Share

6. Casting

.....

Keesokan harinya, ketika aku baru saja menyambungkan ponselku pada wifi restoran. Aku mendapatkan sebuah email yang mengejutkan.

- From: Blue Light Entertaiment

- Kepada : Elina Katarina

- Subjek : Casting

- Selamat! Kamu lolos dan berhak mengikuti tahapan selanjutnya. Datanglah ke Gedung XX di Roomie Street No 23, Buffalo, New York, pada 13 Desember 2020 pukul 03.09 p.m. Bertemu dengan Carla Hamilton. Berpakaian kasual dan jangan terlambat.

Jantungku berdetak kencang saat membacanya. Tidakkah itu berarti aku memiliki harapan? Oh, aku merasa lega, tetapi juga takut, salah dan menyesal. Aku sadar kalau jalan yang kupilih ini akan membuatku terperosok jauh ke dalam kegelapan. Namun, tak ada jalan lain sekarang. Aku harus berani maju, atau kesempatannya akan hilang.

.....

Aku bersyukur Lucy tak menanyakan banyak hal saat aku meminta izin kepadanya agar bisa pulang cepat hari ini. Dia bilang dia baru saja sampai di bandara Buffalo dari perjalanan bisnis luar kotanya dan tak memiliki waktu menginterogasiku.

Saat kupikir gedung XX adalah gedung perkantoran yang biasa kulihat di kota, maka aku salah. Itu adalah sebuah vila besar berlantai tiga. Dari depan terlihat sepi, dan setelah aku masuk-

"Halo. Saya Janice. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita berpakaian formal dengan rambut dikuncir tinggi menyambutku dengan senyum bisnis yang ramah.

Aku membalas senyum wanita itu dan menunjukan email yang kudapat. "Aku ingin mengikuti casting."

Dia mengecek jam tangannya, kemudian kembali menatapku. "Ms. Elina?"

Aku mengangguk.

"Senang bertemu denganmu. Kau bisa menunggu Ms. Hamilton di ruang tunggu sebelah sana. Beliau masih dalam perjalanan," tambahnya sambil menunjuk ruangan tanpa pintu di sebelah kanan.

"Terimakasih, Janice."

"Dan cuaca mulai dingin sekarang. Aku akan menyiapkan cokelat panas untukmu. Atau kau mau sesuatu yang mengandung alkohol untuk menghangatkan badan?" tawarnya.

"Coklat panas saja," jawabku sambil berterimakasih.

Blue Light Entertaiment, begitukah cara mereka memperlakukan kandidat? Bagiku sambutan barusan begitu sopan dan manusiawi. Pun bagaimana bangunan ini berdiri dengan segala interior bernuansa elegan di dalamnya, tempat ini begitu jauh dari bayanganku tentang sebuah sarang prostitusi. Gedung ini lebih pantas disebut sebagai galeri seni. Begitu indah, seperti rumah-rumah bangsawan di jaman dulu.

.....

Cokelat panasku tinggal setengah, tetapi belum ada satu pun orang yang menemuiku, kecuali Janice. Karena bosan, aku mulai mengelilingi rak buku. Toh Janice tak melarangku menjelajahi ruangan ini.

Aku tak mengenal banyak tentang novel. Aku tak begitu suka membaca, tetapi satu novel bersampul terang di antara novel-novel bersampul gelap menarik perhatianku. Sebuah novel bersampul putih, tanpa ilustrasi apapun. Hanya ada tulisan timbul yang berwarna senada sebagai judulnya.

INSIDER

"Kau suka membaca?"

Aku terkejut saat mendengar suara tegas dari seorang pria yang baru kusadari berdiri tak jauh dariku. Buru-buru aku meletakan novel itu kembali ke tempatnya dan berbalik. "Ma-maaf."

Kutemukan hijau cerah di dalam tatapan mata yang menelisik. Aku langsung menurunkan pandanganku saat menyadari tatapan itu mengarah lurus kepadaku.

"Kau boleh membacanya kalau kau mau," tawarnya.

Mata yang indah itu dimiliki oleh seorang pria yang terlihat berkarisma. Caranya bergerak begitu ringan, tetapi pasti. Dia bertubuh tinggi dan kekar. Berkulit kecoklatan dengan rona kemerahan saat ditimpa cahaya matahari. Di balik syal yang dia kenakan, aku bisa mengintip sedikit tato rumit berwarna monokrom. Apakah itu ular?

