Share

3. Good Girl Go To Hell

Gadis-gadis ini adalah kumpulan orang gila. Begitu pikirku.

"Gurls, percayalah padaku. Ini aman. Aku sudah mencobanya. Lihat kaos Dior ini. Kalian pikir ini palsu? Aku mendapatkannya dari upah video yang kubuat."

Aku meletakan makanan secepat yang aku bisa. Benar-benar. Apakah urat malu mereka sudah putus? Mereka yang mengumbar privasi, tapi aku yang merasa malu di sini.

"Apakah ada lagi yang bisa saya bantu, Nona?" tanyaku sambil mengangkat nampan.

"Pelayan, jauhkan minuman itu dari tasku. Kau tak akan mampu mengganti rugi kalau sampai minuman itu mengotorinya."

Ditegur seperti itu, aku segera memindahkan posisi minumannya. "Maafkan saya. Ada lagi, Nona?"

"Tidak. Pergilah. Kami akan memanggilmu kalau butuh sesuatu. Ini tipsnya. Belilah kemeja baru. Penampilanmu di balik apron itu menyedihkan." Salah seorang dari mereka, yang berkuku lentik berwarna pink barbie mengusirku dengan kibasan tangan.

Aku berusaha mengulas senyum tipis. "Jangan sungkan memanggil saya kembali. Selamat menikmati hidangannya." Aku masih harus memperlakukan mereka dengan baik.

Di perjalanan menuju pantry, aku menghala napas panjang.

Kuketahui dunia ini terbagi menjadi dua titik yang berlawanan. Hitam dan putih, baik dan buruk, kanan dan kiri. Kalau sebelumnya kukatakan menjadi pelayan memberiku keuntungan, maka menjadi pelayan juga memberiku kerugian.

Kerugian yang paling sering kutemui adalah bagaimana aku harus membuang harga diriku di hadapan pelanggan dan harus menyembunyikan perasaanku dibalik topeng penuh senyuman. Pelanggan adalah raja dan aku harus melayani mereka mereka. Tak jarang kutemui pelanggan dengan gaya seperti gadis-gadis di meja nomor tiga. Oh, itu belum seberapa kalau dibandingkan dengan pria tua yang mata keranjang. Meskipun aku ingin menjahit mulut mereka, atau pun mencolok mata mereka, aku tak bisa melakukannya. Itulah yang disebut konvensi kasta.

Aku harus merendah sampai hampir sejajar dengan tanah kalau dihadapkan oleh orang yang berkuasa. Aku harus membiarkan sepatu mengkilat mereka menginjak-injak tubuhku. Bukan karena aku tak sanggup melawan, tetapi karena aku tak boleh melawan. Melawan berarti aku akan kehilangan pekerjaan. Bukankah setiap manusia tak akan malu mengemis saat mereka benar-benar membutuhkan? Seharusnya aku juga tak malu, tetapi aku masih merasa malu. Harga diriku terus mengejek ketika aku kalah dengan keadaan.

.....

Seminggu sudah kulewati dengan baik di restoran. Karyawan yang kugantikan telah aktif kembali. Namun, setelah melihat kinerjaku, Lucy memutuskan untuk memperpanjang kontrakku selama tiga bulan ke depan.

Aku baru saja menerima gajiku selama seminggu bekerja di sini. Aku juga menerima sejumlah tips yang tak terduga dari Lucy. Setelah menerima banyak sekali kebaikan darinya, rasanya tak pantas kalau aku menerima kebaikannya yang satu ini. Aku berusaha menolak. Aku berdalih kalau aku sudah berhasil hidup dengan baik berkat dirinya. Namun, Lucy bersikeras memberikannya padaku dan mengatakan kalau dia akan tersinggung sebab aku terus menolaknya.

"Kau yakin sudah siap bertemu dengannya, Elina?"

"Aku harus menemuinya. Bagaimanapun, barang-barangku ada padanya." Ketika aku mendapatkan jatah liburku, aku berencana kembali ke apartemenku. Kalau nanti aku memiliki kesempatan bicara dengan Sherry, maka aku akan meluruskan kesalahpahaman ini, lalu selesai. Aku akan pergi dari sana dan kembali ke losmen.

Tidak apa-apa kalau Lucy masih membenciku. Aku akan berlapang dada. Aku tak akan memaksanya memaafkanku dalam waktu dekat. Dia pasti butuh waktu, begitu pula denganku. Sebetulnya kalau ada yang perlu disalahkan, maka Sherry juga harus menyalahkan Daniel, bukan hanya aku. Daniel telah menjebakku sampai aku tidur dengannya. Namun, Sherry hanyalah manusia biasa. Manusia terbiasa mempercayai apa yang mereka lihat dan dengar, juga mudah menyalahkan apa yang mereka yakini salah, tanpa harus berusaha mencari pembuktiannya.

