekarang. Aku adalah orang yang sangat mudah ditipu. Itu membuatku mendengus, menahan tawa, ingin sekali menertawai kebodohan diriku sendiri.Di saat sibuk dengan pikiranku sendiri, Azumaya meraih telapak tanganku lagi. "Aku tau ini akan terdengar seperti bualan bagimu. Aku bahkan tak bisa membantumu secara finansial. Aku takut menghadapi rentenir itu. Meskipun begitu, kuharap kau tak sungkan padaku. Kita memang minoritas, tapi kita masih punya harapan untuk bertahan. Mulai sekarang kita harus saling menguatkan. Sejak dulu, aku selalu mengagumimu. Aku ingin menjadi dekat denganmu. Saat kau pergi, aku begitu khawatir dan terus memikirkanmu," katanya diplomatis.Aku terdiam, kebingungan. Ini aneh. Yang barusan itu, apakah kalimat penyemangat, atau pernyataan cinta?Azumaya adalah pria yang hangat. Meskipun penakut, dia selalu berusaha membantu orang lain sebisanya. Sayangnya, terkadang dia terlalu optimis dan positif. Orang yang seperti itu tak pernah cocok denganku. Dia mengakui dirinya penakut dan tak bisa membantuku, tapi dia mengagumimu, bukankah itu kedengaran sangat egois?Aku melepaskan genggaman tangannya. "Terimakasih, tapi maaf, aku tak ingin melibatkanmu dalam bahaya. Lebih baik setelah ini, kau berhenti memikirkanku dan menjalani hidupmu kembali. Kau berhak mendapatkan gadis yang lebih baik dariku." Aku tak mau memberinya harapan semu. Lagipula sejak pertama kali mengenalnya, aku tak pernah memiliki ketertarikan khusus kepadanya.Cinta memang bisa datang karena terbiasa. Namun, aku tak mau memberi ruang untuk Azumaya membuatku terbiasa. Untukku, yang terpenting saat ini adalah menemukan Sherry dan membayar hutang. Kalaupun ada pria yang menginginkanku, dia haruslah pria yang tak akan lari ketika aku membutuhkan bantuan.Seseorang yang menarik tanganku dan tak melepaskannya saat aku dalam kesulitan, juga berusaha keras membantuku sambil meyakinkanku kalau kami mampu melewatinya bersama. Pria seperti itu hanya akan kudapati di dalam mimpiku saja. Aku tak akan mendapatinya di dunia nyata. Aku cukup tau diri. Pasangan adalah cerminan hidup. Aku mendambakan pria yang tangguh, sedangkan diriku saja begitu lemah menghadapi dunia......Aku tak bisa mengontrol ekspresiku. Aku tak bisa menahannya agar terlihat biasa saja. Apa yang ada di hadapanku ini adalah hal yang mengerikan. Rasa takut mulai menjalar ketika wanita di dalam video itu mulai memohon pengampunan di antara tangisnya.Tanganku refleks bergerak sendiri menutup layar laptop. Napasku memburu. Sedetik kemudian aku menyesalinya. Aku lupa pada apa yang William katakan sebelumnya."A-aku, maaf, Mr. adler."Helaan napas terdengar panjang. "Virgin di umur 25. Kau masuk industri ini tanpa tau apapun." Dia benar. Begitulah faktanya. Aku tak akan menyangkal. Dia mengambil jeda panjang sebelum melanjutkan. "Adegan seperti itu sangat banyak di dalam skrip, tapi kau tak akan melakukannya. Bersyukurlah karena kau memiliki stunt performer." William melepas peganganku pada laptop, dan menggenggam erat tanganku. "Kau dingin sekali." Suaranya terasa dekat di telingaku. Itu membuatku sungkan dan ingin bergeser, tetapi aku terapit di antara tubuhnya dan ujung sofa. Jadi ya
"Carla," panggilku sekali lagi. Aku berusaha menangkap mata Carla, tetapi dia menghindari tatapanku. Ketika aku ingin menggapai lengannya, dia lebih dulu menggapai lenganku. Genggamannya erat sekali sampai jari-jarinya memutih."Apa kau menyukainya?"Siapa yang Carla maksud? Apakah William? "Kau tak boleh menyukainya!" "Carla ...." Meskipun dia membuang wajahnya, aku masih bisa melihat sisinya dengan jelas. Rasanya tak tega saat melihatnya mulai berkaca-kaca. Sedikit banyak aku mengerti apa yang dia rasakan. Aku bahkan berharap dihindarkan dari merasakannya. Rasa sakit dari terpaksa berbagi pasangan dengan orang lain, juga harus melihat pasangan melakukan hubungan intim dengan orang lain, merupakan pusaran sakit tanpa henti. Carla pasti merasa ketakutan setiap saat. Kekasihnya bisa kapan saja dirampas dari sisinya.Aku mengambil satu langkah maju. "Apakah yang kau maksud adalah William? Kau tenang saja, dia bukan tipeku." William benar-benar bukan tipeku. Sama sekali bukan tipeku.