"Hei, apa yang kau lihat?" Pria itu mendekatiku.

Aku mundur sampai hampir tersandung karpet di bawahku. "Ma-maaf." Sentakannya barusan membuatku takut.

"Kau di sini, Will?"

Seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan pria itu menghampiri kami. Dia terlihat elegan dengan rambutnya yang disanggul rendah ke belakang. "Oh, kau sudah datang, Elina," sambungnya setelah melihatku.

"Ms. Carla Hamilton?" tanyaku tak yakin.

"Itu aku," balas wanita itu. "Nah, karena kita bertiga sudah berkumpul, kurasa kita bisa memulai castingnya sekarang. Ayo, kita berpindah."

Sekarang? Dengan dia? Aku melirik pria di hadapanku yang mulai mengikuti Carla. Ketika dia balas melirikku, kurasakan wajahku memanas. Bukan aku yang aneh di sini. Siapapun yang melihat wajah bak dewa yunani itu pasti juga akan bereaksi sama sepertiku.

.....

Carla menggiring kami ke suatu ruangan yang lebih privat. Ada tulisan 'casting only' di depan pintu. Dia memintaku duduk di single sofa, sedangan pria itu dan dirinya sendiri duduk di seberangku.

Melihat mereka membuat kepercayaan diriku goyah. Kesan yang mengular dari mereka begitu mewah dan mahal, berbanding terbalik denganku yang biasa saja. Namun, aku tak boleh mundur, apapun yang terjadi, aku harus menghadapinya. Ini semua demi nyawaku sendiri di masa depan.

"Will, ini Elina Katarina, yang resume-nya kukirim padamu semalam. Elina, ini William Adler, kepala produser Blue Light Ent. Aku tak suka membuat casting ini menjadi kaku, jadi ayo kita lakukan ini dengan santai." Carla memperkenalkan kami secara kasual.

"Salam kenal, Mr. Adler," ujarku dan dibalas anggukan oleh pria itu. Di balik permata hijaunya yang cerah, ternyata kepribadiannya cukup dingin.

"Elina, Bisakah kau memperkenalkan dirimu terlebih dahulu?" pinta Carla.

Aku mengangguk dan menarik napas panjang. "Baik. Terimakasih sudah memberiku kesempatan. Namaku Elina Katarina. Usiaku 24 tahun. Saat ini aku bekerja sebagai pelayan di restoran."

"Apa yang kau ketahui tentang perusahan kami?" tanya Carla.

Aku berpikir sejenak. Haruskah kukatakan secara gamblang kalau tempat ini adalah sarang prostitusi? Tidakkah itu terlalu kasar? "Yang aku tau, tempat ini adalah perusahaan hiburan yang bergerak di bidang perfilman. Khususnya film dewasa." Kuperhatikan tak ada perubahan dari wajah mereka, atau mereka memang pintar menyembunyikannya? Aku lantas melanjutkan, "Dan website kalian dikunjungi jutaan orang setiap tahunnya."

Carla tersenyum. "Kau benar. Tempat ini memang memproduksi film dewasa, tapi kami tak memproduksi sembarangan film. Itulah mengapa kami melakukan casting. Pemain yang hanya bisa melakukan sex tak akan cukup bagi kami. Jadi Elina, apakah kau bisa berakting?" tanyanya kemudian.

Ekspresi wajahku memang selalu seperti ini. Ketika aku begitu senang ataupun begitu sedih, tak pernah ada yang benar-benar mengetahuinya sebab wajahku tak pandai menunjukannya. Kerap kali wajah ini membuat orang lain salah paham. Ditambah lagi, aku tak begitu padai bicara di depan umum. Aku hanya pandai bicara di dalam kepalaku sendiri. Selalu saja orang-orang yang kutemui menganggapku pecundang dengan wajah ini.

"Bisakah kau menangis sekarang, di hadapan kami?" William yang sedari tadi diam, kini bersuara.

Aku menatap Carla yang menganggukkan kepalanya antusias. "Berusahalah!" semangatnya padaku.

Aku mengambil aba-aba sebentar. Kemudian mulai berusaha fokus untuk menangis. Lama menunggu, tetapi air mataku tak kunjung turun. Ternyata sesulit ini menangis kalau niatnya disengaja. Biasanya aku mudah menangis, tetapi itu karena aku benar-benar merasa sedih, atau takut. Bagaimana ini? Apakah aku akan gagal?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status