Juga cinta. Cinta Sherry pada Daniel jelas berada satu tingkat di atas persahabatan kami. Mungkin benar. Cinta dapat membutakan seseorang. Buta akan membuatnya tergelincir dan jatuh. Jatuh begitu keras ke dalam lubang yang gelap. Setelah pandangannya terbatas, lambat laut dia akan menjadi tuli juga. Dia tak akan mendengar apapun dari lubang hitam itu, bahkan ketika seseorang berusaha menyelamatkannya, dia acuh. Dia akan terperangkap dan kehilangan segalanya. Dia akan mati secara berlahan. Begitu lah cinta dapat membunuhnya.

Dan itulah yang terjadi pada Sherry sekarang. Karena cinta, dia menutup telinganya serapat mungkin. Yang dia dengarkan hanya lah pendapatnya sendiri dan apa yang telah dia percayai. Kalaupun kupaksa dia untuk mendengarkan, itu tak akan berguna lagi.

.....

Setengah jam kutempuh perjalanan dari restoran menuju apartemen. Ketika aku sampai, pintunya sudah berdebu dan digembok. Tanaman dalam pot juga hampir mati. Di antara tanaman itu, ada daisi kesayanganku yang mengering.

"Elina Katarina."

Aku berbalik ketika namaku dipanggil. Kurang dari dua meter dariku, dua orang pria bertubuh besar, bengis, dan penuh tato, berjalan menghampiriku. Aku mundur dengan waspada. Aku merasakan tanda bahaya. Aku tak pernah mengenal mereka, tetapi mereka mengenalku.

"Akhirnya kau berani menampakan dirimu, huh? Jalang." Salah seorang dari mereka mendekatiku dan menarik kerah bajuku.

"Lepaskan," pintaku.

Kerahku diangkat tinggi sampai hanya ujung jari kakiku saja yang menapak di bumi. Tubuhku diguncang-guncang sampai perutku merasa mual. Aku kesulitan bernapas, tetapi mereka tak peduli.

"Kau mau kulepaskan? Kau mau?! Lunasi dulu hutangmu!" bentaknya.

"Hu-hutang apa?" tanyaku tak mengerti.

"Hutangmu pada Nort Wallet Shettle!" Bau rokok dan alkohol yang menyengat buatku mual.

Aku menggeleng. "Hutangku sudah lunas dua bulan lalu," jelasku. Tanganku menggapai-gapai lengan pria itu, berusaha melepaskan diri.

Dulu aku dan Sherry memang memiliki hutang besar. Jumlahnya 70.000 dolar belum termaksud bunga. Kami selalu mencicilnya setiap bulan. Kami juga tak pernah jatuh tempo dalam pembayaran. Sherry punya bukti pembayarannya karena dia yang selalu meluangkan waktunya menyetorkan uang kami ke bank. Aku harus menemui Sherry sekarang dan membuat dua pria ini percaya.

"Kau pikir kami percaya?!" Pria di belakang pria yang mencekikku bicara. Wajahnya yang penuh tindikkan menatapku jijik seakan-akan aku adalah kotoran yang menyangkut di saluran pembuangan.

"Aku punya bukti pelunasan-"

"Cuih!" Aku diludahi. Tubuhku di lempar ke belakang sampai menabrak pintu. Suara debaman terdengar kencang. Aku meringis. Kepalaku pusing dan punggungku sakit.

"Lunas katamu? Kau bahkan belum membayarnya sepeserpun!"

"A-apa maksudmu? Sherry selalu membayarnya setiap bulan-"

"Sherry! Sherry! Shit! Aku tak mengenal jalang itu! Kau yang menandatangani lembar peminjaman! Bukan dia!"

Aku berusaha bangkit kembali, hanya untuk ditendang dan tersungkur di hadapan mereka. "Ta-tapi kami meminjamnya berdua-"

"Jalang, berhenti membuat drama. Lunasi hutangmu. Jangan sok amnesia, atau kau mau kubuat benar-benar amnesia, huh?!"

Tubuhku melemas. Apa maksudnya? Apa itu berarti Sherry telah menipuku selama ini? Dia tak pernah membayar hutang kami? Dia mencuri uang yang kukumpulkan dengan susah payah. Tapi, kenapa? Apakah aku memiliki kesalahan padanya? Sebesar apa kesalahanku sampai dia tega memberiku masalah bertubi-tubi?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status