....."Terimakasih." "Sama-sama, Sir." Baru saja aku berinisiatif menekan tombol masuk saat kami tiba di depan lift. Dengan tangan yang penuh kantong berisi hamburger, William pasti kesulitan. Tak kusangka William akan berterimakasih padaku setelahnya. Seperti anjing yang baru dipuji setelah berhasil melakukan teknik baru, aku merasa senang."Pagi Will, El!" Aku menoleh saat mendengar suara Carla dari kejauhan. Kupencet tombol lift agar lift tak segera menutup dan menunggunya. Wanita itu berjalan cepat sambil menenteng mantelnya. Ketika dia tiba di hadapan kami, tungkainya langsung berjinjit dan lengannya meraih leher William. Mataku melebar, napasku tertahan. "Terimakasih burgernya, Will. Punyaku dengan ekstra acar, 'kan?" "Periksa sendiri. Jangan berteriak. Ini masih pagi." Baru saja Carla mengecup pipi William. Meskipun cepat, tetapi persis di hadapanku. Dan aku, merasa sedikit tak nyaman. Entah mengapa, aku merasa tak rela......"Baringkan tubuhmu, Will," intruksi Clive. W
"Perhatikan kalimatmu."Para pemuda itu mundur ketika William maju selangkah. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya yang berdiri paling depan. "Apa kau gila, Matt?" Yang paling depan berdecak. "Ayolah, dia hanya pria tua. Kalian takut padanya?!" "Lihat tatonya, Matt. Dia baru saja menghabisi Jese. Sekarang dia akan menghabisi kita." Aku mendengar jelas bisik-bisik dari para pemuda itu. Inginku melerai mereka dengan cara menarik lengan William menjauh, tetapi aku juga tak memiliki keberanian menahan pria itu saat tatapan menusuknya tak sengaja terarah kepadaku.William mengambil bola yang masih memantul rendah di trotoar. Ekspresinya kaku. Aku menatap pria itu horor. Jangan sampai dia berbalik melakukan kekerasan karena itu akan menjadi bumerang baginya. "Mr. Adler, sudah cukup.""Diam di sana dan belajarlah cara menghadapi para pecundang itu. Semakin kau lemah, semakin mereka akan menindasmu." William mendesis padaku.Aku membeku.William mengembalikan bola itu dengan lem
.....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku
"Suka?" tanya William. Aku mengangguk. "Terimakasih." Sebenarnya aku tak begitu menyukai makanan, atau minuman yang terlalu manis, juga terlalu asam, tetapi tak mungkin aku menggelengkan kepalaku sekarang. Aku sedang menumpang di mobilnya dan aku harus menghormatinya."Ambil saja kalau kau mau," tawarnya.Aku menggeleng. "Tidak. Ini punya Carla." "Dia tak akan keberatan." "Tidak, terimakasih, Sir." Dia mengedikan bahunya. "Oke." Carla, ya? Kalau diingat-ingat lagi, sejak awal William dan Carla memang terlihat dekat. Mereka saling memanggil dengan nama kecil. Mereka berasal dari kota yang sama dan juga bekerja di bidang yang sama pula. Dari bagaimana Carla bercerita tentang William dengan penuh kebanggaan, aku jadi menebak-nebak kedekatan di antara mereka. Lalu permen stroberi di pangkuanku ini, tidakkah itu mengindikasikan suatu hubungan yang spesial? Mungkinkah mereka sepasang kekasih? Kalaupun itu mungkin, ini tak ada hubungannya denganku."Apa kau selalu seperti ini?" "Sepert